Etnis.id - Berbincang mengenai hidup dan kehidupan, selalu saja menarik. Hampir tak ada wacana yang begitu intens dibicarakan dari waktu ke waktu selain wacana itu.

Mengapa persoalan hidup dan kehidupan menduduki derajat yang demikian istimewa dalam perbincangan umat manusia? Menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita.

Sejak manusia membuka mata dan hadir di dalam kehidupan ini. Manusia telah diberikan pengetahuan terhadap diri sendiri dan pengetahuan di luar diri. Perihal di luar diri, sudah banyak rahasia dari fenomena alam yang terungkap akibat peran teknologi.

Meski demikian, tetap saja pengetahuan di dalam diri manusia terkait orientasi hidupnya, masih menyisakan misteri. Manusia zaman kiwari masih saja bingung soal itu. Teknologi yang diagung-agungkan sebagai bagian dari kemudahan, belum mampu menjawab pertanyaan mengenai asal usul dan tujuan hidup manusia.

Ketidaktahuan dan kebingungan manusia inilah yang kemudian membuat manusia semakin tenggelam di dalam “keterasingan diri” yang sudah sedemikian akut dan membuat mereka bergantung kepada kemajuan teknologi. Sehingga tidak heran, jika kemudian banyak dari sebagian manusia lupa tentang jati dirinya.

Manusia yang hidup di tengah-tengah kebisingan mesin-mesin industri, perkembangan teknologi dan percepatan luar biasa, telah mampu memutuskan jarak antara dirinya dengan masyarakat serta Tuhannya. Dan lebih jauh, terjebak pada kebahagiaan semu.

Olehnya, bagi orang Jawa, hadirnya manusia serta keberadaannya bukan saja
hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan harta benda duniawi tetapi bisa menimbulkan kekacuan dan malapetaka bagi diri manusia itu sendiri.

Selaras dengan pernyataan Niels Mulder, seorang antropolog yang menyatakan bahwa pandangan hidup masyarakat Jawa (orang Jawa) tecermin pada perilaku dan keyakinan agamanya yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan.

Ajaran itu menempatkan dirinya pada hubungan yang selaras antara individu dengan dirinya sendiri, dengan individu lainnya, dengan alam semesta dan dengan Tuhannya. Adanya keselarasan tersebut, orang Jawa diharapkan agar mampu memaknai keberadaan serta orientasi tujuan hidupnya.

Tak mengherankan jika bagi orang Jawa dalam memaknai keberadaannya di dunia ini, terungkap dalam istilah “sangkan paraning dumadi”, yang mengingatkan tentang keberadaan manusia serta tujuan akhirnya selama ia hidup di dunia ini.

Keberadaan manusia secara harfiah bermakna di-ada-kan atau di-jadi-kan alias dumadi dari asal kata dadi yang bersifat sementara. Pertama-tama manusia harus menyadari dirinya dari mana ia berasal (sangkan: sangkan ngendi); hendak ke mana tujuan hidupnya berakhir (paran: parane ngendi), serta asal dan tujuan kembali manusia (sangkan paraning dumadi) (Afifi, 2019).

Dalam Islam, ungkapan ini selaras dengan konsep innalillahi wa inna ilahi rajiun (kita dari-Nya akan/sedang kembali menuju-Nya). Sehingga secara tidak langsung, keberadaan hidup manusia di dalam kerangka alam pikir orang Jawa, sedang dalam sebuah “perjalanan” besar mulai dari kandungan sampai kematian, yang oleh para wali di tanah Jawa diistilahkan laku, mlaku, lelaku, lelakon. Dalam istilah Islam sering disebut dengan “suluk” (berjalan atau perjalanan) (Afifi, 2019).

Menurut Dr. Damardjati Supadjar, ajaran sangkan paraning dumadi dimaknai sebagai pangkal atau mula dan arah tujuan semua kejadian atau mengandung unsur paugeraning dumadi (tata tertib kejadian), yang menggambarkan suatu (filsafat) proses, kesinambungan awal-akhir, bagaimana permulaannya dan juga kesudahannya (Mulkhan, 2003).

Para wali tanah Jawa pun menggunakan kata “suluk” untuk menamai sebuah genre tembang Jawa bernama macapat yang dijadikan sarana berdakwah oleh para walisongo tanah Jawa. Penamaan suluk (perjalanan) sebagai genre tembang macapat, juga tidak lepas dari proses “sangkan paraning dumadi”.

Salat/FIickr/Danumurthi Mahendra

Menurut Suwardi suluk (perjalanan) sebagai tembang macapat mengisyaratkan bahwa hidup itu bergerak/berproses dari “ada” sampai “tidak ada”. Proses itu dimulai dari:

1). Mijil (keluar/lahir), yang diciptakan oleh Sunan Gunung Djati bermakna, “Jika berbicara jangan asal mijil”. Namun, harus didahului dengan berpikir.

2). Sinom (masa muda), yang diciptakan oleh Sunan Giri bermakna “Selama masih muda, manusia harus memiliki sikap optimis. Dengan selalu melakukan pembersihan diri baik lahir maupun batin agar awet muda”.

3). Maskumambang (purba diri), yang diciptakan oleh Sunan Mejagung bermakna “Selalu mengabdikan diri kepada Allah (ibadah)”.

4). Asmaradana (dana asmara), yang diciptakan oleh Sunan Giri bermakna “Suka menolong sesama, selalu mengeluarkan infak, sedekah dan derma zakat fitrah ikhlas tanpa rasa takabur”.

5). Dhandhanggula (mendendangkan kemanisan iman/hidup), yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga bermakna, “Hidup atau dalam memberikan nasehat dan dakwah selalu disertai dengan harapan yang menyenangkan untuk menuju kebahagiaan”.

6). Durma (mulai mengundurkan diri), yang diciptakan oleh Sunan Bonang bermakna, “Seorang manusia di dalam hidupnya harus menghindari apa yang disebut dengan 5-M yakni menjauhi madon (berzina), minum (minum-minuman keras), madat (menghisap yang memabukkan jika sekarang disebut narkoba), main (berjudi), maling (mencuri)”.

7). Pangkur (meninggalkan hal-hal duniawi), yang diciptakan oleh Sunan Muria bermakna “Hidup harus selalu sesuai dengan Quran dan hadis serta meninggalkan hal-hal kejahatan”.

8). Pocung (dipocong), yang diciptakan oleh Sunan Gunung Djati bermakna, “Yang berarti sudah selesai sebagai perjalanan menuju akhirat”.

9). Megatruh (terpisahnya roh dari jasad/out of body), yang diciptakan oleh Sunan Giri bermakna, “Ketakwaan dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi ajaran iblis. Atau memisahkan roh dari pikiran-pikiran yang tidak baik”.

10). Kinanthi (amalan apa yang akan dibawa) yang diciptakan oleh Sunan Giri bermakna, “Bagi orang-orang yang masih 'buta' akan petunjuk Allah harus ditemani untuk dituntun menuju kepada kehidupan bahagia dunia dan akhirat”.

Masjid/FIickr/Anton Luciferano

Dari penjelasan tentang proses perjalanan manusia menuju tempat kembalinya di atas, dapat dilihat bahwa setiap langkah dan geraknya dalam alam pemikiran orang Jawa, memiliki nilai-nilai filosofis sendiri.

Maka tidak heran, jika di dalam masyarakat Jawa kita mengenal tradisi slametan bayi yang dimulai dengan Sepasaran kelahiran hingga Mitoni (tujuh bulan) atau sering disebut Tingkeban.

Tingkeban berarti perkembangan janin bayi dianggap sudah titi-jangkep, yang secara jasadi, roh telah bersarang dalam diri sang bayi, alias sudah lengkap sebagai manusia (Afifi, 2019).

Filosofi Jawa tentang kesempurnaan hidup atau ngudi kasampurnan juga tercermin di dalam Serat Centhini melalui tokoh utamanya Seh Amongraga terkait “sangkan paraning dumadi”. Tokoh ini menekan sosok manusia untuk selalu mengerti, memahami dan menilai segala kejadian untuk bergerak menuju dan bersatu dalam daya hidup yang diberi nama kesempurnaan.

Konsep serta penekanan inilah yang membedakan antara filsafat Barat dengan filsafat Jawa. Dalam filsafat Barat hal yang selalu diutamakan adalah pendekatannya pada daya pikir. Inilah yang kemudian membuat manusia telah kehilangan arah orientasi hidupnya.

Lewat wejangan Seh Amongraga juga disebut, manusia diciptakan di dunia ini harus tahu asalnya. Karena barang siapa tahu dirinya, sesungguhnya ia akan tahu
Tuhannya.

Daftar Pustaka: Afifi, I. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Penerbit Tanda Baca; Mulkhan, A. M. (2003). Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar: Membuka Pintu Makrifat. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana; Suwardi. Wawasan Hidup Jawa Dalam Tembang Macapat. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press.

Editor: Almaliki