Etnis.id - Falsafah Jawa pada dasarnya sangat bersifat universal. Diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin mengamalkan dan mempelajarinnya. Seperti Falsafah Tri Dharma yang dicetuskan oleh Pangeran Sambernyawa.

Ada tiga bagian dari falsafah itu, yakni rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi dan mulat sarira hangrasa wani. Semuanya lahir dari perjuangan Pangeran Sambernyawa bersama para pengikutnya saat melawan pihak kolonial.

Nama asli dari Pangeran Sambernyawa adalah Raden Mas Said, ia dilahirkan di Kraton Kartosuro pada Minggu Legi, 7 April 1725. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Arya Mangkunegara Kartosuro, merupakan anak dari Sunan Amangkurat IV Jawi (1719-1726). Ibunya bernama Raden Ayu Wulan.

Dalam tradisi politik Mataram waktu itu, seharusnya KPA Arya Mangkunegara adalah pewaris tahta kerajaan Mataram. Namun, karena sikapnya yang anti VOC, ia disingkirkan ke Sri Langka. Sejak ditinggal oleh kedua orang tuannya, Raden Mas Said hidup dengan penuh keterbatasan.

Hidup di dalam lingkungan kraton, Raden Mas Said senang bermain dengan para abdi dalem dan rakyat kecil. Menjelang usianya memasuki 14 tahun, oleh Pakubuwono II, Raden Mas Said diangkat menjadi Mantri Gandek Anom Kraton Kartasuro. Sehingga statusnya menjadi abdi dalem bergelar Raden Mas Ngabehi Suryokusumo.

Ketika usianya 15 tahun (tahun 1740), di Batavia tengah terjadi pemberontakan orang Cina terhadap Belanda karena orang-orang Cina dibunuh oleh kompeni. Tragedi ini pun pada kemudian hari dikenal dengan nama “Geger Pecinan”.

Orang-orang Cina yang berhasil lolos dari serangan kompeni, lari ke arah Timur untuk mencari bantuan. Pada titik inilah, orang-orang Cina dibantu laskar Bangsawan Mataram Jawa, salah satunya Raden Mas Said yang ikut membantu .

Dari perjuangannya selama 16 tahun bersama para pengikutnya seperti bergerilya di tengah hutan, bertempur dengan pasukan kompeni dan saudaranya sendiri, telah menciptakan filosofi. Kekuatan akan kebersamaan yang diajarkan kepada para pengikutnya untuk melawan kompeni atau VOC, bukan saja melahirkan falsafah Tri Dharma.

Lahir pula taktik seperti “wewelutan” (licin seperti welut atau belut), “dedemitan” (demit atau setan), dan “jejemblungan” (jemblung atau gila). Pula diiringi motto tiji tibeh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua).

Sebab perjuangannya yang didampingi oleh neneknya (Raden Ayu Sumanarsa), istrinya (Kanjeng Ratu Bendara Mas Ayu Kusuma Matahati), serta para kerabat dan prajuritnya. Akhirnya, membuat pihak kompeni kewalahan. Mereka dianggap sebagai “penyebar maut”. Maka tidak heran jika dikemudian hari beliau dijuluki sebagai “Pangeran Sambernyawa”.

Atas kehebatannya, pihak Belanda mencoba berunding dengannya, sehingga pada perkembangan selanjutnya, pihak kompeni bersama Pakubuwono III membujuk Raden Mas Said untuk berdamai. Perdamaian tercapai dengan adanya perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757, yang kemudian membawa Raden Mas Said sebagai seorang Pangeran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I (pertama), yang berhak memimpin Puro Mangkunegara.

Sejak saat itu, pemerintahan Mangkunegaraan pun dimulai. Maka, untuk menjaga kewibawaan dan persatuan serta kesatuan Praja Mangkunegaran beserta kawulanya. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, mendeklarasikan fondasi untuk memperkokoh berdirinya Praja Mangkunegaraan, yakni Falsafah Tri Dharma.

Meski secara pintas falsafah ini sebagai refleksi perjuangan serta budaya politik. Namun, dalam konteks budaya Jawa, falsafah yang disebutkan di atas itu penting bagi interaksi kehidupan di lingkungan masyarakat.

Pertama pada rumangsa melu handarbeni. Artinya merasakan, menyadari. Handarbeni artinya memiliki. Secara harfiah artinya ikut merasakan sebagai miliknya. Maknanya, jika seseorang diberikan sebuah tugas atau amanah, maka pelakunya wajib bertanggung jawab dalam melaksanakannya dengan sepenuh hati.

Kedua, wajib melu hangrungkebi. Kata melu berarti ikut. Hangrungkebi berarti melindungi, siap berkorban untuk membela. Artinya, untuk menjadi seseorang yang bijak, harus selalu siap berkorban untuk membela. Seperti menjaga dan melindungi kelestarian alam dan lingkungan atau berkorban dan melindungi negara ini dari krisis moral.

Terakhir, mulat sarira hangrasa wani. Kata mulat berarti melihat diri sendiri. Sarira berarti badan, tubuh. Hangrasa berarti merasa, wani artinya adalah berani. Secara umum, falsafah ini harus dibaca dari belakang yang bermakna yakni berani merasa untuk melihat diri sendiri.

Sebagai seorang manusia yang sedang menjalani hidup di dunia ini, sudah seharusnya, dengan segala kelemahannya, harus berani melakukan introspeksi diri. Menerima segala kemungkinan untuk dibimbing dan dinasehati agar pada kemudian hari tidak salah jalan dalam menjalani hidup.

Bahkan falsafah ini dipakai juga oleh para supporter Persis Solo sebagai bagian dari semangat untuk ‘memandang kekuatan diri sendiri, untuk direalisasikan dalam gelora keberanian’. Secara umum, meski ketiga falsafah ini memiliki maknanya masing-masing. Namun, semuanya menjadi satu kesatuan ajaran yang harus dilaksakan secara terpadu dan tidak dimaknai secara sepotong-potong.

Editor: Almaliki