Etnis.id - Selalu menarik menyimak narasi-narasi folklor yang berkembang di masyarakat Nusantara. Terlebih lagi jika narasi tersebut digaungkan dengan bumbu-bumbu romantis dan kisah percintaan.

Meski tak sedikit pula dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau spiritual yang konon menakutkan, tetapi bukankah di dalam cinta juga mengandung spiritualitas. Semangat untuk terus mendapatkan apa yang kita inginkan?

Sebagaimana seorang Ki Ageng Mbotho salah seroang yang sakti mandraguna yang tersohor di wilayah Pesantenan Pati, yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Ki Ageng Mbotho sangat menginginkan Mbok Rondho Kuning untuk dijadikan istrinya. Tentu saja karena kecantikan sang janda. Sayangnya, janda yang satu ini bukan sembarang janda. Harta kekayaan si janda sangat melimpah. Bisa dikatakan, seorang yang tidak begitu tergantung dengan laki-laki.

Salah satu aset kekayaan yang dimiliki oleh Rondho Kuning adalah seperangkat gamelan. Gamelan menjadi indikator kekayaan seseorang pada waktu lampau. Mungkin juga sampai sekarang. Namun justru karena hal tersebut, Ki Ageng Mbotho merasa semakin tertantang.

Segala upaya dikerahkan untuk mendapatkan hati Rondho Kuning. Karena tidak mau menyakiti hati sang adipati, akhirnya Rondho Kuning mengajukan syarat yang cukup unik. Bukan membuatkan seribu candi atau mengumpulkan bunga tujuh rupa dari tujuh samudera. Syarat tersebut adalah memaksa Ki Ageng mBotho menjadi seorang petani.

Pada tahap awal, Rondho Kuning mengingkan agar Ki Ageng membersihkan dan membajak seluruh sawah yang dimilki oleh Rondho. Ki Ageng berhasil menyelesaikan misinya dan tentu saja menagih janji Rondho.

Namun mbok Rondho masih mengajukan syarat agar Ki Ageng menanami padi di sawah-sawah tersebut. Dengan berat hati, Ki Ageng menurunkan harga diri dari seorang yang sakti menjadi petani biasa. Misi terselesaikan. Ki Ageng menagih janji Mbok Rondho. Dan lagi-lagi pinangan itu ditolak.

Syarat baru muncul. Ki Ageng harus bersabar hingga masa panen tiba. Jika hasil panennya bagus dan melimpah, Mbok Rondho dengan rela hati mau menerima ki Ageng. Setelah benih-benih padi itu tumbuh subur dan menguning, tetap saja benih-benih cinta di dalam hati Mbok Rondho tidak pernah tumbuh.

Ki Ageng yang merasa terinjak-injak harga dirinya marah besar. Seluruh harta benda miliki Mbok Rondho dikutuk menjadi batu oleh Ki Ageng. Termasuk perangkat gamelan yang dimiliki dan menjadi benda kesayangan karena selalu menemani mbok Rondho berlatih tari. Gamelan-gamelan itu pun membatu dalam arti yang sebenarnya.

Wilayah tersebut pada masa sekarang bernama Desa Randukuning, Kecamatan Pati Lor, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Nama tersebut diambil dari idiom ‘Rondho Kuning’. Di mana di desa tersebut terdapat petilasan Gong Watu. Perangkat gamelan milik mbok Rondho Kuning yang telah berubah menjadi batu.

Setiap bulan Apit (Jawa), masyarakat setempat mengadakan ritual sedekah bumi. Salah satunya adalah dengan menggelar wayangan di sekitar situ Gong Watu. Batu-batu tersebut berbentuk seperti Kenong dan gong Kempul. Dengan bagian tengah yang menonjol.

Masyarakat setempat sampai sekarang masih meyakini narasi tentang asal-usul Desa Randukuning dan berupaya untuk terus menjaga keberadaan situs Gong Watu tersebut. Karena dengan mengadakan sedekah bumi, masyarakat yang berperan sebagai pendukung kebudayaan, bisa menjaga kolektivitas kesadaran dengan terus merawat ingatan, bahwa ada peristiwa yang sangat penting yang pernah terjadi di masa lalu.

Bukan hanya perkara kesaktian seseorang. Bukan pula karena kecantikan seseorang. Namun dapat berbicara pula soal kehormatan yang bisa dilihat dari perangkat gamelan. Gamelan menjadi penanda kehormatan dan kekayaan seorang janda yang cantik jelita.

Maka ketika ada orang yang merasa tersakiti hatinya karena ulah si janda, gamelan pula yang ikut menjadi pelampiasan kemarahannya. Justru hal-hal semacam ini bisa menggelitik ruang pikir generasi kekinian.

Bagaimana posisi perangkat alat musik gamelan di masa lampau? Seberapa besar ia (perangkat gamelan) memiliki peran di dalam kebudayaan Nusantara? Atau pertanyaan sederhana, ketika semua menjadi batu, kenapa batu-batu yang berbentuk seperti salah satu perangkat musik gamelan yang masih bertahan sampai sekarang?

Atau ini menjadi semacam tanda, bahwa gamelan adalah kehormatan itu sendiri? Yang harus kita jaga dan rawat bersama, sebagaimana pusaka-pusaka penting di Nusantara?

Jangan sampai gamelan-gamelan itu nantinya hanya sekedar menjadi batu akibat kita terlalu sering abai terhadapnya atau karena kita sendiri yang mengutuknya. Musik, dalam hal ini gamelan, menjadi prasasti cinta dan kehormatan yang akan terkenang dalam keabadian.

Editor: Almaliki