Etnis.id - Sepanjang perjalanan menuju lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Penari, terdengar suara gamelan yang dimainkan. Alunan gending tersebut rupanya didengar oleh sebagian anggota dalam tim tersebut.

Musik tradisional itu rupanya menjadi pertanda buruk, bahwa kelompok tersebut sedang diintai oleh makhluk dari alam lain. Begitulah sepenggal pembuka kisah KKN Desa Penari.

Cerita tersebut lantas mengemuka di jagat media sosial dan menjadi bahan pembicaraan warganet. Mereka ramai mendiskusikannya dengan menelisik kota-kota yang kental dengan tradisi tari dan musiknya. Menelusuri setiap kemungkinan yang ada.

Namun, ada yang disayangkan dengan merebaknya kisah yang berlatar tahun 2009 itu. Cerita yang mencekam dan diduga berlokasi di Jawa Timur ini, membuat keindahan seni tradisional kehilangan pamornya. Seni yang seharusnya bisa dinikmati tanpa rasa takut, justru dijauhi oleh masyarakat.

Semua hanya gara-gara pengaruh kisah misteri yang merebak di mana-mana. Terjadi pergeseran makna yang mengancam eksistensi seni tradisional. Orang jadi enggan memainkan seni tradisional karena tidak ingin dicap klenik.

Akibatnya, seni tradisional dikhawatirkan bisa tergerus dan lenyap tanpa diketahui jejaknya. Ini semua karena tidak ada lagi generasi penerus yang bersedia mempelajari seni tradisional.

Musnahnya seni tradisional juga ada peran dari kita sebagai penikmatnya. Kita mulai kehilangan ketertarikan karena sudah telanjur diselimuti ketakutan untuk menyesap indahnya seni tradisional. Terbayang-bayang imajinasi kuat setelah mencerna cerita KKN Desa Penari itu.

Sebenarnya, tak sekali ini terjadi penyalahgunaan seni tradisional yang dampaknya fatal. Sekarang saya tanya, apa yang terlintas di pikiran kalian jika mendengar kata Lingsir Wengi. Pasti soal Kuntilanak, hantu perempuan berambut panjang, malam yang gelap gulita, aroma kemenyan yang menyertai dan sederet hal berbau horor.

Semua ini gara-gara lagu Lingsir Wengi digunakan sebagai latar film Kuntilanak pada tahun 2006-an. Orang lantas beranggapan bahwa ketika mendendangkan kidung tersebut, adalah salah satu cara untuk mengundang makhluk halus. Film yang disutradarai Rizal Mantovani dan mendapuk Jullie Estelle sebagai pemeran utamanya, sukses menggiring opini masyarakat. Membuat khalayak percaya bahwa lagu Lingsir Wingi begitu mengerikan.

Persepsi negatif yang merugikan citra lagu tradisional yang sebetulnya sarat makna.
Padahal, lagu Lingsir Wingi diciptakan oleh Sunan Kalijaga, seorang tokoh besar penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Jika ditelaah lebih jauh, lagu Lingsir Wengi justru menyampaikan pesan untuk mengusir gangguan makhluk halus.

Kidung ini sering dikumandangkan Raden Said, panggilan kecil sang Sunan, selepas salat malam. Ada pengharapan yang dilangitkan agar dikabulkan sang Pencipta. Sehingga, terlalu lama salah kaprah tertanam tentang kidung yang berfungsi untuk tolak bala. Syair lagu ini justru sangat menyentuh dan tidak semenyeramkan seperti yang selama ini kita kira. Tersirat untaian doa, jadi bukan sarana untuk memanggil makhluk tak kasat mata, ya.

Miris rasanya mengetahui fakta tersebut. Ketika kita begitu gegabah menyimpulkan bahwa semua yang berbau seni tradisional adalah hal-hal yang menakutkan. Maka agar kejadian tersebut tidak terulang lagi, sebaiknya kita tidak asal mencatut sebuah karya tanpa mengetahui arti dan filosofisnya.

Berikan penjalasan detail kepada khalayak bahwa tujuan pemakaian seni tradisional tersebut semacata untuk hiburan. Lalu, kita sebagai konsumen konten, harus mengecek ulang untuk memastikan bahwa seni tradisional tersebut memang bukan perantara dengan alam lain. Tepis semua ketakutan.

Ingat bahwa seni tradisional harus tetap kita lestarikan. Jadi tidak usah takut untuk terus menjadi penikmat atau pelaku aktif yang menggerakan seni tersebut. Apalagi selama ini, usaha untuk melestarikan seni budaya kerap menemui pelbagai kendala dan jalannya terseok.

Sebut saja, bagaimana seni dan budaya kita harus tetap bertahan di tengah gempuran budaya asing yang masuk? Bagaimana seni dan budaya kita kerap diklaim oleh bangsa lain? Bagaimana orang-orang mulai melupakan seni dan budaya karena merasa warisan leluhur ini bukanlah bagian dari ajaran agama yang mereka anut?

Sudah terlalu menumpuk tantangan yang harus diselesaikan penggiat seni dan budaya. Saatnya tugas kita untuk mengangkat kembali seni dan budaya yang meluntur karena mitos yang melingkupinya. Caranya, mungkin bisa dimulai dari hal sederhana seperti memberitahu rekan sekitar bahwa seni budaya itu adalah warisan bangsa ini yang harus terus dijaga eksistensinya.

Selain itu, kita bisa mengabarkan ke khalayak umum melalui penuturan langsung atau dibagikan lewat media sosial bahwa seni dan budaya tidak mengandung hal-hal mistis yang selama ini dimitoskan.

Untuk pelaku seni modern, sebaiknya juga harus mulai menyusun panduan agar tidak salah memasukkan seni dan budaya. Niatnya mungkin untuk mempromosikan, tapi terkadang bisa berbalik sebagai bumerang yang menyerang diri.

Editor: Almaliki