Etnis.id - Cinta ditolak dukun bertindak. Begitulah ungkapan yang selama ini banyak terdengar. Ungkapan memang berlaku di sejumlah daerah yang ada di Indonesia. Salah satunya di Jawa.

Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang percaya adanya ajian pemikat lawan jenis yakni Semar mesem. Tapi, apakah benar ajian tersebut mampu bikin kesemsem orang yang kita taksir? Lantas bagaimana kalau pada akhirnya disalahgunakan?

Masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam. Akan tetapi, beberapa di antaranya masih percaya akan hal-hal mistis, khususnya para sesepuh. Hal mistis tersebut menjelma dalam pelbagai bentuk. Semar Mesem salah satunya.

Untuk kalian yang tinggal di Jawa, tentu sudah kerap mendengar nama ajian satu ini. Sederhananya, masyarakat menyebutnya dengan ilmu pelet. Terdengar negatif memang. Konon ajian Semar Mesem ini jika diamalkan dengan sungguh-sungguh mampu memikat hati lawan jenis yang didambakan.

Barang siapa yang berhasil menguasai ajian ini, maka bisa dengan mudah membuat lawan jenis klepek-klepek. Mengenai asal muasalnya, Semar Mesem ini lain tidak lain berasal dari Semar, yaitu salah tokoh pewayangan.

Di dalam tokoh pewayangan, Semar merupakan seorang pamonang yang diturunkan ke bumi. Semar Mesem ini sendiri memiliki arti Semar yang tersenyum. Semar sudah ada sebelum adanya orang Jawa.

Mengenai pembawanya, Semar Mesem pertama kali digunakan oleh Ki Ageng Pemanahan. Kala itu, Semar Mesem digunakan untuk menaklukkan musuh. Hasilnya, bukan hanya musuh saja yang akhirnya takluk. Lebih dari itu, semua pengikutnya juga turut takluk terhadap perintahnya.

Tidak berhenti pada pengikutnya saja, Semar Mesem juga membuat para wanita diam-diam jatuh hati. Ha itu lain tidak lain kerena ajian ini mampu memancarkan aura dan kharisma dalam diri seseorang.

Dari keberhasilan Ki Ageng Pemanahan, dalam kurun waktu yang singkat, ajian ini tersebar hingga ke penjuru Nusantara. Bahkan di tengah majunya zaman seperti sekarang ini, masih banyak juga orang yang mencari dan menggunakannya.

Saking berkhasiatnya, ajian ini akhirnya diwariskan secara turun temurun. Selain terkenal khasiatnya sebagai ilmu pelet, Semar Mesem juga dikenal mampu mengatasi berbagai problematika sehari-hari.

Paling banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam hubungan asmara. Banyaknya persaingan dan seringnya dikhianati menjadikan Semar Mesem laris sebagai solusi.

Pada akhirnya, banyak orang yang berusaha mengamalkan Ajian Semar Mesem melalui bunyi mantra yang selama ini banyak diajarkan. Seperti inilah bunyinya.

Ingsun amateek ajiku si semar mesem, mut mutanku inten, cahyane manjing ono pilingananku,kiwo tengen sing nyawang ke giwang, opo maneh sing nyawang kang kumantil tumancep ingsanubariku yo iku si jabang bayine, welas asih
marang badan slirahku, songko kersaning Allah.

Jika di bahasa Indonesiakan, kira-kira seperti ini artinya, “Aku merapal mantraku si semar mesem mutmutan-ku, cahayaku terbit dari kening bagian kiri kanan yang melihat akan menjadi bimbang, terlebih jika yang melihat. Yang tertancap melekat di bagian relung sanubariku yaitu si jabang bayi. Sudah pasti kelak akan datang belas kasih kepada jiwa ragaku karena kehendak Allah.”

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana proses mendapatkannya. Kalau melihat fungsinya, tentu ajian ini tidak mudah untuk didapatkan. Beberapa sumber menyebutkan untuk bisa mendapatkan ajian ini, dibutuhkan laku khusus. Mengerjakan puasa ganjil salah satunya.

Sekali lagi, tidak mudah untuk mendapatkannya.  Karena sulit didapatkan, akhirnya banyak yang mencari jalan mudah untuk mendapatkan mantra pemikat ini. Hal itu terbukti dari tingginya peminat keris Semar Mesem di toko online.

Lucu memang. Bagaimana mungkin sebuah benda sakral bisa diperjualbelikan dengan mudah begitu saja. Lantas di mana kesakralannya? Hanya melalui sebuah mantra dan laku khusus, seseorang bisa mengubah nasib. Namun, mau percaya atu tidak, sampai sekarang ini masih banyak yang mengamalkannya.

Mengenai kepercayaan memang tidak ada yang bisa menyalahkan. Tetapi bukankah lebih baik apabila berusaha dengan sungguh-sungguh. Jika ingin memikat hati, lebih baik diikuti dengan memantaskan diri, bukan hanya mengandalkan sebuah ajian. Terlebih jika akhirnya disalahgunakan. Saya rasa seharusnya tidak sebercanda ini dalam mengamalkan sebuah ajian.

Editor: Almaliki