Etnis.id - Belum lama setelah prahara penutupan warung-warung penjual daging anjing oleh Pemkab Karanganyar. Gubernur Jawa Tengah juga mengunggah postingan mengenai anjuran stop konsumsi daging “kambing balap”.

Terlepas dari polemik tersebut, konsumsi daging anjing telah menjadi kebiasaan dan jamak dijumpai di sekitaran daerah Solo Raya. Oleh karena itu, saya akan sedikit mengulas mengenai perihal konsumsi daging guk guk.

Bukan bermaksud hendak melabrak aturan soal halal-haram dan kaidah ketabuan dalam praktik konsumsi daging anjing. Tulisan ini saya buat untuk melihat praktik tersebut dalam bingkai pemikiran antropologis dan historis. Jadi mohon maaf, tepikan sejenak pemahaman soal aturan agama dan perspektif para penyayang binatang untuk dapat melihat sisi lain dari praktik kebudayaan ini.

Dalam konteks masyarakat Solo, sejak lama telah dijumpai praktik konsumsi daging anjing dengan pelbagai olahan seperti sate, masak rica-rica dan tongseng yang dikenal juga dengan sebutan Sengsu akronim dari Tongseng Asu. Warung-warung kecil tempat berjualannya pun cukup mudah ditemui di sudut-sudut kota, tanpa malu menunjukkan identitasnya.

Umumnya para pedagang kuliner daging anjing di Solo menamai warung dagangannya dengan nama Sate Jamu atau Sate Guk Guk. Pemberian nama Jamu dikarenakan keyakinan bagi para konsumennya bahwa dengan mengonsumsi daging segawon, mampu memberikan efek dalam meningkatkan stamina dan kesehatan.

Anjing yang dikonsumsi juga tidak melalui proses penyembelihan agar darahnya tidak habis keluar dan tetap tersimpan bersama dagingnya. Hal tersebut juga dipercaya membuat efek “hangat” setelah mengonsumsi olahan tersebut.

Secara historis, budaya konsumsi daging segawon telah ada jauh sebelum Islam masuk dan berkembang di tanah Jawa. Sudut pandang antropologis mengungkapkan bahwa lanskap kultural masyarakat di Asia berbeda dengan masyarakat di belahan bumi barat.

Masyarakat Barat menganggap anjing sebagai sahabat terdekat manusia, sehingga sangat tabu untuk dikonsumsi. Akan tetapi, pada masyarakat Asia, umum dijumpai daging anjing sebagai sumber protein alternatif selain binatang ternak dan kacang-kacangan.

Begitu juga yang dapat dilihat pada masyarakat yang mendiami Pulau Jawa sebelum pengaruh Islam datang. Pengaruh Islam yang juga sudah cukup lama mengakar di Jawa, membuat catatan mengenai praktik konsumsi daging anjing cukup sulit ditemukan.

Seperti dalam Serat Centhini yang merupakan karya sastra hasil tulisan para kyai dan pujangga dari kerajaan Mataram Islam. Meski banyak memuat informasi mengenai khazanah kuliner masyarakat Jawa, kuliner berbahan dasar daging anjing sulit ditemukan atau bahkan tidak dicantumkan dalam mahakarya tersebut.

Salah satu bukti catatan mengenai praktik tersebut di masa lampau justru ditulis oleh penjelajah dari Tiongkok bernama Ma Huan (1433) yang juga merangkap sebagai juru bahasa dari armada Laksamana Cheng Ho.

Sebagai orang yang menganut Agama Islam, Ma Huan terkejut menjumpai praktik konsumsi masyarakat pribumi Jawa pra-Islam yang buruk. Ia sebutkan bahwa masyarakat Jawa gemar mengonsumsi anjing meskipun mereka juga tidur bersama anjing-anjingnya. Selain daging Anjing, mereka juga mengonsumsi makanan yang dianggap oleh Ma Huan sebagai hal buruk lainnya seperti ular, semut, dan serangga lainnya.

Semenjak Islam masuk dan berkembang di masyarakat Jawa, perlahan-lahan kebiasaan memelihara dan mengonsumsi anjing digantikan dengan kambing. Walau saat ini masyarakat Jawa terkhusus Solo sudah didominasi oleh pemeluk Agama Islam, tidak serta-merta menghilangkan praktik budaya mengonsumsi “kambing balap”.

Masyarakat non-muslim dan penganut abangan masih lazim mengonsumsi olahan daging tersebut. Terbukti hingga saat ini, perputaran bisnis kuliner daging anjing masih berlangsung di kota sisi sungai Bengawan.

Begitulah seklumit kisah mengenai sate jamu dan konsumsi daging anjing masyarakat Jawa khususnya Solo. Tak dimungkiri bahwa sudut pandang kultural antropologis dan historis telah menempatkan daging anjing dalam khazanah kekayaan kuliner nusantara. Sekali lagi, saya di sini hanya membagikan sepotong kisah dan bukan hendak melawan kaidah-kaidah norma tertentu yang berlaku di masyarakat saat ini.

Editor: Almaliki