Hidup memang kadang tak mudah, namun cara menikmati hidup juga kadang amat sederhana saja. Bersantai di warung kopi alias "ngopi", cara menikmati hidup yang paling jamak dan membumi.

Laiknya Sartre dan Nina Simone yang menghabiskan waktu untuk memperdebatkan gagasan seksual mereka di sebuah bistro di sepanjang jalan Kota Paris dengan meminum kopi dan mendengarkan jazz. Atau buruh kulit hitam Amerika yang memilih Blues Cafe sebagai tempat melepas lelah pasca pengisapan di ladang kapas dengan memesan segelas kopi espresso.

Maka, bagi saya, bertandang ke Warung Kopi Mas Partono dan menikmati sajian kopi panas kreweng dari cangkir kecil favorit, ditemani musik-musik koplo khas jawa timuran menjadi kegiatan yang asyik untuk bersantai. Melepaskan semua kekakuan dan kekalutan hidup sehari-hari—yang dalam waktu yang bersamaan, mendialektisir cinta sekaligus meneduhkan kelelahan dan ketersisihan.

Esensi Kopi Kreweng

Sejauh mana pengalaman Anda terkait minuman kopi? Apakah Anda yakin pengalaman itu sudah membawa pada sensasi nikmat yang sebenarnya? Pada kopi kreweng ini saya coba merepresentasikan sensasi nikmat kopi khas alam selingkar wilis. Sedikit cerita mungkin dapat membawa Anda pada esensi nikmat dalam seduhan kopi.

Eksistensi kopi tradisional terbukti kuat bertahan di tengah invasi kopi manual brewing dan gempuran kopi sachet-an. Kehadiran kopi sachet, diakui atau tidak, memang sempat berdampak pada kopi tradisional. Sebab, kopi sachet lebih cepat dan mudah didapat. Terlebih, ketika mendapatkannya pun sangat mudah. Tapi, kopi tradisional membuktikan dirinya masih bisa bertahan sampai saat ini.

Dengan popularitasnya kopi yang sangat mengejutkan, kopi menjadi minuman paling populer di banyak tempat di dunia. Orang-orang lebih memilih mengonsumsi lebih banyak kopi dibandingkan soda, jus, atau teh. Seperti ketika pertama kali berita mengenai Pangeran Harry dan Meghan ketika mempertimbangkan Kanada sebagai rumah baru mereka. Raksasa kopi Kanada Tim Hortons menawarkan kopi gratis seumur hidup kepada mereka sebagai rayuan tambahan.

Sesuai dengan apa yang telah kita ketahui, kopi cocok dinikmati di pagi hari. Di seluruh dunia, dua miliar cangkir kopi dikonsumsi setiap hari. Kopi bukan saja terkenal dengan khasiatnya bagi tubuh, namun juga menyimpan begitu banyak ragam khasanah yang sayang jika dilewatkan. Salah satunya adalah kopi kreweng yang masih bertahan sampai saat ini, meski tak lagi mudah ditemui.

Penyebutan kopi kreweng ini merujuk pada alat yang di gunakan untuk menyangrai kopi sebelum digiling. Kreweng merupakan wajan penggorengan yang terbuat dari tanah liat. Penggorengan kopi tradisional memang menggunakan kreweng dengan api dan kayu. Itu tak bisa diganti. Sebab, dari sanalah ketajaman aroma kopi muncul. Andai menggoreng kopinya menggunakan wajan dari besi dan api yang digunakan menggoreng dengan gas dan minyak, kopi tak akan mengaur aroma yang khas nan tajam.

Para penggemar kopi dapat menentukan sendiri kopinya sesuai selera, seperti agak pahit, manis, atau yang pas saja. Berbeda dengan kopi hitam pada umumnya, kopi kreweng mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri khas itu mencangkup rasanya yang lebih pahit, lebih kental, dan memiliki aroma yang harum serta tahan lama.

“Apalah arti percakapan tanpa kopi, mungkin dapat diganti namanya menjadi dakwah, dari rongga mulut tanpa ludah”. Begitu kiranya sepenggal narasi yang dapat menggambarkan kopi di antara obrolan bersama kawan.

Tentang Warung Kopi Mas Partono

Dua belas kilometer sebelah selatan dari pusat Kota Madiun, tepatnya di ujung barat Desa Sukosari, Warung Kopi Mas Partono menyuguhkan pemandangan hamparan sawah yang luas. Selalu ada kesan tersendiri ketika menyeruput nikmatnya secangkir kopi kreweng di sana.

Sejak tahun 1984, Warung Kopi Mas Partono tetap mempertahankan kopi yang khas. Berkalang puluhan tahun sampai saat ini, ciri khas kopinya menjadi tujuan para penikmat kopi lokal. Rasa kopi menjadi satu-satunya alasan orang-orang berkunjung.

Kopi yang menawarkan karakter yang kuat dan Warung Kopi Mas Partono yang berada di ujung desa, menyuguhkan roman kesyahduan pemandangan alam persawahan. Duduk di sana tak ingin meninggalkan pijakan romansa yang terkandung setiap kali menyesapnya. Bagi saya, ini adalah bahasa sederhana yang mampu menjangkau indahnya romansa antara kopi dan keilahiannya, yaitu alam Sukosari dan kopi tradisionalnya.

Meski tak pernah jelas persisnya, terlalu jauh untuk mengungkap titik awal kapan sesungguhnya manusia mulai gemar mengonsumsi kopi. Minum kopi bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi tradisi yang turun-temurun. Tradisi tersebut sejalan dengan negara Indonesia sebagai penghasil berbagai jenis kopi, mulai dari kopi Toraja, kopi Aceh, kopi Bali, hingga kopi Flores. Indonesia juga merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia,

Seturut catatan sejarah, pada 1911 ketika negara-negara Eropa mulai melihat potensi wilayah Nusantara yang begitu subur. Nusantara yang kaya akan komoditas tanaman rempah, mulai dilirik dan disinggahi Eropa, ditanami bibit kopi dari daratan Eropa untuk dibudidayakan di Nusantara.

Kopi dan Budaya "Ngopi"

Kopi Indonesia memang banyak sekali jenisnya. Dari jenis robusta dan arabika saja dapat dipecah lagi menjadi berbagai macam varian. Belum lagi dari jenis liberika dan ekselsa. Berbagai jenis kopi itu memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan keunikan dan cara penyajian masing-masing. Pun di masa kini, ketika kedai-kedai kopi kekinian mengalami pertumbuhan di berbagai kota, membuat pasar kopi semakin luas.

Namun, ada perbedaan nuansa yang cukup jelas di kedai atau warung kopi, disadari atau tidak, sesungguhnya menunjukkan perbedaan niat dan tujuan para pengunjungnya. Salah satunya, terjadi perubahan orientasi masyarakat yang semula bersifat lokal dan kedaerahan menjadi masyarakat global. Selain itu, bertambahnya peminat kopi dari berbagai kelompok usia dan kalangan, juga menggeser filosofi minum kopi.

Jika semula "ngopi" bertujuan untuk menahan kantuk atau disesap sembari bersantai dengan teman sebaya, kini berubah menjadi tren dan gaya hidup modern yang lebih menekankan prestise. Namun, perubahan itu tak dapat dibendung, terlebih Indonesia sebagai negara multikultur. Orang-orang seperti Mas Partono dan keputusan para penikmat kopi akan menentukan seberapa lama nuansa tradisional itu akan bertahan.

Menyesap secangkir kopi terasa lebih khidmat di kedai kopi legendaris seperti kopi kreweng Mas Partono. Selain tetap mempertahankan metode seduh tradisional (kopi tubruk berampas), jauh pula dari kesan seremonial. Mereka yang mendatangi Warung Kopi Mas Partono, seperti memenuhi panggilan "ngopi" yang sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Sukosari.

Penyunting: Nadya Gadzali