Kalau Anda kira makanan hanya identik dengan rasa nikmat atau enak saja, maka Anda mestinya membaca kisah Anthony Bourdain, Seorang kulineris yang kerap melakukan tur sederhana mengajak kita menjelajah dunia untuk mengenali kisah kemanusiaan lewat sajian dan ritus makan yang lebih luas dan lebih kaya makna. Menelusuri tempat-tempat lewat acara-acara TV-nya: dari A Cook’s Tour (2002 -2003), No Reservations (2005-2012), dan yang terakhir adalah Parts Unknown (2013-2018).
Dalam salah satu tulisan di blognya, Bourdian, chef dan penulis kuliner itu, menjelaskan bagaimana proses pendokumentasian kulinernya. Di sela menyesap kuah sedap Bun Cha bersama Presiden Barack Obama di sebuah kedai, Bourdain juga memaparkan bagaimana hubungan Vietnam dan Amerika Serikat, dua negara yang di masa lampau bermusuhan dalam perang hebat. Dengan apik Bourdain menggambarkan pula bagaimana tradisi makanan berkuah Vietnam kini berdampingan dengan restoran cepat saji Amerika.
Senarai tentang bagaimana sebuah makanan dapat membawa cerita tentang kehidupan sosial masyarakat dan kisah keseharian orang di sebuah daerah. Warung pecel Lek Suwarti adalah hal yang tak terpisahkan bagi derap hidup dan eksistensi masyarakat Sukosari, puak yang melahirkan saya. Di awal pagi warung pecel Lek Suwarti, mulai ramai di kunjungi. Di dalam dan teras warung, pelanggan sudah berjajar memadati warung dalam celotehannya masing-masing.
Bertukar kesan di muka meja kayu berukuran 1×3 meter tempat menyajikan kulup atau sayuran, sambal, kering, nasi, juga lauk-pauk. Tua-muda dan beberapa anak-anak tampak sesekali bertingkah menengok isi baskom di atas meja yang berisi tempe goreng.
Mereka semua sedang menanti pesanan. Mereka semua ingin menikmati sekaligus memulai rutinitas harian yang menyita banyak waktu juga pikiran. Menjalani ritme hidup harian, dengan sepincuk pecel yang disajikan dengan daun pisang, aroma dan rasanya bagi banyak orang di Sukosari menjadi pilihan untuk memulai hari, lekat penuh pengharapan.
Nasi pecel telah menjadi bagian keseharian menu sarapan warga Kota Madiun. Sajian makanan vegetarian ini terbilang sederhana namun istimewa. Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, di kampung saya Uang Rp.3.500 sudah bisa menikmati sepincuk nasi pecel plus lauk tempe atau rempeyek.
Ini mungkin merupakan cara yang tepat apabila handai taulan sekalian sedang ingin berpelesir ke daerah Madiun nan damai di sini. Bersama seorang karib, meninggalkan dan menanggalkan sejuta keriuhan media sosial maupun seluk keramaian. Menikmati liburan mengunjungi wisata atau boleh jadi bertandang ke rumah saudara. Sebelum nantinya tertarik mencicip kuliner yang khas di kota Madiun yaitu pecel.
Mari kita simak tentang bagaimana nasi pecel ini eksis di masyarakat, warung pecel Lek Suwaarti satu dari beberapa warung pecel yang ada di Sukosari menjadi warung legendaris, setidaknya bagi saya juga masyarakat di tempat saya tinggal. Warung pecel yang jadi langganan sejak SD dulu selalu saya kunjungi tiap berangkat sekolah bersama Emak.
Antara Warung Pecel Lek Suwarti dan Orang-orang Di Sukosari
Sukosari adalah salah satu desa kecil di bagian selatan dari Kabupaten Madiun, tepatnya di Kecamatan Dagangan. Nasi pecel telah menjadi kuliner khas nan ikonik dari kota pendekar ini. Ia menjadi salah satu makanan tradisional yang legendaris. Panganan ini biasa dikonsumsi saat sarapan atau kudapan sebelum memulai rutinitas juga di sela-sela melakukan aktivitas harian.
Segelas teh hangat biasa saya pesan sambil menunggu antrean. Kebiasaan orang-orang di desa membuat saya mengikuti rutinitas paginya, yang antara bangun tidur dan mulai aktivitas, ada waktu barang satu jam untuk duduk mengobrol, sarapan, dan ngeteh-ngopi bersama di warung pecel Lek Suwarti. Ritme hidup yang landai menyusup pelan saya rasakan dampaknya hingga sekarang.
Kebiasaan ini seperti juga mencerminkan kebiasaan orang-orang di Sukosari pada umumnya, dibanding tempat lain di Madiun. Semua orang melakukan aktivitasnya dengan tenang. Ritme ini pun berlangsung sepanjang hari. Pemandangan yang biasa dilihat, orang-orang nongkrong di warung pecel pada pagi hari, atau para ibu yang mengantre sambil bertukar resep masak atau bergosip.
Warung-warung pecel Lek Suwarti telah ada sejak 1980an. Cita rasa dan resep yang diturunkan dari keluarganya tak pernah berubah kenikmatannya. Warungnya buka mulai jam 06:00 sampai jam 09:00 saja. Sedang di bulan Ramadhan warung buka mulai jam 02:00 hingga jam 04:00 subuh. Tak bisa dipungkiri autentiknya rasa nasi pecel di sini selalu dapat membawa pelanggan untuk kembali dan kembali lagi menikmati kelezatan tiap porsinya.
Cita rasa bumbu kacang yang segar dan manis dengan campuran asam jawa, gula kelapa, dan bumbu kencur menjadi perpaduan rasa nikmat yang khas. Agaknya, bagi banyak masyarakat Sukosari, menikmati sajian nasi pecel Lek Suwarti adalah pilihan yang tak pernah mengecewakan untuk memulai rutinitas harian
Pecel yang Bukan Sekedar Makanan
Meskipun sampai kini sulit mencari fakta bagaimana pecel bisa diidentikkan dengan Kota Madiun. Karena memang di beberapa daerah juga memiliki klaim terhadap nasi pecel. Mungkin yang dapat membedakan ciri khas di tiap daerah adalah sajiannya.
Mafhum, makan tak bisa dilepaskan dari budaya. Bahwa perkara makan dan makanan itu mampu menceritakan kelindan sosial dan kultur masyarakat, juga pemiliknya. Cerita yang tersebar secara turun temurun dianggap memiliki nilai kebudayaan lokal yang kuat. Maka dari itu, keberadaan warung pecel Lek Suwarti memiliki kedekatan yang lebih erat dengan masyarakat sekitar.
Jika dibedah lebih dalam lagi, makanan hampir selalu memiliki signifikansi terhadap pandangan sosial-budaya mengenai hubungan masyarakat yang berlaku di sana. Bahwa sebenarnya makanan mampu membangun korelasi antara masyarakat tersebut dan kehidupan sehari-hari. Apa yang kita dapatkan bukan sekedar bayangan buram soal enak dan tidaknya suatu masakan. Tetapi pada apa yang disebut dengan esensi. Karena masing-masing individu mengembangkan ukuran kenikmatan makannya sendiri.
Makan dan Makanan Hari Ini
Gastronomi melibatkan unsur yang lebih luas ketimbang sekedar makan dan kenyang, tetapi juga memahami kultur dan kelindan masyarakatnya. Alangkah apiknya jika unggahan foto makan dan makanan kita di media sosial disertai narasi tentang bagaimana makanan tersebut mendefinisikan berbagai gejolak dan konstruksi identitas masyarakat, sehingga makanan mampu merangkai diskursus sosial, budaya, dan eksistensi sebuah daerah ke dalam kisah kebudayaan. Namun kerap kali, narasi itu tenggelam dalam jepretan lampu flash kamera ponsel pintar.
Koleksi foto makan dan makanan di media sosial akan menjadi urusan kebudayaan jika kita membicarakan unsur kebudayaan itu dan tidak sekadar berburu like atau komentar saja. Padahal, bersama narasi yang ada dalam unggahan makan dan makanan, kita bisa membawa kisah kearifan masyarakat, melanglang buana melintasi batas, melintasi waktu, dan terus meredefinisi identitas daerah dan khazanahnya.
Makanan layaknya pecel adalah semata objek yang terbentuk karena niat dari seorang peramu dan restu Sang Khalik, maka ia menjadi ada, menjadi wujud. Kemudian berkembang dengan ikatan-ikatan lain. Manusia dalam citranya, dalam identitasnya serta juga eksistensinya.
Penyunting: Nadya Gadzali