Perjalanan ke desa-desa kecil selalu memberikan pengalaman yang menggugah. Begitu pula dengan Sungai Utik. Kekayaan hayati dan tabiat magis-religius yang mengilhami laku spiritual masyarakatnya, menjadikan Sungai Utik suaka tersendiri bagi para penghayat kebudayaan.

Berada di kawasan hutan lindung penyangga Taman Nasional Betung Kerihun. Tepatnya, di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu. Kawasan adat yang dihuni oleh komunitas Dayak Iban itu dapat ditempuh selama dua jam perjalanan menyusuri Jalan Lintas Utara dari Putussibau.

Menurut sejarah lisan, setelah berpindah dari satu tembawai ke tembawai lainnya, komunitas Iban mulai bermukim di Sungai Utik sejak tahun 1972. Seiring berjalannya waktu, rumah panjae yang mereka dirikan menjadi salah satu ikon rumah adat Suku Dayak yang masyhur di jagat pariwisata.

Rumah panjae komunitas Iban Kalimantan—sebagaimana diketahui bahwa mereka berbagi akar budaya yang sama dengan etnis Iban Sarawak—merupakan cerminan masyarakat kosmosentris yang memandang alam sebagai pusat realitas.

Seperti falsafah 'tritangtu' pada masyarakat Sunda dan konsep 'tritunggal' dalam keyakinan Hindu-Bali, kosmologi masyarakat Iban juga berasal dari pemisahan dan penyatuan yang menghasilkan entitas paradoks, yakni oposisi biner yang mereka tafsirkan sebagai pasangan berkebalikan, namun tetap berhubungan secara struktur (completio oppositorum).

Replika Rumah Panjae

Semakin lama berada di Sungai Utik, semakin meruah pula kekaguman saya pada masyarakat Iban. Takjub itu bermula dari kegigihan mereka dalam mempertahankan warisan budaya leluhurnya.

Sebagaimana kelahiran, proses membangun dan menempati rumah adat merupakan peristiwa penting dalam daur hidup masyarakat Iban. Kendati harus bergelut dalam pusaran arus zaman, masyarakat Iban yang mengampu wilayah adat seluas 9.454.54 hektar itu selalu menemukan cara untuk kembali pada kemurnian tradisi lama. Tradisi yang sejatinya memiliki persambungan dengan realitas kehidupan saat ini.

Benjamin S. Bloom dalam Taxonomy of Education of Objectives, Cognitive Domain (1959) menjelaskan bahwa ranah kognitif, afektif dan psikomotor, berorientasi pada cara seseorang untuk menyatakan kembali konsep atau prinsip yang telah dipelajari. Pembangunan rumah budaya ialah sarana untuk menyatakan kembali prinsip dan ajaran-ajaran leluhur melalui rancangan arsitektur vernakular yang otentik, mengingat tetua-tetua adat Iban saat ini merupakan generasi terakhir yang memahami seluk-beluk rumah adat.

Replika rumah panjae menjelma mahakarya. Warga Sungai Utik melibatkan diri secara sukarela dalam pembangunannya, sejak pemetaan konsep, pencarian material bahan-bahan, perancangan struktur, konstruksi, tata letak, pola ruang, hingga pelaksanaan ritual-ritual adat untuk menyempurnakan bangunan rumah adat.

"Harapan saya, anak-cucu tetap melanjutkan tradisi dan kebersamaan di rumah panjae", Bartolomeus Rodes, seorang warga Sungai Utik menyatakan harapannya.

Tahun berganti, setiap peluh yang menetes dari tubuh orang-orang Iban mulai mewujud bentuk, ruang, dan isi dalam bangunan. Ditandai dengan rampungnya struktur utama bangunan rumah budaya yang terdiri dari tanjuk, ruai, bilik, dan dapur.

Dinding ruai berlapis 'kulit kayu pukul'/Nadya Gadzali/Etnis

Keserupaan rumah budaya dengan rumah panjae tempo dulu tampak pada bagian ruai. Susanto dalam karyanya berjudul "Rumah Panjai Dayak Iban Sungai Utik", mengidentifikasi ruai sebagai zona ruang (di depan bilik) yang biasa digunakan oleh masyarakat Iban untuk berkumpul, bermusyawarah, menenun, belajar, sekaligus menjadi tempat bermain anak-anak. Dinding ruai tak hanya terdiri dari deretan material kayu tekam atau kayu keladan, melainkan dilapisi juga dengan kulit kayu pukul. Material alami yang lazim digunakan oleh masyarakat yang menetap di daerah beriklim tropis.

Tangga keling bersanding dengan sesajian antu papas/Nadya Gadzali/Etnis

Kendati masa berperang telah usai, rumah adat Iban tetap mempertimbangkan faktor ekologis dan kultural, termasuk mekanisme bongkar-pasang (knock-down) pada tangga keling yang pada zaman dahulu ditujukan agar penghuni terhindar dari serangan musuh. Selain sistem keamanan, tangga keling juga dirancang sebagai upaya mitigasi bencana banjir atau respon terhadap keadaan darurat di musim penghujan.

Ritual Kayu Burung

Jelang pelaksanaan upacara adat menaiki rumah baru (nike rumah baru), sekira pukul lima pagi, Apai Janggut dan tetua adat lainnya bergerak ke dalam hutan. Mereka memusatkan perhatian pada kicauan burung Murai Batu (Copsychus malabaricus), hewan yang diyakini dapat memberi petunjuk bagi manusia.

Tetua adat mengumpulkan kayu burung/Nadya Gadzali/Etnis

Selepas nyaring suara burung Murai Batu, tetua-tetua adat bergegas mengumpulkan 'kayu burung' dari dalam hutan. Nantinya, benda itu akan digunakan dalam upacara adat. Tak ada aturan baku terkait jenis kayu yang digunakan, asalkan memiliki cabang pada bagian ujungnya dan memenuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan dalam aturan adat, yakni lima bilah kayu bagi kaum perempuan dan tujuh bilah kayu untuk kaum laki-laki.

Seikat kayu burung diletakkan di atas bedara/Nadya Gadzali/Etnis
Seikat kayu burung diletakkan di atas bedara/Nadya Gadzali/Etnis

Ritual Perlindungan bagi Para Pembuat Sesaji

Dalam khidmat rapalan besampi, para pembuat sesaji mengaur tubuhnya dengan sejumlah perlengkapan ritual, diwakili oleh sehelai kain untuk melindungi kepala; piring untuk menangkal energi negatif; serta besi sebagai simbol penguat semengat. Benda-benda itu menopang berdirinya bangunan praktik budaya lokal yang disebut dengan ritual perlindungan bagi para pembuat sesaji. Sebab, tak kalah penting dalam sebuah ritual adat adalah semengat dalam diri.

"Dalam Bahasa Iban, semengat diartikan sebagai kesatuan utuh dari ruh, jiwa, fisik, dan mental", Lidia Sumbun, narasumber asal Sungai Utik menyambut rasa ingin tahu saya.

Bedara

Setiap etnis di Nusantara mewarisi tradisi sesajian yang berbeda-beda, baik dari jenis maupun jumlahnya. Etnis Iban Sungai Utik terikat dengan adat dan kepercayaan bahwa sejumlah hidangan lokal yang berasal dari tradisi pangan sehari-hari mampu menjembatani komunikasi antara manusia dengan dunia transenden.

Sirih, pinang, rokok, ampas bram, garam, nasi, pulut, tumpe, rendai, dan telur adalah sepuluh perlengkapan sesajian dalam upacara adat yang disebut dengan bedara. Begitu pula dengan uang. Bagi masyarakat Iban, makna simbolik yang terdapat pada uang tak terbatas pada fungsi utamanya sebagai alat tukar, melainkan mediasi spiritual dan perlambang kesejahteraan.

Perlengkapan upacara adat menaiki rumah baru (nike rumah baru)/Nadya Gadzali/Etnis

Penganan ditempatkan di atas lima buah piring sesajian, terutama pulut, rendai, dan tumpe. Jumlah gasal menyiratkan sakralnya peristiwa menempati bangunan rumah baru.

"Bedara itu untuk orang-orang panggau (kahyangan), tamu-tamu tak kasat mata yang sengaja diundang untuk menghadiri upacara adat nike rumah baru", ujar Maria Helena Cerembang, karib yang biliknya menjadi tempat saya bernaung selama berada di Sungai Utik.
Lima piring sesajian, simbol paradoks dunia tengah/Nadya Gadzali/Etnis

Sebagai simbol pengakuan terhadap kekuatan yang lebih besar, etnis Iban melibatkan unsur-unsur ganjil dalam ritual adat. Bilangan ganjil adalah realitas kultural kaum peladang yang menitikberatkan fokus pada terbentuknya simbol-simbol paradoks dunia tengah, sebagaimana yang tercitrakan dalam arsitektur, ornamen, dan tradisi selamatan rumah panjae.

Penyimpanan tikar di rumah budaya terdiri dari susunan kayu berjumlah ganjil/Nadya Gadzali/Etnis

"Jumlah ganjil menunjukkan ketidakmampuan manusia dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga perlu digenapkan dengan cara memohon restu dan memanjat syukur kepada Petara (Tuhan yang Maha Esa dalam tradisi Iban)", Lidia Sumbun menerjemahkan makna bedara yang ada di hadapan.

Ritual Ngetam Nyamuk

Sebagaimana upacara tolak bala dalam tradisi Jawa, ngetam nyamuk bertujuan menangkal sebab-sebab musibah dan malapetaka. Alat yang digunakan dalam ritual ini adalah ketam padi. Sedangkan yang diketam bukanlah serangga sungguhan, melainkan perumpamaannya saja. Nyamuk, lalat, dan agas yang dianggap sebagai sumber penyakit disimbolkan dengan makanan ringan terbuat dari beras ketan: rendai, tumpe, dan pulut.

Seorang tetua adat yang akrab disapa Nenek Banyu, memimpin pelaksanaan ritual ngetam nyamuk. Gerak geriknya diikuti sejumlah perempuan yang berusia lebih muda. Mereka berjalan dari bilik tuai rumah untuk kemudian menghambur ke setiap sudut rumah budaya.

Ngetam nyamuk, ritual tolak bala dalam upacara nike rumah baru/Nadya Gadzali/Etnis

Sesampainya di tangga keling bagian hilir, besampi kembali dirapal. Minuman tradisional tuak dan perwujudan serangga pun dituangkan secara simbolis ke bagian bawah rumah budaya. Adegan ini menjadi perlambang lenyapnya hal-hal yang mengusik dunia tengah, dunia yang dihuni oleh manusia.

Ritual Nimang Ngkune

Hari semakin menua. Angin mulai terasa sejuk ketika prosesi nike rumah baru sampai pada ritual pamungkas, yaitu nimang ngkune. Selain merupakan ritual tertinggi dalam upacara selamatan rumah adat, nimang ngkune diyakini dapat mendatangkan berkat.

Bedara dalam ritual nimang ngkune/Nadya Gadzali/Etnis

Selepas menyembelih seekor ayam, sepiring sesajian berisi setumpuk rendai, lima butir telur, dan sematan beberapa helai bulu ayam diletakkan di dalam wadah terbuat dari anyaman bambu. Dalam sistem kepercayaan Iban, segala pengaruh negatif dalam diri manusia akan sirna, seturut hilangnya nyawa hewan ternak yang disembelih.

Iringan gendang berangsur senyap, digantikan lirih syair yang dibawakan oleh Apai Janggut selaku tuai rumah bersama-sama dengan dua orang penyagu. Tuai rumah berperan sebagai lemambang yang melantunkan nyanyian suci tentang proses menempati rumah baru, sembari menimang bedara menggunakan kain tenun kerbat khas Dayak Iban.

Lemambang dan dua orang penyagu mengelilingi teresang/Nadya Gadzali/Etnis

Bedara dalam ritual nimang ngkune terdiri dari sebaris tumpe yang diselipkan di antara tumpukan rendai. Bersisian dengan tuak yang disajikan dalam wadah kecil, satu butir telur pun diletakkan di sana. Sedangkan para penyagu, tetap menopang ritual dengan mengikuti untaian syair sang lemambang.

Mereka cukup lama berada dalam formasi melingkar. Menata bunyi repetitif dari tiga bilah tongkat kayu yang disergah mengelilingi teresang, tempat menaruh bedara dengan kuncup menghadap ke langit-langit. Ngkune kata orang Iban, tongkat kayu yang mereka hentak itu biasanya digunakan untuk mengukur luasnya bilik dalam rumah panjae.

Ngkune, kayu pengukur luasnya bilik/Nadya Gadzali/Etnis

Malam semakin larut. Ritual betimang telah sampai pada putaran terakhir. Bedara disingkap dari balik kain tenun kerbat tuai rumah dan diletakkan di pucuk teresang. Ia memberi isyarat bahwa upacara adat nike rumah baru telah usai. Rumah budaya telah paripurna.

Warga dan pelawat berangsur meninggalkan rumah budaya, hingga tersisa tiga orang tetua adat. Satu di antaranya, pria yang akrab disapa Kakek Kidao. Ia meraih pandangan mata saya yang tertuju pada bedara.

"Harus ada yang menjaganya semalaman. Bedara tidak boleh ditinggalkan. Kalau nanti orang-orang panggau memenuhi undangan, mereka akan bertanya, kemana tuan rumahnya?", katanya sembari menunjuk benda sakral itu.

Bagi saya, berada sedemikian dekat dengan para pelestari budaya adalah sebuah inspirasi. Perasaan terpaut dengan sebuah komunitas adat juga suatu berkat. Sebab, tak ada magis melampaui rapalan besampi dan kesadaran yang menggetarkan hati begitu rupa, sehingga tercipta hubungan yang selaras antara manusia, alam, dan Tuhan.