Provinsi Lampung memiliki kain tenun tradisional yang berbeda, unik, dan legendaris. Kain tenun ini dikenal dengan kain tapis, dibuat dengan cara tradisional dan keterampilan yang mumpuni, sehingga bernilai jual tinggi. Kain ini dibuat melalui proses penenunan benang katun dan penyulaman tradisional dari benang emas dan benang perak. Masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan ‘cucuk’. Kain ini biasanya dikenakan oleh para wanita di bagian pinggang hingga mata kaki.

Sejarah Kain Tapis

Dalam catatan sejarah, masyarakat Suku Lampung mulai menenun kain brokat atau nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad ke II masehi. Motif yang tergambar dalam kain tersebut antara lain pohon hayat, kait, kunci, dan bangunan berisikan roh manusia, binatang, bunga melati, matahari, bintang, dan bulan.

Melewati proses yang panjang, kain tapis kemudian lahir dan dikembangkan hingga saat ini. Kain tapis pun mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan zaman, baik proses pembuatannya, motifnya, dan metode penempelan motif pada kain dasar tapis.

Agama Islam berkembang di Lampung dan memperkuat kerajinan kain tapis dengan menghadirkan beragam unsur baru. Pengaruhnya memperkaya corak, ragam, dan gaya khas dari kain tapis itu sendiri. Meskipun demikian, unsur lama yang sudah ada tetap dipertahankan. Kebudayaan memengaruhi dan melahirkan motif baru yang unik dan otentik.

Suku Lampung yang memproduksi dan melestarikan kain tapis khas ialah suku yang beradat papadun. Kain tapis terdiri dari berbagai jenis tingkatan dan pemakaian yang berbeda-beda menurut siapa yang akan memakainya.

Motif pada Kain Tapis

Dilihat dari sudut pandang sosiologi, kain tapis Lampung menggambarkan status sosial pemiliknya di masyarakat. Misalnya, motif kain tapis yang digunakan dalam proses penikahan adat dan upacara pemberian gelar adat, begitu pula golongan keluarga pemimpin adat atau pemimpin suku dalam upacara adat, sehingga pemakaian kain tapis memiliki beberapa tingkatan sesuai perannya dalam masyarakat. Kain tapis bermotif Tapis Agheng, Tapis Kaca, dan Cucuk Pinggir dikenakan pada wanita atau stri tua.

Sebaliknya, motif untuk acara adat pernikahan, kain tapis yang dikenakan sang pengantin antara lain Tapis Jung Sarat, Raja Tunggal, Dewasano, Raja Medal, Limar Sekebar, Ratu Tulang Bawang, dan Cucuk Semako. Selanjutnya, para penari cangget (tarian menyambut tamu) tapis yang digunakan memiliki motif Tapis Balak, Bintang Perak, Pucung Rebung, Kibang, dan Lawek Linau. Semua motif sudah memiliki derajat penggunaan, sehingga jika salah menggunakannya akan digenakan sanksi adat.

Umumnya, kain tapis memiliki motif yang menyuguhkan tema kehidupan dan lingkungan, sehingga lebih sering dijumpai motif flora dan fauna. Contohnya, Tapis Cucuk Andak mengangkat motif dengan tema kehidupan rumah tangga. Tapis yang menggunakan flora sebagai motifnya adalah tapis peminggir (pesisir).

Makna Simbolik Kain Tapis

Kain tapis biasanya dikenakan pada acara resmi di Lampung, seperti pengambilan gelar, keagamaan, hingga ritual-ritual  adat. Kain tapis juga termasuk perangkat dan dan bagian dari pusaka keluarga. Kain tapis mampu mencegah adanya kotoran luar sehingga masyarakat menganggap kain tapis sebagai lambang kesucian. Dilihat dari motif, kain tapis juga menunjukkan status sosial penggunanya. Motif dan warna kain dasar dipercaya sebagai cerminan kebesaran Sang Pencipta, jika dilihat secara utuh.

Awalnya, kain tapis bermotif kapal didesain untuk menghormati leluhur sebagai gambaran kehidupan manusia dari awal hingga akhirnya meninggal. Penggunaan kain tapis awalnya hanya untuk acara keagamaan saja. Simbol-simbol pada kain tapis diartikan sebagai penghubung dari berbagai makna pelaksanaan upacara adat di sepanjang kehidupan manusia. Dalam upacara adat, kain tapis sebagai pelengkap yang menggambarkan kesucian dan keagungan sebuah upacara adat.

Kain tapis juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat Lampung, namun harus tetap hati-hati dan tetap berada dalam aspek lokalitasnya. Pengerjaan kain tapis, memerlukan ketekunan, ketlitian dan kesabaran, sehingga terwujudlah kain tenun tapis yang indah dan kaya makna. Adanya kerja sama yang baik dapat mempersingkat proses pembuatan kain tapis.

Bahan dan Alat Tenun Tapis Lampung

Kain tapis Lampung merupakan kerajinan tenun masyarakat Lampung yang dibuat dengan benang katun dan benang emas. Benang katun berasal dari tanaman kapas dan digunakan dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas digunakan dalam membuat ragam motif pada tapis dengan sistem sulam. Tahun 1950, para pengrajin tapis menggunakan bahan-bahan dari hasil olahannya sendiri, khususnya bahan tenun.

Bahan-bahan dasar kain tenun tapis Lampung adalah tanaman kapas untuk membuat benang, kepompong ulat sutera sebagai sumber pembuatan benang sutera, lilin sarang lebah untuk meregangkan benang, tanaman akar serai wangi untuk pengawet benang, dan penggunaan daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.

Pewarna kain tapis terbuat dari pewarna alami yang berasal dari tanaman yang terdiri dari buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal (warna merah), kulit kayu salam dan kulit kayu rambutan (warna hitam), kulit kayu mahoni atau kulit kayu durian (warna coklat), buah deduku atau daun talom (warna biru), dan kunyit serta kapur sirih (warna kuning).

Adapun alat yang digunakan dalam pembuatan tenun tapis yaitu sesang, alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. Mattakh merupakan alat untuk menenun kain tapis. Mattakh memiliki beberapa bagian yaitu terikan, cacap, belida, kusuran, apik, guyun, ijan atau penekan, sekeli, terupong atau teropong, amben, dan tekang.

Proses Pembuatan Kain Tapis

Tahapan pembuatan kain tapis Lampung terdiri dari 4 metode, yaitu pembuatan benang, pewarnaan benang, perajutan benang, dan penyulaman benang untuk membuat motif pada kain tapis. Pembuatan kain tapis diawali dengan pemintalan kapas menjadi benang katun dan pemintalan kepompong ulat sutera menjadi benang emas. Selanjutnya, benang-benang tersebut melalui proses pengawetan dengan merendam dalam air yang sudah ditambahkan daun sirih wangi.

Tahapan berikutnya adalah pewarnaan benang dengan menggunakan bahan-bahan alami. Setelah warna benang dipilih dengan sesuai keinginan, benang direndam kembali dalam air yang dicampur daun sirih. Perendaman bertujuan agar warna benang tidak mudah luntur.

Selanjutnya, membuat benang menjadi kain dengan cara dirajut. Setelah kain jadi, tahapan yang paling penting adalah permbuatan motif yang diadaptasi dari alam sekitar, yakni flora dan fauna menggunakan benang-benang berwarna. Penyulaman motif disulam menggunakan sistem cucuk dengan benang emas dan perak. Apabila penyulaman benang sudah selesai dikerjakan, maka kain tapis sudah selesai dibuat dan siap dikenakan.

Perkembangan teknologi menjadikan kain tapis kini dapat disulam dengan mesin bordir, tidak lagi secara tradisional menggunakan tangan. Kendati demikian, penyulaman tapis dengan teknik-teknik tradisional masih tetap dipertahankan. Pembuatan kain tapis membutuhkan waktu berminggu, bahkan hingga berbulan-bulan. Tak heran, harga kain tapis dapat mencapai puluhan juta rupiah. Harga bervariasi tergantung kerumitan motif yang dibuat. Bentuk kerajinan tapis yang dipasarkan antara lain sarung, hiasan dinding, taplak meja, tas, dan sebagainya.

Penyunting: Nadya Gadzali