“Apapun yang terbang asal bukan pesawat terbang, apapun yang melata asal bukan kereta api, apapun yang di dalam air asal bukan kapal selam, pasti bisa kami masak dan hidangkan” -Pepatah Minahasa

Etnis Minahasa adalah kelompok masyarakat yang mendiami jazirah pulau Sulawesi bagian utara. Berada di pegunungan dengan hutan-hutan yang rimbun, masyarakat Minahasa adalah peladang, pemburu dan peramu. Berabad-abad mereka hidup dalam sistim kesukuan, tak tampak jejak kerajaan maupun sistem tulisan di peninggalannya, namun kebudayaan lisan terwaris lintas generasi. Melalui syair, mantra dan cerita rakyat, tersimpan narasi panjang tentang budaya gastronomi masyarakat Minahasa.

Catatan perjalanan Nicolas Graafland seorang penginjil yang bertugas di Minahasa pada tahun 1850 menuturkan dengan seksama tentang kebudayaan kuliner dan serba-serbinya. Melalui bukunya yang berjudul Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand (Minahasa: Negeri, rakyat dan budayanya, diterjemahkan Luci Montolalu-Jakarta, 1991), Grafland menguliti dengan cermat tentang alam, budaya dan manusia Minahasa, yang tentunya dengan sudut pandang orientalis dan sikap etnosentris yang masih cukup kentara. “Di pesta pernikahan itu, tampak masyarakat berhimpun menyiapkan hidangan. Tikus hutan, babi, ular adalah hidangan unik yang mereka siapkan” (Minahasa:269).

Seperti yang terekam dalam amatan Grafland ratusan tahun lalu, budaya gastronomi Minahasa hari ini pun tak banyak berubah. Etnis Minahasa masih saja dianggap pemakan “segalanya”. Daging-daging yang tak lazim terjaja di pasar istimewa. Di pasar ekstrim Kota Tomohon, pemandangan orang menjaja daging kucing, anjing, ular hingga kelelawar adalah hal yang biasa. Pun demikian, berbagai hidangan olahan daging ekstrim banyak ditawarkan di warung-warung maupun restoran di Sulawesi Utara.

Rempah Minahasa dan Budaya Meramu

Bayangkan hidup di jazirah Sulawesi Utara ratusan tahun lalu, di tengah belantara hutan yang pohonnya menjulang setinggi gedung-gedung pencakar langit. Rimbunnya dedaunan menghalangi terik matahari menyentuh bumi. Babi hutan, Anoa, Yaki (sejenis kera hitam), Kuskus, Rusa adalah penghuni rimba yang mudah dijumpai.

Kekarnya pepohonan menjadi tempat berlindung sang Patola (ular sanca) mencari mangsa. Mereka mencari tikus hutan ataupun hewan yang dihadapan. Tak jauh melangkah, kita mendengar gemericik air mengalir membentuk rangkaian jalur panjang, sungai yang mencari rumahnya di Samudera. Di sanalah weris, soa-soa (biawak) bersembunyi.

Terlihat di udara, riuh kepakan burung memekakkan telinga, namun tak hanya burung, segerombolan paniki (sejenis kelelawar buah) beterbangan mencari ranumnya buah-buah segar yang bersembunyi di sela ranting-ranting. Tak pernah ada sejarahnya harimau ataupun macan kumbang di hutan ini. Hanya sebangsa kucing liar yang turut memangsa ayam hutan ataupun mahluk kecil lainnya.

Melimpah dan beragamnya hewan buruan menjadi lumbung pangan istimewa masyarakat Minahasa. Mengolahnya memerlukan keterampilan dan tradisi meracik ramuan terkandung dalam budaya tua bernama Makatana.

Secara harfiah, Makatana berarti “milik dari tanah”, sebuah aktivitas meracik dan meramu bahan dasar yang diambil dari alam. Proses racikan makatana seringkali dipergunakan sebagai ramuan obat ataupun campuran bagi masakan. Makatana dapat diasosiasikan dengan “jamu” ‘ala masyarakat Minahasa.

Bahan racikan diambil dari dedaunan, batang pohon hingga akar rimpang tumbuhan. Menarik untuk dicermati bahwa bahan-bahan yang dipergunakan dalam ramuan makatana adalah bahan “lokal” yang belum terkontaminasi oleh pengaruh asing. Bahan seperti pala, cengkih, kapulaga, karawe, kelo merupakan tanaman endemik yang tumbuh subur di hutan hingga pekarangan.

Pada abad 14, penjelajah dari barat mulai berdatangan ke tanah Minahasa, mencari sumber rempah-rempah. Para pelaut dari Portugis, Spanyol, diikuti oleh Belanda datang silih berganti. Mereka mengambil hasil bumi, namun juga meninggalkan warisan berupa bahan baku serta teknik meramu yang kini memperkaya gastronomi Minahasa.

Cabai atau rica dibawa pertama kali oleh para pelaut Portugis, yang kemudian menjadi sumber rempah utama di setiap sajian Minahasa hari ini. Salimbata (serai), balakama (kemangi), tuus kete (lengkuas), rica (cabai), goraka (jahe merah), cengkih, pala, bawang merah, bawang putih, kunyit, kemiri merupakan jenis rempah dominan yang dipergunakan dalam setiap sajian.

Dibanding masakan Jawa, tekstur rasa kuliner Minahasa cenderung tajam dan kuat. Penggunaan rempah yang dominan membuat olahan daging yang dipadukan menjadi lentur dan menyatu. Keseimbangan rasa adalah tujuan akhirnya. Keterampilan racikan rempah ini yang akhirnya menaklukan berbagai jenis daging bagaimanapun rasanya.

Putaran waktu terus berlalu, hutan-hutan perlahan menjadi perkebunan. Sawah mulai terpetak-petak seiring dibangunnya pemukiman masyarakat dengan gaya perkampungan kolonial. Syair-syair tua kalelon menyenandungkan tentang roda-roda pedati yang ditarik sapi. Masyarakat pemburu dan peramu mulai menjadi petani dan peternak. Mereka mulai mempelajari ilmu-ilmu barat dan menyerap berbagai kebiasaan, khasanah kulinerpun berkembang seiring bertambah besarnya bandar-bandar karena perdagangan.

VOC perlahan menguasai perdagangan di kawasan Sulawesi Utara. Pada abad 16, VOC perlahan menjadikan Manado sebagai salah satu simpul bagi perdagangan di kawasan timur Indonesia. Dibukalah lahan-lahan kopi, kelapa, cengkih dan pala. Para pekerja dari Jawa didatangkan untuk mengolah perkebunan kopi di wilayah Modoyag. Pekerja etnis Tionghoa didatangkan untuk mengolah perkebunan, mengelola pertukangan dan membangun pusat-pusat perdagangan.

Kawasan kampong Cina didirikan di Kota Manado sekitar tahun 1673 yang juga menandai dimulainya pengaruh cita rasa Tionghoa pada gastronomi Minahasa. Biapong dan Mie Cakalang adalah contoh hidangan ikonik Minahasa hasil akulturasi pengaruh Tionghoa yang lestari hingga kini.

Fertilisasi budaya yang terjadi ratusan tahun, kini membentuk identitas gastronomi Minahasa yang khas, unik nan menarik. Masakan Minahasa cenderung pedas, menggunakan rempah dengan rasa yang kuat dan sangat memperhatikan kesegaran bahan baku. Rempah bagi kuliner Minahasa menjadi sebuah identitas. Sebuah pembeda yang mengekspresikan ragam budaya serta karakter masyarakatnya.

Permesta dan Kuliner Ekstrim

Dominasi kebudayaan manusia dapat dilihat dari makanan dan pola konsumsinya. Di jagat kuliner, dikenal istilah ekstrim sebagai terminologi yang ditujukan untuk makanan yang dianggap tak lazim bagi kebanyakan orang. Padahal lazim atau tidak lazim adalah sekedar kebiasaan.

Anthony Bourduin seorang koki selebriti pernah berujar bahwa “manusia bisa belajar memapras kecurigaan dan bias antar budaya melalui perjalanan dan petualangan mencoba makanan baru. Dari sana, manusia belajar bahwa dunia jelas tidak homogen, melainkan terbentuk dari kultur yang berbeda dan penuh warna”

Demikian halnya dengan budaya kuliner ekstrim di Minahasa. Cerita rakyat turun temurun tentang konsumsi olahan daging ekstrim banyak ditemukan tatkala kita memperbincangkan tentang gerakan Permesta.

Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) adalah gerakan  militer yang terjadi dikurun waktu 1958-1961 dengan tujuan menuntut pemerataan kebijakan pembangunan nasional dan pemerataan kekuatan politik  yang tidak bertumpu pada pembangunan di pulau Jawa. Salah satu puncak konflik dalam peristiwa itu adalah timbulnya peperangan antara Permesta dan TNI yang bertempat di pusat-pusat kota Minahasa seperti Tomohon, Langowan, dan Kawangkoan.

Kesulitan bahan baku makanan akibat perang yang terjadi memaksa masyarakat Minahasa saat itu untuk berfikir keras mengolah beragam jenis protein hewani demi kelangsungan hidup. Diraciknya beragam rempah untuk menghaluskan rasa daging-daging tajam seperti anjing maupun kelelawar.

Salah satu bumbu legendaris dikenal dengan nama bumbu RW (Rintek Wuuk). Rintek Wuuk berarti bulu halus. Bumbu Rintek Wuuk adalah campuran rempah yang diracik sedemikian rupa untuk menghilangkan rasa amis dari bumbu daging binatang berbulu halus (umumnya anjing dan kucing, sedangkan dalam beberapa kasus juga tikus hutan).

Dengan keahlian meramu yang telah dimiliki oleh masyarakat Minahasa, daging-daging eksotik kini dapat berubah menjadi hidangan istimewa yang tak hanya berfungsi sebagai kudapan penyambung hidup saja, namun menjadi sebuah ekspresi dari kepiawaian dan kecerdasan masyarakat Minahasa mengarifi lingkungannya.

Tradisi beternak bagi masyarakat Minahasa baru dikenal di era modern kini. Kebiasaan berburu segala macam binatang yang tersedia di hutan telah menciptakan berbagai hidangan yang eksotis. Bagi masyarakat Minahasa, segala sesuatu yang disediakan oleh alam merupakan anugerah yang harus disyukuri.

Berburu dan memakan berbagai hewan buruan adalah bagian dari tugas manusia untuk menjaga keseimbangan siklus hidup yang ada. Namun, zaman terus berganti, hutan-hutan Minahasa kini tak selebat dulu kala, hewan liar pun kini tak mudah dijumpai. Kebiasaan berburu dan meramu masih mewaris hingga kini, namun keberlangsungan budaya berburu termasuk mengonsumsi kuliner ekstrimnya, kini tengah berada dipersimpangan.

Gastronomi Minahasa yang Terus Berevolusi

“Manusia tak dapat berfikir baik, mengasihi dengan baik, beristirahat dengan baik, jika ia belum makan dengan baik” – Virginia Wolf

Mengkonsumsi makanan bagi umat manusia tentu memiliki makna berbeda dengan mahluk lainnya. Makan bagi manusia tidak sebatas untuk mengganjal perut dan melanjutkan hidup, tetapi juga siklus berpindahnya energi dalam diri untuk menghasilkan karya bagi semesta.

Dalam sejarahnya, ilmu gastronomi berkembang tatkala manusia mulai menyadari bahwa ada sensasi lain yang dapat diperoleh dalam mengonsumsi makanan daripada sekedar kenyang. Makanan dan seluruh elemen yang melingkupinya merupakan sebuah seni dari perjalanan panjang ide dan gagasan keberlangsungan hidup dan penghidupan.

Tatkala bahan buruan tak lagi banyak tersedia, maka berkembanglah pola domestikasi hewan baru. Meskipun tak semua hewan liar dapat ditangkar, namun beberapa hewan ekstrim kini secara perlahan dikembang biakan. Ular dan Tikus hutan misalnya, hewan favorit olahan kuliner ekstrim ini kini mulai ditangkar dan diternakan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.

Menyantap hidangan tak sekedar mengisi perut saja, melaluinya juga terbentuk ritus, kepercayaan, dogma yang membentuk identitas budaya suatu suku bangsa. Kuliner ekstrim bagi masyarakat Minahasa adalah bagian dari kekayaan gastronomi Nusantara yang turut membentuk identitas etnis Minahasa.

Penyunting: Nadya Gadzali