Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari budaya musikal beragam etnis yang ada di Indonesia. Disiplin ilmu ini bukanlah suatu disiplin ilmu baru bagi dunia barat atau pun dunia timur. Sebab, sejak zaman kolonial Belanda istilah etnomusikologi dipopulerkan oleh Jaapt Kunst yang memiliki antusiasme tinggi terhadap musik-musik nusantara.

Program Studi Etnomusikologi boleh dikatakan tergolong muda. Didirikan pada tahun 1979 di bawah naungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara. Disiplin ilmu etnomusikologi juga berkembang menjadi prodi atau jurusan yang sering kita temui di Institut Seni Indonesia ataupun universitas yang ada di Indonesia. Prodi ini cukup berperan aktif dalam melakukan pencatatan, perekaman, analisa musik, kemudian menuliskan kembali budaya musikal, baik secara ilmiah maupun artikel populer ilmiah yang cukup populer di masa kini.

Pemanfaatan sosial media dapat memberi wacana ataupun referensi tentang musik-musik nusantara bagi khalayak umum masyarakat Indonesia. Dengan adanya disiplin ilmu etnomusikologi, pencatatan dan perekaman musik tentu dapat memberikan sumbangsih pemikiran tentang musik etnis kepada instansi swasta, instansi pemerintah daerah pemerintah, serta instansi pemerintahan pusat, khususnya di bidang pariwisata dan kebudayaan.

Etnomusikologi juga berfungsi untuk menciptakan ekosistem seni dan memberi ruang ekspresi kepada seniman atau musisi, baik dari segi pertunjukan musik maupun diskursus musik. Fenomena yang cukup populer saat ini ialah media massa online yang menuliskan tentang kajian-kajian seni, khususnya etnomusikologi seperti EtnisID yang menyampaikan informasi melalui artikel populer ilmiah.

Tujuannya tak lain agar semua kalangan masyarakat dapat menikmati referensi bacaan tentang etnomusikologi serta dapat menambah pengetahuan tentang budaya musikal nusantara. Pada tulisan kali ini saya akan membahas organologi alat musik tiup Lolope yang berasal dari Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

Organologi Alat Musik Lolope

Masyarakat etnis Kabupaten Sumbawa Barat pada umumnya bermata pencarian sebagai petani dan nelayan. Lazimnya, seorang petani zaman dulu menggarap lahan dan menanam padi, bekerja seharian penuh dari awal menanam sampai memanen padi. Jika memiliki waktu luang untuk beristirahat, para petani mencari cara untuk menghibur diri, salah satunya dengan cara bermain musik dengan memanfaatkan batang padi menjadi sebuah alat musik tiup yaitu, Lolope.

Pada proses pembuatan alat musik Lolope memanfaatkan bahan alami dari batang padi. Para petani menunggu hasil panen padi terlebih dahulu untuk mendapatkan batang padi yang sudah kering, lalu membuat alat musik tiup Lolope. Namun, dalam permainan alat musik Lolope, batang padi tidak dapat ditentukan secara tepat dari segi nilai dan nada suara yang dihasilkan. Selain itu, umur dan bentuk alat musik dari batang padi sangat berpengaruh terhadap bentuk nada dan suaranya.

Seiring perkembangan zaman, masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat mengembangkan Lolope dalam bentuk baru yang lebih kuat agar bertahan lama dan dapat digunakan secara terus menerus. Pada mulanya, Lolope menggunakan batang padi, kemudian diganti dengan buluh bambu yang pada bagian ujungnya menggunakan daun lontar.

Dari segi perlengkapan yang dibutuhkan dalam proses pembuatan alat musik Lolope ialah mempersiapkan bahan-bahan yang berkualitas seperti bulu bambu yang sudah dikeringkan, daun lontar muda, dan pisau kecil untuk membuat diameter sirkulasi udara pada pangkal tiup Lolope, kemudian dirapikan bagian-bagian bulu pada diameter saat proses pembuatannya.

Nada-nada yang dihasilkan oleh alat musik Lolope ialah nada-nada yang bersifat musikal yang berasal seorang seniman pembuat alat musik yang berasal dari Kabupaten Sumbawa Barat. Namun, jika meminjam sistem tangga musik barat, pengaturan nada suara mengacu pada tangga nada kromatik dengan nada-nada Lolope yang sudah dikembangkan saat ini yang dapat dibagi menjadi tiga nada yaitu E (3), G (5), dan F (4). Ketiga nada itu dominan terdengar saat alat musik Lolope dimainkan.

Bagian pangkal Lolope terbuat dari bambu buluh dengan panjang kurang lebih 15 cm. Pada bagian bambu buluh ini terdapat dua bagian penting yang berfungsi mengatur nada suara yang dihasilkan yang disebut ela’ bao (atas) dan ela’ ba (bawah) dalam bahasa Kabupaten Sumbawa Barat. Kedua bagian ini memiliki panjang yang berbeda, di mana ela’ bao (atas) dengan panjang 3 cm untuk nada tinggi dan ela’ ba (bawah) sedikit lebih panjang dari ela’ bao (atas) untuk nada rendah dan variasi kombinasi suara yang dihasilkan (Muhari Ismar Pratama).

Bagian pangkal Lolope terbuat dari bambu buluh/Rivaldi Ihsan

Jika meminjam klasifikasi musik Sack dan Hornbostel alat musik Lolope termasuk pada bagian aerofon. Aerofon ialah alat musik yang bersumber dari getaran suara. Fungsi Lolope ialah sebagai alat musik tiup melodis, alat yang memainkan nada satu persatu secara bergantian, ini disebabkan oleh keterbatasan alat musik tiup tersebut dalam menghasilkan dan memainkan nada-nada.

Para seniman tradisi Kabupaten Sumbawa Barat biasanya membuat alat musik Lolope dengan standar pendengaran telinga seniman yang enak didengar atau biasa disebut musikal seniman yang lahir dari pembelajaran lisan dari orang-orang tua terdahulu. Tujuannya, agar pertunjukan musik Lolope dapat memuaskan rasa musikal si pemain, sehingga banyak dari seniman atau musisi pembuat alat musik tersebut menyesuaikan dengan rasa musikalnya masing-masing.

Cara memainkan alat musik Lolope ialah dengan cara ditiup memanfaatkan pernafasan melalui mulut. Ada dua teknik saat memainkan alat musik tiup tersebut. Pertama teknik ela’ bao yang berarti atas, dimainkan ela’ bao (atas) dengan memanfaatkan gigi atas pemain. Begitu pula ela’ ba berarti (bawah) dimainkan dengan cara mengkombinasikan lidah pemain dengan nafas yang tidak terputus selama meniup alat musik Lolope.

Bahan dasar pembuatan alat musik Lolope adalah batang padi. Akan tetapi, dalam prosesnya, penggunaan batang padi dirasa tidak terlalu efektif disebabkan tidak dapat bertahan lama dan tidak dapat digunakan secara berulang-ulang. Sehingga dalam perkembangannya, masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat mengganti bahan dasar pembuatan alat musik Lolope yang sebelumnya batang padi menjadi bambu buluh kering dan daun lontar muda pada bagian ujungnya.

Fungsi alat musik Lolope dalam budaya masyarakat Sumbawa Barat pada umumnya dan masyarakat Taliwang khususnya adalah untuk menghibur pada saat waktu panen raya dan barapan kerbau. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, para pemain musik Lolope saat ini sulit ditemukan dan hanya tersisa tiga orang (Roy Mahendra).

Oleh karena itu, generasi muda tingkat pelajar sebagai penerus pemain alat musik Lolope, turut andil dalam melestarikan alat musik ini, tentunya dengan cara membuat pertunjukan musik Lolope dan workshop pembuat alat musik Lolope yang dikemas dengan menarik dan bekerja sama dengan pihak sekolah dan instansi pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat.

Penyunting: Nadya Gadzali