Etnis.id - Di Yogyakarta dan Surakarta banyak bertebaran kampung-kampung yang dinamai sebagai kampung batik seperti kampung batik Giriliyo (Yogyakarta) dan kampung batik Laweyan (Surakarta). Motif dan ragam batik juga demikian menjamur seperti motif Sido Mukti, Sido Luhur, Parang Rusak Barong, Sekar Jagat dan Kawung.

Sejarah batik sejak lama berkembang di Indonesia. Di dalam khasanah kebudayaan, batik merupakan salah satu seni yang memiliki nilai-nilai adiluhung. Pada masa konteks kelahirannya, asal-muasal batik sesungguhnya masih diperdebatkan asal-usulnya.

Namun, pada tahun 1677 terdapat bukti sejarah mengenai arus perdagangan sutra dari Cina ke Jawa, Persia, Sumatera dan India. Selain itu, ditemukan juga catatan yang menyatakan bahwa pada tahun 1516 disusul tahun 1518, terdapat arus ekspor batik dari Jawa ke Malabar. Dia berkembang lebih jauh pada masa kerajaan Mataram II (1575-1755) di Pulau Jawa.

Batik sendiri berasal dari bahasa Jawa, yakni ‘amba’ yang berarti tulis dan ‘nitik’ yang berarti titik. Sehingga secara keseluruhan berarti menulis dengan lilin. Membatik di atas kain menggunakan canting yang ujungnya kecil, memberi kesan “orang sedang menulis titik”. Dengan pengertian itu, maka batik merupakan suatu seni menghias kain dengan menggambar pola-pola tertentu di atas kain.

Batik pada mulanya hanya dipakai di lingkungan kraton dan para bangsawan saja. Seiring perkembangan zaman, batik menjadi kebutuhan individual lalu ke industrial.

Berdasarkan teknik pembuatan batik, setidaknya terdapat empat jenis yakni batik tulis. Batik ini dibuat secara manual menggunakan tangan dengan alat bantu canting (canting berasal dari bahasa Jawa yang berarti alat untuk melukis batik tulis).

Kedua adalah batik cap, dibuat dengan menggunakan cap atau stempel motif batik yang terbuat dari tembaga. Ketiga batik kombinasi cap dan tulis, yakni dibuat dalam rangka mengurangi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada produk batik cap, seperti kedetailan. Keempat adalah batik printing, yakni dibuat seperti dengan proses sablon.

Ada teknik, ada juga motif. Salah satu motif batik yang memiliki filosofi terkait dengan hidup dan kehidupan masyarakat adalah motif batik Kawung. Motif ini diciptakan oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma di Mataram.

Motif Kawung didasari dari bahan-bahan yang diambil dari pohon aren atau palem yang buahnya berbentuk bulat lonjong putih jernih atau biasa disebut kolang-kaling. Pilihan Sultan Agung bukan tanpa makna yang mendalam. Buah aren penuh simbol-simbol filosofis terkait kehidupan.

Desain batik Kawung/FIickr/Aditya Darmasurya

Pohon aren jika dilihat secara seksama di dalam praktiknya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, dari mulai batang, daun, ijuk, nira dan buahnya. Semuanya bisa dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Sehingga secara simbolis dapat dimaknai bahwa orang yang memakai batik motif ini, menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Selain itu, motif Kawung juga menggambarkan simbol filosofi dari kekuasaan saat itu. Pola yang terdiri dari empat motif lonjong dan memiliki corak ceplok yang merupakan variasi dalam Kawung dengan perubahan-perubahan pada bulatannya, menjadi segi empat atau berbentuk bintang yang juga diatur secara geometris. Dengan titik di tengah-tengahnya itulah melambangkan sebuah kekuasaan.

Hal ini tecermin pada penempatan penguasa atau raja sebagai pusat kekuasaan di dunia (Sayidin Panatagama Khalifatullah) yang memiliki fungsi sebagai pelindung, pengayom dan pemimpin masyarakat. Atau sekarang dapat dimaknai sebagai simbol persatuan seluruh elemen antara rakyat dan pemerintah.

Sementara segi empat atau bintang-bintang tersebut dimaknai sebagai empat penjuru semesta yang meliputi Timur, Barat, Selatan, dan Utara. Sedangkan simbolisasi lain dari motif Kawung dengan pola-pola yang telah disebutkan di atas
adalah kaitannya dengan nilai-nilai kearifan pada diri manusia, seperti melambangkan apa yang orang Jawa bilang sebagai sedulur papat lima pancer.

Hal itu adalah filosofi hidup tradisional, ketika bayi dilahirkan akan selalu bersamaan dengan empat saudara kembarnya, yaitu darah merah, air ketuban, ari-ari (plasenta) dan puput puser yang diyakini akan saling mempengaruhi hingga usia tertentu.

Terlambangkan juga perilaku manusia yang termanifestasikan pada empat hasrat nafsu atau keinginan, yakni mutmainah, alauamah, amarah dan supiah yang pada diri manusia seringkali berlawanan. Warna dari motif batik kawung dengan perpaduan warna yang gelap dan cerah juga menggambarkan sifat-sifat dari manusia, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Pada zaman dahulu, batik motif kawung hanya dikenakan oleh kalangan kerajaan. Namun, sejak kerajaan Mataram Islam terbagai menjadi dua, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, batik motif Kawung digunakan dengan berbeda-beda.

Di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, motif batik kawung dikenakan oleh golongan punakawan (penasehat) dan abdi dalem jajar priyantaka. Sedangkan di Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, batik Kawung dikenakan oleh sentana dalem (orang yang memiliki hubungan keluarga dengan raja). Seiring perkembangan zaman serta batik yang kian pesat, penggunaan batik kawung jamak digunakan oleh masyarakat luas.

Editor: Almaliki