Etnis.id - Satu hari kabar kurang sedap menusuk telingaku. Sahabat dekatku hampir gagal menikah karena satu hal yang mungkin bagi masyarakat modern terdengar kurang lazim. Weton mereka tidak cocok.

Jika dipaksakan akan muncul berbagai kesialan dan penderitaan hidup. Intinya keluarga tersebut tidak akan mendapatkan kenikmatan dari sisi mana pun. Justru hal-hal negatif yang akan mereka dapatkan.

Apakah kekhawatiran yang muncul akibat mempercayai hasil perhitungan weton adalah salah? Mungkin sangat terasa menyakitkan ketika hubungan yang terjalin cukup lama, namun harus rela kandas ketika bahkan hari pernikahan sudah ditentukan. Ambyar, kata Didi Kempot.

Tetapi apakah benar, perhitungan weton sekaku dan sekejam itu. Lantas bagaimana generasi Jawa milenial sebaiknya bersikap dengan sistem kepercayaan perhitungan yang masih melekat di dalam denyut nadi masyarakat Jawa?

Weton sendiri sebenarnya merupakan bentuk percampuran antara hari dalam seminggu dalam kalender Islam (Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu) dengan lima hari Pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) yang bisa dipakai oleh masyarakat Jawa.

Kemudian weton dijadikan penanda kelahiran manusia Jawa dan ada pralambang angka (Neptu) di sana. Misalnya, yang paling mendekati sempurna adalah Sabtu Pahing. Sabtu (9) dan Pahing (9) dijumlah 18. Nanti tinggal pasangannya, memiliki Weton apa, kemudian keduanya dijumlah. Kemudian dimasukkan dalam sistem kategorisasi.

Setidaknya ada delapan kategori hasil penjumlahan weton. Pegat, Ratu, Jodo, Topo, Tinari, Padu, Sujanan dan Pesthi. Masing-masing kategori mewakili gambaran masa depan kedua pasangan tersebut. Jika disederhanakan, ada dua kategori yaitu untung dan rugi dalam waktu yang cukup lama. Bisa saja memakan waktu sampai penghujung usia.

Gempuran modernisasi, banyaknya pengetahuan yang datang dari luar dan akses ilmu-ilmu yang sekarang gampang ditembus hanya dengan benda sebesar tempe mendoan, memberi dampak. Salah satunya mulai berkurang pasangan-pasangan yang menggunakan weton ketika menentukan pelaksanaan hari pernikahan.

Yang paling sering dipilih adalah hari Sabtu dan Minggu. Dengan alasan akan lebih banyak tamu dan kolega yang datang. Karena di sanalah letak hari libur. Sehingga akan mudah ditemui betapa ramainya gedung-gedung serbaguna yang disewa pada hari itu untuk tempat melangsungkan acara atau resepsi pernikahan.

Namun tak jarang pula pasangan, sebagaimana sahabat saya yang hampir gagal menikah tadi, harus menerima konsekuensi dan resiko sebagai keturunan orang Jawa, yaitu paling tidak mau mengerti dan memahami sebenarnya apa yang diinginkan para leluhur orang Jawa dulu, ketika merumuskan satu rumus yang bisa dikatakan menjadi baku dan cenderung kaku.

Apakah seabsolut itu hasil perhitungan tersebut? Salah satu kebiasaan orang Jawa adalah hidupnya dipenuhi dengan pralambang. Atau senantiasa memaknai sesuatu. Ada makna yang terang-terangan tetapi lebih banyak makna yang disembunyikan.

Kalau dilihat lebih dalam delapan kategori yang ada dalam perhitungan weton adalah ragam kemungkinan dari fase yang harus dilakoni seorang manusia ketika menjalani kehidupan di dunia ini.

Orang menikah, salah satu ancamannya adalah bercerai. Itu tidak bisa dimungkiri. Orang menikah bisa menjadi bak ratu jika kehidupan rumah tangga senantiasa dipenuhi oleh keharmonisan.

Pertengkaran sudah pasti menjadi bumbu yang dalam hidup berumah tangga. Dan kematian, manusia mana yang tidak mati. Maka ada baiknya generasi millenial Jawa tidak serta meninggalkan apa yang sudah diwariskan oleh para Leluhur.

Justru ketika kita mendapati hitungan yang kurang menguntungkan, bisa dijadikan kaca benggala pada masa depan. Bukan berarti lantas pernikahan harus digagalkan. Tetapi ada kemungkinan yang cukup menantang yang harus dilakoni nantinya.

Dan mesti ada usaha semacam ruwatan yang tentu saja tidak saklek sebagai upaya menolak bala yang tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan. Bersedekah dan membuat semacam bancakan untuk para tetangga misalnya.

Leluhur Jawa adiluhung. Jelas yang muncul selain kebenaran dan keindahan, pasti ada kebaikan dan puncaknya adalah kebijaksanaan. Generasi milenial tidak perlu risau dengan hitungan weton yang masih dipercaya para orang tua.

Orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Karena semua layak untuk dipelajari sebelum dijalani. Weton merupakan upaya antisipasif yang dibuat oleh para leluhur kita. Kenapa? Karena peradaban ditentukan oleh pernikahan dan kelahiran.

Leluhur Jawa tidak menginginkan para generasi selanjutnya terlena. Perhitungan Weton, adalah bentuk pengejawantahan dari sikap eling lan waspada terhadap segala kemungkinan yang terjadi di dalam kehidupan. Percaya monggo, abai silakan.

Weton pasanganmu apa? Eh memang sudah punya pasangan? Ahhh...

Editor: Almaliki