Etnis.id - Agung Prabowo lewat tulisannya berjudul Bilangan dalam Khasanah Budaya Jawa (2010), menegaskan bahwa Indonesia dan Jawa awalnya tidak mengenal sistem penulisan angka.

Masyarakat Jawa misalnya, mengisahkan bilangan dengan kata-kata seperti eka, dwi, tri, catur dan lain sebagainya. Dalam banyak babad, seringkali tidak dituliskan angka tahun pembuatannya, namun hal itu dapat ditelusuri lewat sengkala (penandaan angka berdasar atas nama), semisal Kitab Bharatayudha hasil karya Mpu Sedah.

Semasa Kerajaan Kediri, terdapat sengkala berbunyi sanga kuda cuddha candramana. Berdasar kata itu, dapat diperoleh angka tahun 1079 saka. Setiap kata dalam kalimat tersebut, mempresentasikan angka-angka di Jawa (sebagaimana eka, dwi, tri, catur dan sejenisnya).

Makanya, jauh sebelum tulisan angka ditemukan, masyarakat Indonesia dan Jawa khususnya telah memiliki bahasa dan cara tersendiri dalam mengungkapkan sistem bilangan. Uniknya, bilangan atau angka tersebut tidak saja mempresentasikan kalkulasi perhitungan, namun juga berkaitan dengan beban-beban makna dan nilai.

Orang Jawa mempercayai, sebagaimana pandangan Phytagoras tentang all is number, segala sesuatu senantiasa berhubungan dengan angka-angka atau angka-angka akan mempresentasikan tentang sesuatu. Apapun dicoba dianalogikan lewat angka.

Bahkan Phytagoras meyakini pergerakan alam semesta adalah sebuah orkestra musik yang memiliki nada-nada, diwujudkan dalam angka-angka (tone). Sementara bagi orang Jawa, ritus kehidupan (dari kelahiran hingga kematian) senantiasa dipengaruhi oleh angka atau bilangan.

Saat janin berusia tujuh bulan, maka akan dilakukan ritual Mitoni. Begitu juga saat kematian memasuki hari ketujuh, seratus atau seribu, senantiasa diperingati dengan ritual doa-doa bernama tahlilan. Angka bergayut dengan karakter kultural.

Kebudayaan Jawa kemudian memelihara angka sebagai penanda denyut kehidupan dan eksistensinya. Proses kelahiran bayi di Jawa juga dihadapkan pada hari dan tanggal, sehingga menghasilkan perhitungan yang disebut weton. Weton dijabarkan dalam angka. Lebih jauh, angka tersebut akan merefleksikan nasib, karakter, pantangan, jodoh bahkan rezeki pada masa mendatang.

Ramalan-ramalan tentang angka kemudian bertebaran. Pun demikian dengan perjodohan dan pernikahan antardua manusia, tidak dapat dilangsungkan sebelum diketahui kalkulasi “angka-angka transenden” yang ada di antara keduanya.

Jika penjumlahan itu berhenti di angka 25 (slawe), maka konon dianggap membawa sial. Dan idealnya, pernikahan atau perjodohan harus dibatalkan. Apabila terus dilangsungkan akan membawa petaka dan cobaan.

Karenanya terdapat angka-angka yang menjadi pantangan serta angka-angka yang menjadi idaman. Hari, tanggal dan tahun tertentu dipercaya memiliki kekuatan besar yang dapat mempengaruhi semesta kehidupan.

Hal tersebut tak hanya terjadi di Jawa, banyak kebudayaan lain di dunia yang juga mendasarkan siklus kehidupan dan kematiannya berdasarkan atas angka atau bilangan.

Pada tahun 2012 lalu misalnya, sebagian masyarakat di dunia (konon berdasar kalender suku Maya) mempercayai bahwa kiamat akan datang tepat pada tanggal 21 Desember. Kendati hal tersebut (kiamat) tidak terbukti, namun dengan adanya penandaan tentang ramalan sebuah peristiwa atau kejadian, menunjukkan bahwa masa depan atau hari yang akan datang, secara tak langsung dicoba untuk diketahui-dibaca berdasar atas perhitungan angka-angka.

Hal ini serupa misalnya dengan pertaruhan judi togel  (kependekan dari toto-an gelap atau pertaruhan ilegal). Untuk mendapatkan angka yang dikehendaki, seseorang dapat melakukan hal-hal di luar kewajaran, semisal mendatangi kuburan, menyepi bahkan meminta bantuan dukun.

Hal itu menjelaskan bahwa angka berkisah tentang manusia, pun sebaliknya, manusia mencoba mengenali diri dan dunia lewat angka-angka. Masyarakat membekukan kenangan lewat angka.

Kalender-kalender di dalam rumah kita tidak saja berisi tentang urutan nomor, namun juga warna penanda sebuah peringatan hari penting dan sesak kenangan-kenangan atau bahkan jadwal-jadwal yang harus dilakukan. Sebuah siklus kehidupan berputar lewat angka.

Dengan demikian, hidup manusia Jawa tidak bisa dilepaskan dari angka. Semua serba kalkulatif. Hidup menjadi lebih rigit. Dalam konteks musik di Jawa, nada-nada disimbolkan lewat angka.

Bahkan penemuan notasi kepatihan Jawa (angka 1 –ji- sampai 7 –pi-) untuk memainkan gamelan membutuhkan perjalanan panjang hingga ratusan tahun lebih, terhitung sejak gamelan diciptakan.

Angka dalam kultur masyarakat Indonesia dan Jawa, khususnya telah menjadi senyawa yang memberi ilham dan rangsangan untuk melakukan apa pun berdasarkan perhitungan.

Di satu sisi, angka-angka yang matematis itu menuntut manusia menjadi lebih rasional, sebab angka (dalam ilmu matematika) mengandung konsekuensi kepastian (ilmu eksak), ilmiah dan akademis.

Penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian menuntut sebuah ketepatan, di luar itu salah dan keliru. Angka adalah hasil abstraksi atau pengendapan dari realitas yang menuntut penyedarhanaan.

Dengan demikian, angka adalah rasionalisasi dari berbagai hal. Kita dapat menuliskan seberapa cepat kita melaju, seberapa rapuh dan tuanya sebuah diri, kita juga dapat menuliskan seberapa berat suatu barang, semua lewat angka.

Artinya, angka-angka membantu manusia Jawa mengenali dan mengidentifikasi diri dan kehidupan di sekelilingnya. Dalam ilmu filsafat, dikenal dengan filsafat matematika, mengkaji anggapan-anggapan atau dampak-dampak matematika.

Kata lainnya, filsafat matematika bertujuan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia, baik politik, ekonomi dan kultural (Endang Mulyana, 2004). Pada poin terakhir itulah (kultural), angka dalam matematika berkembang dengan gelimang makna dan penuh nilai di Jawa.

Editor: Almaliki