Etnis.id - Pernikahan adalah hal yang diidam-idamkan oleh setiap orang, bahkan pertanyaan “kapan nikah” selalu menjadi pertanyaan wajib dalam setiap acara keluarga. Pelaksanaan pernikahan juga menjadi hal yang romantis, mengharukan dan tidak akan terlupakan oleh kekejaman zaman.

Namun suasana di atas tak berlaku bagi calon pengantin dari Desa Karang Kembang, yang harus melintasi Gunung Pegat, Lamongan. Alasannya, ada mitos yang dipercayai oleh masyarakat Desa Karang, bahwa calon mempelai asal Jombang dan sekitarnya, yang melintasi Gunung Pegat, bisa saja bercerai.

Hal ini disebabkan oleh jalur terdekat dari Lamongan ke Jombang adalah melintasi Gunung Pegat, sedangkan melintasi Gunung Pegat adalah sebuah pantangan bagi masyarakat Desa Karang. Untuk mentaktisinya, maka calon pengantin harus menempuh jalur melingkar (menghindari gunung pegat), yakni jalur Lamongan-Mojokerto-Jombang.

Arif Hidayatullah (2018) dalam penelitiannya tentang mitos Gunung Pegat menyebutkan bahwa calon pengantin yang terpaksa melintasi Pegat, harus melepaskan sepasang ayam yang seukuran kepalan tangan orang dewasa.

Salah satu tokoh agama di Desa Karang memang menolak percaya dengan mitos tersebut, sebab ia menganggap unen-unen Jowo (nasihat-nasihat orang Jawa) tidak memiliki konsekuensi logis. Apalagi soal melepaskan ayam.

Tetapi, bagi saya, tradisi atau kebudayaan (dalam hal ini berarti tradisi melepaskan ayam di Gunung Pegat) memiliki hubungan yang logis dengan anjuran agama. Keterbatasan dalam perenunganlah yang membuatnya terlihat tidak logis.

Pelepasan sepasang ayam biasanya sudah ditunggu oleh beberapa anak-anak dan orang-orang di sekitar Pegat. Siapa pun di antara mereka yang dapat menangkap ayam tersebut, maka binatang itu sudah menjadi miliknya.

Saya memandang pelepasan sepasang ayam bukan hanya sebuah tradisi, tetapi juga sebuah implementasi nilai-nilai agama Islam berupa sedekah. Justru sedekah terbaik adalah sedekah sirri (sedekah yang rahasia)--yang tidak tahu hendak diberikan kepada siapa.

Ketika calon pengantin melepaskan sepasang ayam, ia hanya merasa menjalankan tradisi. Padahal anak-anak dan orang-orang sekitar merasa bahwa itu adalah pemberian yang sangat menyenangkan bagi mereka.

Agama Islam lewat hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud menyampaikan bahwa “sedekah benar-benar dapat menolak bala’ (ujian/musibah)”. Sedekah yang telah dilakukan oleh calon pengantin (pelepasan sepasang ayam), diharapkan dapat menolak musibah (perceraian dalam rumah tangga).

Jika calon pengantin tidak mau melepaskan sepasang ayam, maka anak-anak dan orang-orang sekitar Pegat akan mengumpati calon pengantin dan berdoa buruk pada mereka. Ngantene bakal pegatan (pengantinnya nanti akan bercerai).

William Bascom (2006) dalam tulisannya yang berjudul The Form of Folklore​, menyebutkan bahwa sastra lisan (legenda/cerita rakyat/mitos) sering disebut hanya sebagai hiburan atau seni, tetapi sastra lisan juga memiliki fungsi penting yang lain (misalnya misi moralitas).

Dari pendapat William Bascom, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan seperti sepeser uang koin. Pemegang koin lah yang menentukan memilih sisi mana yang baik atau buruk.

Soal muasal mitos, konon cerita itu berasal dari kisah tragis kerja rodi pada masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1917/1918, Belanda ingin mempermudah invasi ke Indonesia. Cara yang dipilih oleh pemerintah kolonial adalah membangun jalur kereta api penghubung wilayah utara Jawa Timur dengan Wilayah selatan Jawa Timur.

Caranya adalah meratakan tengah-tengah gunung di antara dua wilayah tersebut. Saat itu, para pekerja pribumi dipaksa oleh pemerintah kolonial untuk bekerja sepanjang siang dan malam tanpa diupah. Tidak sedikit korban yang berjatuhan karenanya, sehingga muncullah sumpah serapah dari para pekerja pribumi yang masih hidup.

"sopo wae sing ngelewati dalan iki bakal pegatan” artinya adalah siapa pun yang melintasi jalan ini, akan bercerai. Sejak saat itu, mitos perceraian Gunung Pegat terus diwariskan dari mulut ke mulut hingga saat ini.

Omong-omong, Gunung Pegat semula bernama Gunung Gajah. Sejak sumpah serapah itu juga, Gunung Gajah berubah nama menjadi Gunung Pegat. Selain itu, nama Pegat juga sesuai dengan letak geologis gunung tersebut; yakni satu gunung yang di-pegat (dipisah) menjadi dua.

Kondisi tersebut melambangkan dua manusia yang mulanya bersatu (dalam ikatan pernikahan) kemudian dipisah menjadi sendiri-sendiri (perceraian). Hal inilah yang membuat Gunung Pegat selalu dikaitkan dengan mitos perceraian.

Tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun dan dijaga dengan baik oleh pewaris-pewarisnya, dapat menjadi sebuah hukum di dalam kelompok tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan kepatuhan masyarakat terhadap larangan melintasi Gunung Pegat bagi calon pengantin.

Soerjono Soekanto (1984) dalam bukunya yang berjudul Antropologi Hukum menyatakan bahwa law as tool of social control. Hukum adalah sebuah alat kontrol sosial. Merujuk dari teori itu, mitos perceraian Gunung Pegat mampu mengontrol masyarakat Desa Karang.