Etnis.id - Lele merupakan salah satu menu favorit di antara sajian menu penyetan di warung-warung Indonesia. Hampir setiap warung menyediakan menu lezat itu. Lalu bagaimana, jika ternyata terdapat daerah yang melarang mengonsumsi lele baik dalam bentuk apapun?

Daerah dengan larangan unik tersebut adalah Desa Medang, Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan. Muhibbatul Hasanah (2013) dalam penelitiannya​ tentang mitos lele di Desa Medang, menyebutkan bahwa akibat dari golongan yang nekat mengonsumsi ikan lele adalah gatal-gatal di beberapa bagian tubuh, lalu muncul bercak-bercak putih (belang) seperti ikan lele.

Inilah alasan utama dari mitos larangan mengonsumsi lele bagi masyarakat Lamongan, khususnya masyarakat Desa Medang. Mitos itu didasari kisah salah satu murid Sunan Giri yang bernama Boyopatih. Dikisahkan Sunan Giri pernah bertamu pada seorang perempuan yang bernama Mbok Rondo.

Sepulang dari sana, di tengah-tengah perjalanan pulang, Sunan Giri teringat bahwa salah satu pusakanya tertinggal di rumah Mbok Rondo. Akhirnya Sunan Giri mengutus Boyopatih untuk mengambilnya dan ternyata disambut dengan tidak baik oleh Mbok Rondo.

Boyopatih pun memutuskan menyamar menjadi seekor kucing dan mengambil pusakanya secara diam-diam. Sialnya, Mbok Rondo menyadarinya dan berteriak “Maling...” Penduduk sekitar yang mendengar itu, langsung mengejar Boyopatih.

Ketika hampir tersudut karena diburu, Boyopatih melihat sebuah kolam berisi ikan lele. Demi keselamatannya, Boyopatih menceburkan dirinya ke dalam situ. Alhasil, penduduk yang mengejar Boyopatih hanya bisa celingak-celinguk karena tidak dapat menemukan Si Maling.

Penduduk memutuskan kembali ke rumahnya masing-masing dan Boyopatih selamat dari amukan masa. Boyopatih lalu merasa diselamatkan oleh ikan-ikan lele di kolam, sehingga ia bersumpah melarang anak turunannya untuk mengonsumsi lele. Jika masih ngotot ingin mengonsumsi lele, maka anak turunnya akan dijangkiti penyakit.

Kisah Boyopatih di atas memiliki beberapa versi berdasarkan sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat Lamongan, tetapi tidak sampai mengubah pesan inti dari kisah tersebut.

Beberapa versi lainnya adalah:

  1. Pusaka yang hendak diambil oleh Boyopatih bukan pusaka yang tertinggal, tetapi pusaka yang dipinjam oleh Mbok Rondo dan Mbok Rondo tidak mau mengembalikannya.
  2. Boyopatih tidak menyamar menjadi kucing, tetapi mengambil secara paksa dan diteriaki maling oleh Mbok Rondo.
  3. Mbok Rondo bukan sebuah nama, tetapi sebutan untuk perempuan janda. Bahasa Jawa dari Janda adalah Rondo.

Perbedaan versi cerita di atas, semakin membuat saya kagum terhadap sastra lisan di Indonesia. Betapa kaya Indonesia dengan cerita-cerita indah dan unik di setiap sudut-sudut pulaunya. Sungguh kerugian besar, jika cerita-cerita ini dibiarkan hilang begitu saja.

Kini, beberapa masyarakat asli Lamongan yang bukan keturunan Boyopatih ikut menjaga mitos tersebut, sebagai bentuk sikap tenggang rasa sesama masyarakat asli Lamongan.

Omong-omong siapa sih Boyopatih? Boyopatih dipercaya sebagai orang pertama yang membangun wilayah Lamongan (Babad Alas). Memang tidak semua masyarakat Lamongan mengakui kebenaran mitos tersebut, meski ada beberapa orang yang mengalami bercak-bercak putih (belang) setelah mengonsumsi ikan lele.

Dari Roland Bathes (seorang filsuf, kritikus sastra dan semolog Perancis yang mengimplementasikan semiologi Ferdinand De Saussure dan mengembangkannya menjadi metode untuk menganalisis kebudayaan) dalam karyanya yang berjudul Mythologies dijelaskan bahwa mitos adalah sistem komunikasi yang merujuk pada suatu pesan.

Barthes menyebutnya sebagai laku percaya atau tidak percaya, bukan sebuah hal yang ada atau tidak, juga bukan sebuah hal yang salah atau benar. Dari situ, jika merujuk teori Barthes, mitos larangan mengonsumsi lele beserta akibat yang ditimbulkan bagi pelanggarnya, tidak perlu dibuktikan kebenarannya untuk menjadi sebuah mitos.

Eksistensi mitos adalah untuk dipercayai, tidak untuk dibuktikan. Pilihan yang disediakan adalah manusia memilih percaya atau tidak terhadap tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun sebagai wujud hormat terhadap seseorang yang lebih tua dan lebih berpengalaman (dalam hal ini berarti nenek moyang).

Selain kulit mengalami bercak-bercak putih seperti ikan lele (sebagai mitos), alasan larangan mengonsumsi ikan lele juga berkaitan dengan lambang kota Lamongan itu sendiri. Kota Lamongan memiliki lambang ikan bandeng dan ikan lele.

Dilansir dari portal Beritalamongan, lambang ikan bandeng dan ikan lele memiliki makna filosofis yang dalam. Ikan bandeng menunjukkan komoditi unggulan yang dimiliki oleh Lamongan. Sebagian besar warga Lamongan memanfaatkan ikan bandeng sebagai mata pencaharian yang dibudidayakan di dalam tambak.

Sementara ikan lele melambangkan sikap ulet, sabar dan tahan menderita. Mengonsumsi ikan lele berarti membunuh (menghilangkan) perlambangan sikap tersebut, yang ada di dalam diri masyarakat Lamongan.

Editor: Almaliki