Etnis.id - Harus diakui, dangdut lawas lebih berani dalam mengangkat variasi tema, tak melulu harus berisi cinta dan asmara belaka. Karena itulah, dangdut senantiasa hidup sebagai musik “akomodatif” yang mampu menampung segenap gejolak problematika manusia Indonesia.

Apabila tidak memiliki uang, tinggal mendengar lagu Gali Lobang Tutup Lobang, pun bila suka nongkrong hingga malam hari, dapat mendengar Begadang. Belum lagi terkait hal-hal yang berhubungan dengan keislaman dan ketakwaan, lagu-lagu Rhoma Irama dapat memenuhi semua hasrat itu.

Jangan lupakan juga tema kemelaratan dalam rumah tangga, makan hanya sepiring berdua, perjuangan di kala susah dan ditelantarkan di waktu sukses. Lagu Sepiring Berdua, kiranya sangat menyentuh hati, sebagai lagu ratapan hidup paling puncak di zamannya.

Lagu tersebut dinyanyikan begitu mendayu oleh Ida Laila, diciptakan oleh Gama dan Yudhi Hana, dirilis pada tahun 1987. Zaman sewaktu ketika ketimpangan ekonomi menjadi keniscayaan, lagu Sepiring Berdua kiranya mampu mewakili segenap rasa lapar manusia Indonesia.

Kemelaratan adalah kisah hidup, kesengsaraan tak terasa seperti ujian-cobaan, tapi kodrat lakon keseharian. Sepiring Berdua mengingatkan kita tentang dangdut yang tak melulu harus diikuti goyangan.

Adakalanya lagu itu cukup didendangkan dengan sesenggukan, duka dan air mata. Suara Ida Laila tak banyak cengkok, terkesan datar dan apa adanya. Tetapi itulah keunggulannya. Kesederhaan justru menjadi kekuatan agar pesan tak hanya sampai menyapa telinga, tapi juga mengetuk hati yang berbuah sedih dan pilu.

Lagu itu diputar sebagai pengingat bahwa ada pengorbanan besar ketika hidup miskin dan menjadi orang terbuang ketika bergelimang harta. Sepiring Berdua, pada satu sisi, sarat estetika. Namun pada sisi lain, menjadi ironi-nestapa hidup yang dalam.

Sebagaimana dalam lakon-lakon film yang banyak mengangkat tema penghianatan, lagu itu tidak terasa banal apalagi hiperbolis dengan berbagai azab yang mendera. Sepiring Bedua semata suara hati, yang tak hendak menuntut lebih.

Ida Laila, gadis anggun di zamannya. Jauh sebelum Sepiring Bedua, ia mendendangkan lagu dengan tema-tema nasehat-pengingatan, sebut saja Siksa Kubur (1960, 1976), Keagungan Tuhan (1965), Perintah Illahi (1967). Dari semua lagunya, Sepiring Berdua dan Siksa Kubur adalah yang paling fenomenal, mengantarkan namanya dikenal dalam blantika musik dangdut tanah air.

Tentu saja gaya nyanyian Ida Laila belum terjamah jenis “koplo”, saat suara kendang seringkali mendistorsi kekuatan lirik, hingga seringkali tak jelas bingkai lagu, antara sedih dan senang, semua tetap bermuara pada tujuan: goyangan. Aduh!

Teks lirik Ida Laila cenderung keramat, pola tabuhan instrumen lain boleh saja bereksperimentasi, namun tak pernah keluar dari batasnya, tetap mengandalkan kekuatan bunyi pada kontur lirik atau teks vokal.

Oleh karenanya, pada zaman itu, puncak kenikmatan estetika tertinggi pada lagu dangdut adalah kekuatan vokal dan pesan liriknya. Kita begitu mudah mengerti makna dan nilai apa yang hendak disampaikan. Peristiwa itu sebenarnya menjadi kritik bagi perkembangan dangdut muthakir yang penuh gemerlap dan gegap gempita dalam bermusik.

Seringkali kita tak mengerti kejelasan teks vokal karena tertimbun dalam tumpukan bunyi kendang dan orkestrasi menghentak tiap instrumennya. Akibatnya, lagu dangdut hari ini seolah terasa segaram atau serupa. Apapun temanya, pola musik terutama kendang tetaplah sama: koplo. Tidak peduli seberapapun agung dan sakralnya lirik itu.

Rhoma pun pernah marah besar. Bagaimana tidak, dangdut yang selama ini menyentuh hati, berganti menyentuh tubuh lewat jogetan. Inul menjadi
bulan-bulanan. Tapi pada akhirnya, zaman menghendaki bahwa takdir dangdut memang demikian. Apalah arti dangdut tanpa goyangan, apalah arti lirik sedih berlarat tanpa joget yang menyenangkan.

Kembali pada Ida Laila. Pada tahun 60-70an, suaranya laris manis, muncul saban hari di radio-radio. Mengisi kekosongan hidup bagi generasi yang memuja keinsyafan. Mendengar lagunya serupa menderas nasihat kehidupan. Orang-orang di pelosok kampung mengidolakan Ida Laila, kendati tak pernah melihat langsung wajah biduan itu.

Sesekali parasnya muncul di koran-koran dan majalah, tapi tak semua dapat mengaksesnya. Koran dan majalah (apalagi televisi) hanya untuk sinyo-sinyo dan nyonya berduit. Suara adalah jalan satu-satunya dalam mengenali Ida Laila. Tapi di titik itulah kekuatan musik itu muncul.

Adakalanya, sebagaimana kodrat bunyi, musik enaknya hanya didengarkan. Dengan mendengarkan lantunan vokal Ida Laila, pemuda-pemuda desa miskin bebas berimajinasi tentang sosoknya. Imajinasi itulah yang mahal di hari ini.

Ida Laila adalah sosok biduan dangdut monumental. Ia adalah garis pertama penyanyi dangdut wanita Indonesia. Hingga detik ini, kita tak pernah mendengar lagu Siksa Kubur dikoplokan. Barangkali lagu itu terlalu penting, karena kisahnya tentang kematian dan siksaan, membuat ciut nyali pelaku dangdut mutakhir.

Tapi dengan begitu, kita menjadi tahu, bahwa lagu dangdut telah begitu cepat berevolusi. Gaya nyanyi Ida Laila mungkin tak lagi laris di zaman ini. Suaranya tak menghentak keras, apalagi gaduh dan cenderung histeris. Ia tak laku bila harus beradu dengan gaya permainan dangdut koplo.

Ida pun mengisi masa tuanya dalam kesunyian sambil melihat dangdut di zaman ini begitu bising, sembari sesekali bersenandung lirih lewat lagunya berjudul Perintah Tuhan. Dan ia pun usai melaksanakan perintah itu, membawakan dangdut dengan syair penuh keteduhan.

Kini ia telah pergi untuk selamanya pada 12 September 2019, di usia ke-75 tahun. Ida pergi dengan membawa dangdut yang menggetarkan jiwa. Selamat jalan Sang Legenda.

Editor: Almaliki