Etnis.id - Berbicara eksistensi orang Jawa pada zaman kiwari, ibarat berada di sebuah persimpangan jalan. Dalam pelbagai hal, indikasi nilai-nilai budaya Jawa sudah mulai ditinggalkan atau bahkan memudar.

Kini semakin banyak orang Jawa meninggalkan tradisinya. Namun, di dalam perjalanannya, justru bagi sebagian orang yang mengaku lahir dan besar di dalam
kultur kejawaan, semakin membawanya "terasing".

Nyatanya, falsafah-falsafah hidup dalam budaya Jawa tidak semuanya usang meski zaman berganti. Seperti satu pegangan yang berbunyi alon-alon waton kelakon. Ia sudah diperolok.

Bagi orang yang tidak memahaminya, falsafah itu dianggap mengajarkan kemalasan. Dan bagi orang yang memaknainya secara harfiah, akan dianggap bahwa kecekatan, kegesitan dan kecepatan dalam melakukan sesuatu, tidaklah diperlukan.

Falsafah ini juga dipakai sebagai legitimasi bagi orang-orang yang tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu. Padahal makna sesungguhnya adalah mengajarkan seseorang untuk berperilaku sabar, konsisten terhadap apa yang dicita-citakan yang didasari pada kemampuan diri sendiri.

Falsafah ajaran hidup Jawa bukanlah agama, melainkan suatu cara pandang hidup dalam artian yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan serta alam semesta ciptaan-Nya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya.

Selain alon-alon waton kelakon, ada cakra manggilingan. Cakra adalah sebuah bentuk geometri bulat pipih, seperti bentuk roda dengan jerujinya, hanya lebih kecil, tajam di sekeliling lingkaran luarnya, dan biasannya dipakai buat senjata. Sedangkan kata manggilingan adalah sesuatu yang selalu menggelinding atau berputar.

Cakra manggilingan adalah bentuk roda yang selalu berputar atau menggelinding. Secara umum, hal itu bermakna kalau hidup ini seperti roda yang berputar, kadang di atas dan terkadang di bawah (Amrih, 2008).

Cakra manggilingan telah dikisahkan di dalam dunia perwayangan dalam kurun waktu yang cukup lama, mengenai kisah kehidupan para Pandawa--lima bersaudara anak Pandu bernama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Mereka berlima lahir dalam lingkungan istana Hastinapura dengan kehidupan yang mewah dan berkecukupan. Tak ada kesusahan dan penderitaan dari balik tembok istana.

Hingga suatu hari, seratus saudara sepupu mereka yang dijuluki Kurawa, pulang dari pengasingan di Desa Gajahoya. Semuannya berandalan yang tidak mengenal sopan santun dan tidak punya rasa empati.

Sejak saat itu, para Pandawa, meski masih di dalam istana, lebih memilih diam di dalam menghadapi Kurawa. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik.

Akhirnya, Kurawa berbuat licik kepada para Pandawa yang membuat mereka terusir dari istana dan pergi ke hutan Wanamarta. Sejak saat itu, para Pandawa tidak lagi mengenyam kenyamanan seperti di istana. Mereka hidup sebagai gelandangan.

Dari sini dapat dilihat bahwa sebuah kehidupan yang digambarkan dari kisah pewayangan ini, pada realitasnya bisa saja terjadi pada kita. Pada kesempatan lain, kita bisa mengalami fase titik terendah pada kondisi yang tidak nyaman.

Cerita belum berhenti. Atas kegigihan serta semangat dan perjuangan para
Pandawa, mereka berhasil membuka lahan di Wanamarta yang kemudian hari berhasil menjadi negeri yang disegani di dunia wayang, namanya Amarta.

Sebagai kepala negara Amarta, Yudhistira melawat ke Hastinapura yang dipimpin oleh Kurawa. Dari sini bisa dilihat, bahwa dengan perjuangan dan semangatnya sebagai pengembara hutan. Seiring berjalannya waktu, Pandawa kembali menemukan momentumnya di puncak kejayaan sebagai orang yang dihormati.

Pertemuan kembali Pandawa dan Kurawa ini sejatinya dilakukan untuk membuka dialog mengenai hak-hak Pandawa bersaudara terhadap negeri Hastinapura. Namun, dialog menemui jalan buntu. Perang besar Baratayudha jadi tak terhindarkan.

Sebuah perang yang akhirnya dimenangkan oleh pihak Pandawa. Sehingga Pandawa berhasil menggabungkan dua negeri sekaligus yakni Hastinapura dan Amarta. Kembali roda berputar membawa Pandawa pada puncak kejayaan.

Pada masa sekarang, cerita di atas mungkin hanya sebagai legenda. Namun, nilai-nilai filosofi yang dikandungnya tetap relevan hingga sekarang. Sebuah makna kearifan tentang hidup yang terus berputar. Khususnya bagi kehidupan masa sekarang, yang lebih berorientasi kepada hal-hal materi, yang menurut sebagian orang dapat menyelamatkan kehidupannya di dunia ini.

Maka, tidak heran jika kemudian banyak pemuda terjebak pada ketidakwaspadaannya di dalam menjalani kehidupan. Contoh sederhananya yang belum lama viral mengenai gaji, saat seorang pemuda terlepas dari kebutuhannya yang terlalu tinggi, ia merasa kurang akan gaji yang diterimannya.

Padahal jika mengacu kepada falsafah hidup cakra manggilingan. Belum tentu gaji dengan nominal yang besar, akan mampu menjamin hidupnya terus berada di atas. Tapi sebaliknya, orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, tapi karena semangat dan kerja kerasnya, mampu mengalahkan orang-orang berpendidikan.

Maka falsafah cakra manggilingan ini sejatinya merupakan sebuah pakem yang memberikan seseorang kebijaksanaan, untuk selalu waspada dan tetap konsisten pada prinsip-prinsip dan ritme kerja serta nilai-nilai yang kita pegang.

Esensi dari cakra manggilingan ini adalah waktu yang membuat terjadinya perubahan. Kejadian yang dialami semuanya hanya tinggal menunggu waktu. Tidak heran, jika kita sering mendengar nasehat “jangan menyia-yiakan waktu selagi muda”.

Editor: Almaliki