Etnis.id - Jawa merupakan sebuah pulau yang menyimpan berbagai tradisi serta budaya. Seperti upacara-upacara tradisional yang bisa kita lihat sampai sekarang ini.

Upacara tradisional diadakan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Seperti Bancakan Weton yang dilaksanakan sesuai dengan penanggalan Jawa dan tepat saat hari Weton. Tradisi ini masih ramai dilakukan sampai sekarang.

Weton merupakan gabungan siklus kalender matahari dengan sistem penanggalan Jawa. Siklus ini berlangsung selama lima hari. Mengikuti tradisi Jawa, setidaknya seseorang dibuatkan Bancakan Weton paling tidak sekali dalam seumur hidupnya. Namun ada pendapat lain yang menyebut setidaknya setahun sekali.

Masyarakat di sekitar tempat tinggal saya kerap melakukan ritus ini. Terutama saat ada bayi yang baru lahir. Orang tua bayi tersebut akan membuat ubo rambe untuk Weton-an. Bahkan bisa jadi setiap hari melakukan Bancakan.

Yang pasti, saat bayi memasuki usia satu lapan yaitu 35 hari, maka bayi akan di-bancak-i sesuai dengan Weton kelahirannya. Masyarakat Jawa percaya, anak tersebut akan memiliki kehidupan yang lebih terkendali.

Weton juga menjelma dalam berbagai hal. Bukan hanya menyangkut kelahiran, bahkan saat seseorang akan membangun rumah dan membeli barang baru misalnya. Masyarakat Jawa di desa, sering melakukan itu.

Saya ingat, waktu itu tetangga saya sedang membeli sepeda motor baru. Sore harinya, tetangga yang lain diundang ke rumahnya untuk ikut Bancakan. Si empunya sepeda akan menyiapkan ubo rambe Wetonan untuk sepeda motor. Tetangga yang hadir dimintai doa dan akhirnya diajak makan bersama.

Saya tersadar, ajaran Jawa bukanlah ajaran udik meski kerap dilaksanakan di desa. Sebaliknya, ajaran Jawa sarat akan makna serta petuah hidup untuk menuju kebaikan. Bagaimana tidak, seseorang yang baru membeli barang saja akan melibatkan tetangganya untuk turut mencicipi rasa bahagia yang dimiliki.

Bisa dikatakan, hampir semua siklus hidup dalam masyarakat Jawa akan dimulai dengan Bancakan. Bahkan saat ada seseorang yang kerap mengalami ketidakberuntungan dalam hidup, maka akan harus di-bancak-i supaya bisa berubah ke arah lebih baik.

Ini bukanlah cara berpikir pragmatis saja. Agar bisa lebih baik, dibancaki saja orang itu. Ada yang lebih berarti dari sekedar ubo rampe yaitu proses pelakasanannya. Dalam pelaksanannya, tetangga sekitar akan turut hadir untuk memberikan doa bagi yang punya hajatan. Ini bentuk kepedulian yang sangat tinggi.

Doa yang tulus merupakan pemberian yang tidak bisa terhitung nilainya. Jika kita tarik asal muasal manfaat tradisi ini, ia memiliki manfaat serta tujuan untuk memberikan upeti kepada pamonang.

Pamonang merupakan pengasuh serta pembimbing seseorang secara metafisik. Hal ini lahir dari pemahaman masyarakat Jawa, jika setiap orang ada yang momong atau ada yang membimbing.

Setelah saya cari tahu, ternyata pamonang inilah yang akan senantiasa menjaga supaya diri kita terhindar dari perbuatan yang menyimpang. Namun tidak jarang, antara Pamonang serta yang diemong ini, saling berlawanan arah.

Pamonang lebih cenderung mengarahkan yang diemong ke arah yang baik. Sebaliknya yang diemong cenderung mengikuti karepe nafsu atau kemauan nafsu.

Untuk “ngopahi sing momong” atau menghargai si pamonang ini,
maka dilakukanlah bancakan supaya daya metafisis yang ada di dalam diri seseorang akan bisa bekerja dengan lebih maksimal.

Ketika batin serta lahir kita mencapai keseimbangan, keteraturan hidup yang baik akan kita miliki. Untuk itu, kenapa orang Jawa hobi sekali melakukan Bancakan. Adalah untuk mencapai keseimbangan hidup.

Editor: Almaliki