Etnis.id - Masyarakat Jawa dan kebudayaannya menjunjung tinggi nilai kesopanan dalam tingkah laku. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah patrap. Selain patrap, masyarakat Jawa juga mengenal tutur kata atau yang sering dikenal dengan istilah unggah ungguh.
Karena itu semua, lahirlah pepatah “Ajining raga tumata ing busana, ajining dhiri gumantung kedaling lathi.” Pepatah tersebut menyuratkan makna, baik serta buruknya seseorang bisa dinilai dari cara berpakaian serta bebicara.
Akan tetapi, perubahan zaman tidak bisa dihindari. Perlahan namun pasti, nilai-nilai ungah ungguh di Jawa mengalami pergeseran yang bisa dilihat dari tutur bahasa generasi Jawa saat ini.
Kini banyak generasi Jawa yang enggan, bahkan merasa malu, manakala harus berkata dengan menggunakan bahasa krama. Mereka menilai unggah ungguh yang ada di Jawa terkesan rumit. Makanya, banyak generasi sekarang malas untuk belajar dan akhirnya lupa.
Akan tetapi, sangat tidak adil manakala saya hanya mengambil dari satu sisi saja. Bagaimana jika ternyata selama ini orangtuanya tidak pernah mengajarkan unggah ungguh bahasa Jawa?
Sebenarnya saya tidak ingin juga mengambil peran sebagai hakim tutur kata. Namun terkadang, sebuah kejadian memaksa diri kita untuk memberikan analisis lebih dalam.
Terkait dengan hal ini, bisa saya ambil dari sebuah peristiwa yang sedang saya amati. Peristiwa ini terjadi seminggu yang lalu. Tepatnya di rumah bibi saya di desa Bambanglipura, Bantul.
Waktu itu, keluarga saya dari Sragen sedang berkumpul. Beberapa ada yang membawa anaknya. Yang mengherankan, ketika saya memanggil anak sepupu saya. Sontak saya heran dengan jawabannya. Dengan nada yang agak tinggi, anak sepupu saya menjawab “Apa?”.
Mungkin terdengar berlebihan. Apa yang salah dengan jawaban “Apa?”. Benar. Memang tidak ada yang salah. Akan tetapi, saya mencoba mengamati sisi tataran bahasa. Saya bandingkan dengan diri saya 18 tahun yang lalu. Saat itu, manakala saya dipanggil oleh orang yang lebih tua, haram hukumnya jika menjawab “Apa?”.
Perihal ini, keluarga saya lebih ekstrem lagi. Ibu saya tidak akan berhenti memanggil sebelum saya menjawab dengan jawaban “Inggih”. Tidak pernah berani memikirkan untuk menjawab dengan kata “Apa”.
Kembali ke anak sepupu saya tadi, ternyata memang benar, orangtuanya kurang memberikan pembelajaran mengenai tataran bahasa. Bagaimana mau diajarkan, orang dia kalau memanggil anaknya langsung dengan panggilan “Kowe”.
Kowe dalam masyarakat Jawa termasuk panggilan yang kasar. Bahkan sempat juga diingatkan oleh saudara saya yang lain, kalau lebih enak memanggil anaknya dengan sebutan “Dik”, kalau tidak, ya nama aslinya saja.
Ini baru satu peristiwa, masih banyak peristiwa lain mengenai anak yang kurang mengerti unggah ungguh bahasa. Padahal jika kita mau belajar, unggah ungguh bahasa ini mampu menciptakan sebuah keteraturan interaksi. Menjadikan hidup harmonis. Yang muda menghormati yang tua. Sebaliknya, yang tua menghargai yang muda.
Terkait dengan hal ini, mari sedikit kita kupas mengenai unggah ungguh. Adisumarto menyatakan, “Unggah-ungguh bahasa Jawa merupakan adat sopan santun, tatasusila, etika serta tata krama di dalam berbahasa Jawa.”
Dari pengertian di atas, sangat tampak sekali manakala cara ini merupakan tingkatan tutur bahasa yang tidak hanya terbatas di dalam tingkat kesopanan semata.
Lebih dari itu, unggah ungguh juga mengandung konsep sopan santun dalam laku dan sikap sehari hari. Hal tersebut mewujud dalam perbendaharaan kata yang kompleks, terdiri dari fungsi, kebahasaan, tingkatan bahasa, etika serta nilai budaya dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Unggah ungguh ini juga mewujud dalam berbagai aspek. Jika kita bawa ke aspek bahasa, orang Jawa akan menggunakan bahasa yang dipilih dengan tepat.
Leluhur Jawa sudah memberikan berbagai kosakata yang sangat lengkap untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Tataran bahasa Jawa ini memiliki tingkatan tertentu yang digunakan sebagai landasan. Tingkatan diawali dari bahasa Jawa ngoko, madya hingga krama.
Tingkatan paling rendah disebut dengan ngoko. Digunakan oleh raja kepada rakyat. Tingkatan kedua dikenal dengan madya, berupa tingkatan kesopanan menengah. Madya biasanya digunakan oleh pemangku kedudukan atau usia yang setara.
Tingkatan selanjutnya yaitu krama, tingkatan bahasa yang paling tinggi. Untuk krama ini, masih ada krama inggal yakni sebuah tingkatan terkait dengan beberapa jenis benda yang erat dengan pribadi manusia. Adanya tingkatan tersebut, secara tidak langsung bahasa Jawa bisa dianggap merupakan pengandaian mengenai kesedaran dan kedudukan masing-masing.
Tidak berhenti di aspek bahasa saja. Unggah ungguh juga meluas hingga aspek pergaulan. Bukan hanya sebatas pada tutur sapa yang tepat. Lebih dari itu, mewujud juga dalam sifat andap-asor--sikap paling penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.
Andhap asor ini terdiri dari bentuk dalam perbuatan yang khidmat. Pasalnya, orang Jawa sendiri sangat bersungguh-sungguh dalam mengartikan sebuah metafora tertentu. Untuk itu, saya rasa tidak keliru manakala menempatkan sikap moral yang benar terkait dengan penempatan pengertian yang tepat.
Melalui unggah ungguh, secara tidak langsung memberikan pengajaran bahwa orang Jawa harus senantiasa tahu diri. Saya rasa, selama ini semakin banyak orang Jawa yang ilang Jawane.
Editor: Almaliki