Etnis.id - Membina rumah tangga adalah meleburkan keegoisan masing-masing, menyatukan segala hal yang baik dan berusaha untuk menipiskan keburukan demi kehidupan bersama yang nyaman dan aman. Tentang itu, orang Mandar memiliki konsep sibaliparri dalam menjalani kehidupan rumah tanggannya.

Mandar adalah suku mayoritas yang mendiami Sulawesi Barat. Selain dikenali karena pelaut ulungnya, mereka juga memiliki beragam budaya yang melahirkan berbagai tingkah laku yang sama, kemudian sistem nilai mereka pun terbentuk.

Sibaliparri adalah hasil kebiasaan yang mengakar dan menjadi sebuah konsep utuh saat sifat maskulin dan feminin, punya potensi yang sama untuk berperan dalam rumah tangga.

Tidak ada superioritas dalam pembagian peran dari konsep sibaliparri. Buku Sibaliparri: Gender Masyarakat Mandar yang merupakan hasil penelitian Muh. Idham Khalid Bodi terbit pada tahun 2016, menjelaskan pengertian dari konsep tersebut.

Mengutip Muthalib (1977), sibaliparri menurut bahasa berasal dari kata si-saling, mebali-membantu, dan parri-susah. Maka dapat disimpulkan, sibaliparri adalah bentuk kerja sama setiap anggota keluarga untuk saling membantu menghadapi kesusahan/kesulitan. Masih di dalam buku tersebut, mengutip Sahur (1984), sibaliparri adalah bentuk kerja sama dalam segala sesuatu baik materiil maupun spiritual.

Pada mulanya, konsep ini sangat kental dengan masyarakat nelayan Mandar. Ketika lelaki sebagai kepala rumah tangga mencari penghidupan dengan melaut, baik dalam waktu yang sebentar atau berbulan-bulan, perempuan sebagai istri tidak hanya berdiam diri di rumah.

Perempuan, selain bertanggung jawab atas pengurusan anak selama suami berada di lautan, istri harus menenun kain sutra untuk menambah penghasilan keluarga. Setelah suami pulang dari melaut dan membawa hasil tangkapan, istrilah yang bertugas memasarkannya.

Begitu juga dengan pengasuhan anak. Jika suami sedang berada di rumah, laki-laki, menurut konsep ini, tidak merasa rendah diri. Alasannya, tugas mengasuh anak juga menjadi tanggung jawab lelaki. Bukan hanya pada nelayan, konsep ini juga ditemukan pada jenis keluarga lainnya yang bermukin di Mandar--baik bagian pesisir atau pegunungan.

Sibaliparri mampu menyeimbangkan perubahan masyarakat yang semakin modern, terutama bagi perempuan, karena nilainya dipercaya tidak akan disoal, jika perempuan bekerja di luar rumah untuk berkarier. Sementara anggapan bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab penuh atas ranah domestik, tidak berlaku di dalam konsep ini.

Dikenali pula satu ajaran dari leluhur Mandar yaitu melarang (pemali) laki-laki turut campur dalam pembelanjaan bahan makanan, karena akan merusak tatanan rumah tangga. Di sini terlihat jelas bahwa ajaran tersebut mempercayakan perempuan untuk menjalankan perannya dengan nyaman.

Seorang nelayan memilah tangkapannya untuk dijual/Etnis/Dumaz Artadi

Perihal dari mana konsep keadilan gender ini lahir, sebelumnya sudah disinggung bahwa sibaliparri adalah hasil kebudayaan. Salah satu nilai yang diturunkan oleh leluhur Mandar adalah menjaga persaudaraan (palluluareang) tanpa mengenal strata sosial.

Sisarai pai mata mapute’ anna mata malotong anna’ sisara’ palluluareang. Pesan leluhur tersebut jika diterjemahkan akan berbunyi: Bila mata putih (kornea) berpisah dari mata hitam (pupil) maka saat itulah persaudaraan akan terpisah.

Dari pesan itulah, orang Mandar memegang tanggung jawab untuk saling membantu dan menganggap sesamanya adalah saudara yang sulit dipisahkan. Maka sebagai kebiasaan, nilai inilah yang menjadi bekal sebelum membina rumah tangga.

Sibaliparri juga dianggap sebagai pendidikan informal yang selaras dengan pendidikan agama, jauh sebelum Islam hadir di tanah Mandar. Mandar dengan mayoritas penduduk Muslim, sudah lama meleburkan kebudayaan dan agama--nilai-nilai budaya yang berdasar pada agama atau agama yang berdialog dengan kebudayaan, tidak ada yang saling bertentangan.

Pendidikan Islam yang mengajarkan untuk saling membantu dan mengajarkan kerelaan diri ditemukan dalam konsep sibaliparri. Maka tidak mengherankan jika gaya hidup ini tetap eksis di Mandar, meski merupakan ajaran tua dari para leluhur.

Dalam bukunya lagi, Muh. Idham Khalid Bodi mewawancarai salah satu tokoh masyarakat yang berusia 81 tahun, tentang bagaimana perlakuan informan kepada setiap anggota keluarga.

"Iya tau diangi saba’ elo’na Puang Alla Taala. Diangi tau pole di tommuane anna tobaine, menjari tahu mesa rupa tahu di are’na kindo’, sisaap bulann dipianammi tau. Iyamo tu’u anna andiang tahu mala mappasallaeng tommuane anna’ tobaine saba’ dipapiai tahu pole di tommuane anna tobaine diare’na kindo’."

Artinya, kita, manusia lahir karena kehendak Allah SWT. Kehadiran manusia adalah hasil perpaduan zat antara laki-laki dan perempuan, lalu terbentuklah satu makhluk di rahim ibu. Beberapa bulan kemudian, dilahirkan seorang manusia. Olehnya, kita tidak patut membedakan antara laki-laki dan perempuan, sebab proses penciptaan kita berasal dari keduanya.

Editor: Almaliki