Etnis.id - Tentu istilah pappasang masih lekat dalam ingatan orang-orang Makassar. Namun, mungkin berbeda dengan istilah kana picurru. Dahulu kala, kana picurru (tutur petitih) bisa berasal dari mana saja.

Dari nasihat orangtua kepada anak-anaknya; petuah guru kepada murid-muridnya; anjuran suami kepada istrinya (atau sebaliknya); saran seorang teman kepada sahabat-sahabatnya; bahkan dari pertimbangan rakyat kepada rajanya.

Masih ingatkah kita pada kana picurru? Jawaban kita pasti beragam. Barangkali ada yang masih ingat, mungkin pula ada yang sudah lupa. Atau, jangan-jangan ada yang di dalam hatinya diam-diam mengaku tidak tahu.

Tidak apa-apa. Itu perkara biasa. Bagaimanapun, kana picurru memang tidak setenar pappasang atau patturioloang. Tidak pula semasyhur parakara atau parupama. Jadi, sangatlah jamak apabila banyak di antara kita yang sudah melupakannya.

Sejatinya, kana picurru adalah tutur kata seseorang kepada yang lain (Sugira Wahid, 2007:68). Itulah pengertian sederhananya. Tuturannya dapat berupa kisah-kisah yang bertabur hikmah kebaikan, dapat pula berbentuk petuah yang sarat akan nilai-nilai kehidupan.

Ada yang berpindah dari mulut ke mulut, ada juga yang tersimpan jejaknya dalam jajaran aksara Lontarak di atas lembaran daun lontar. Bagaimanapun cara penyampaian dan apa pun media penyampainya, kana picurru sesungguhnya merupakan falsafah hidup orang Makassar yang tanak makna dan tedas nilai.

Terkait karakter, misalnya, banyak kana picurru yang menganjurkan keteguhan sikap. Patut kita segarkan ingatan bahwa dulu, semasa jayanya kerajaan kembar Gowa-Tallo, baik Raja (Raja Gowa) maupun Mangkubumi (Raja Tallo), banyak yang diakui dunia sebagai panrita atau cerdik cendekia. Contohnya: Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Muhammad Said.

Gelar anumerta beliau adalah Tumenanga Ri Papambatuna (Yang Mangkat di Batu Tulisnya). Gelar itu menunjukkan betapa beliau peduli pada dunia literasi. Sampai-sampai, beliau mangkat di sisi batu tulisnya.

Batu tulis dapat pula kita sebut sebagai sabak atau gawai. Dulu batu memang jadi media tulis. Namanya sabak batu. Andai beliau hidup pada zaman teknologi digital ini, tentu media tulis-baca yang beliau pegang adalah sabak elektronik atau gawai cerdas (gadget). Boleh jadi beliau juga melansir banyak buku elektronik.

Raja Gowa XV mendapat Mangkubumi yang setimpal dan setimbal. Mangkubumi beliau adalah Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo VIII. Karaeng Pattingalloang setali tiga uang dengan Sultan Muhammad Said, sama-sama penimba ilmu dan penciduk pengetahuan.

Beliau bahkan menguasai banyak bahasa asing tanpa bantuan Google Translate. Andai beliau hidup pada era Revolusi Industri 4.0, maka boleh jadi beliau sudah menaja dan mengelola perpustakaan digital.

Ketenaran Karaeng Pattingalloang bahkan terdengar hingga ke Benua Biru. Tidak heran jika Joost van den Vondel, pensyair Belanda terkemuka, menyebut Karaeng Pattingalloang sebagai “orang yang pikirannya selalu mencari sehingga seluruh dunia rasa-rasanya terlalu kecil baginya”. Atau, wiens aldoor snuffelende brein, een gansche werelt valt te klein (dalam Sagimun M.D., 1975:77).

Dari kedalaman akal budi, mari kita selami makna kana picurru yang sejuk dan menyejukkan. Berikut saya suguhkan kana picurru yang bertajuk empo-empona ampe kanaya.

Empat kata tersebut jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti duduk perkara kata dan perilaku. Kata-kata dalam kana picurru ini mengalir perlahan bagai air sungai yang bergerak tenang menuju samudera.

Sesungguhnya perbuatan dan perkataan yang bermanfaat berada di sisi orang yang punya pikiran.

Inilah kalimat pertama, kalimat yang menabalkan eksistensi kemanusiaan kita. Orang yang punya pikiran berarti “siapa saja yang merdeka, punya pikiran, dan bebas memilih”.

Filosofi kebermanfaatan terang hanya datang dari hati dan jiwa yang “memilih kata dan laku baik”. Di kawah bernama pikiran, kita gojlok pilihan. Yang sia-sia batal kita kerjakan, yang berguna segera kita lakukan.

Hanya saja, pikiran sebagai panggung tempat kita mengecek dan menyeleksi pilihan, dapat dibutakan oleh kesombongan. Muara kesombongan itu sangat banyak. Bisa dari jabatan yang kita duduki, harta yang kita miliki, paras yang kita punyai, atau ilmu yang kita kuasai.

Pikiran tertutup gara-gara kehadiran si ujub. Di tengah kemajuan teknologi, alangkah mudah jemari kita terpeleset dari jalan kebaikan. Dewasa ini, media sosial amat sempurna dalam memuluskan laju cacian, makian atau umpatan.

Sesungguhnya perkataan dan perbuatan yang layak hanya datang dari orang yang punya pertimbangan.

Itulah tutur petitih kedua. Jelas bagi kita bahwa kelayakan atau kepatutan kata-kata dan tindak laku bersumber dari pertimbangan. Jika perkataan dan perbuatan kita memiliki celah menyakiti orang lain, maka perkataan dan perbuatan itu urung kita lakukan.

Hanya saja, kemarahan mudah sekali menutupi pertimbangan. Rasa marah melahirkan keturunan bernama kebencian. Keturunannya itulah yang sering membutakan hati dan menggelapkan pikiran kita.

Jika sudah marah, akal pun susut. Alangkah banyak insan yang “mau mencubit tetapi ogah dicubit”. Dalam serokana Makassar disebut: erok angngokbik na tea nikokbik.

Sesungguhnya perkataan yang enak didengar dan perbuatan yang elok dipandang hanya datang dari orang yang punya pengetahuan.

Itulah petuah ketiga. Orang yang berpengetahuan pasti “pintar merasa”, bukan “merasa pintar”.

Orang yang berpengetahuan pasti awas dalam berkata dan waspada dalam bertindak. Jika tahu bakal menyinggung perasaan orang, batal kata dan laku dipertunjukkan.

Hanya saja, sikap masa bodoh sanggup menangkal pengetahuan. Jika sudah bersikap masa bodoh, kearifan dan kebijakan akan terhalang dinding besi yang tebal dan terjal.

Tidak heran jika kaum yang sepilihan, kita bela mati-matian, sedangkan mereka yang tak sehaluan akan kita tentang habis-habisan. Kita abaikan satu fakta, yakni kebenaran bisa muncul bahkan dari orang yang paling kita musuhi.

Tiga kana picurru di atas bukanlah maklumat kosong yang nirmakna. Bukan pula petuah usang yang tidak pas dengan kondisi sekarang. Nilai kebaikan dan kebajikan tertuang dalam tiga kana picurru tersebut.

Akan tetapi, kata-kata tetaplah kata-kata. Semua berpulang kepada kita. Andai kata tiga kana picurru itu kita jalani dengan tekun, telaten, dan teliti, niscaya kita sudah “memerdekakan diri kita” dari alir kata dan alur laku yang dapat menyakiti perasaan orang.

Selain itu, kita juga harus berani “memerdekakan orang lain” dari hal-hal yang memedihkan dan memerihkan. Di situlah hakikat sipakatau atau saling memanusiakan manusia.  Apabila saripati kana picurru sudah merasuk ke sanubari, maka pada saat itulah kita leluasa berteriak “Merdeka!”