Etnis.id - Jika pergantian tahun, suku Jawa mengadakan ritual dan tradisi untuk menyambut tahun baru Islam 1 Muharram atau malam 1 Suro (dalam kalender Jawa). Bagi mereka, hari itu dianggap keramat. Terlebih bila jatuh pada Jumat Legi. Sehingga banyak yang mengkhususkan diri untuk berdoa dan bertirakat.

Ini senada dengan tulisan saya sebelumnya. Di dalam, kutulis tiga pemahaman orang Jawa dalam memahami agamanya yakni kemanunggalan, keselarasan dan kesejatian. Ketiganya tak bisa lepas dalam melakukan tradisi 1 Suro.

Sebelum membicarakan itu, baiknya dikenal beberapa hal terkait tradisi dan kebatinan. Alasannya, sebagian masyarakat masih memandangnya negatif seperti menyebutnya dengan “klenik” atau dikaitkan dengan ilmu hitam.

Klenik dalam pandangan umum orang-orang, dianggap berbahaya sebab dapat menimbulkan praktik-praktik yang melanggar hukum, norma susila dan agama. Jangankan mayoritas kita, para orientalis malah memisahkan antara Islam dan Jawa. Seakan-akan Islam dan Jawa itu dua entitas yang terpisah.

Lebih aneh lagi, hal ini diperparah dengan adanya pembedaan antara abangan, priyayi dan santri, yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Karena dalam perjalanannya, kesimpulan ini telah banyak menuai kritik.

Padahal sejak perjumpaan antara Islam sebagai agama dengan kebudayaan Jawa, banyak lahir ragam ekspresi kebudayaan, seperti bangunan masjid, tarian dan perayaan ritual keagamaan.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengatakan bahwa pembedaan yang dilakukan Geertz, dalam konteks sekarang, sudah tidak bisa bertahan dalam bentuknya yang kaku.

Alasannya, priyayi dan abangan sejak tahun 1990, telah melebur menjadi santri. Bahkan orang Jawa bisa menjadi santri dan taat beragama, seiring perkembangan usianya (Subarkah, 2018).

Olehnya, di dalam memahami tradisi dan aliran kebatinan, perlu dilihat dalam konteks kebudayaan spiritual di Nusantara yang telah berkembang dan berakar dalam masa yang sangat panjang.

Oleh Soedjono Humardi, ia meneliti dan membagi sejarah kebudayaan spiritual di Indonesia ke dalam tiga periode, yakni: Zaman Purwa; Zaman Madya; Zaman Kontemporer.

Zaman Purwa adalah masa sebelum masuknya pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya pengaruh agama-agama yang masuk ke Indonesia. Saat itu, kebudayaan spiritual Nusantara hadir.

Zaman Madya adalah sebuah zaman pertemuan dan interaksi antara kebudayaan spiritual dengan pengaruh agama-agama besar yang masuk ke Indonesia. Dari interaksi ini, timbul sinkretisme--yakni proses perpaduan antara nilai-nilai dasar kebudayaan spiritual dengan nilai dasar yang dibawa oleh pelbagai agama-agama besar--tujuannya mencari keserasian dan keseimbangan.

Proses sinkretisme terjadi sampai pada saat sejarah kebudayaan spiritual Indonesia memasuki zaman kontemporer. Sinkretisme akhirnya membentuk aliran kebatinan yang membahas hidup dan kehidupan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa.

Di dalamnya, kemudian tumbuh dan berkembang penghayatan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan tentang peningkatan budi pekerti kemanusiaan yang luhur (Imam, 2005).

Perkembangan kebudayaan spiritual (batin), sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata berbanding lurus dengan alam pemikiran orang Jawa. Di dalam pikirannya, setiap individu menyadari ada kekuatan dan alam yang lebih besar selain dirinya.

Maka setiap individu mencoba merefleksikan dirinya dalam hal kagunan (kegunaan atau kebermanfaatan) terhadap Tuhan dan sesamanya. Hal ini mirip pada sosok Semar yakni dapat menyatu dengan Bathara Guru dan Sang Hyang Wisesa.

Semar bisa berjalan bolak-balik dari dunia transenden ke dunia imanen. Prosesnya bisa dimaknai dengan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan manusia) atau adanya pikiran orang Jawa tentang sifat Tuhan yang meliputi keduanya, imanen sekaligus transenden (Soehadha, 2008).

Atas dasar itu, bagi orang Jawa, bersemedi, berdoa, melakukan ritual dan perayaan atau bertapa, tidak hanya bertujuan untuk menghayati keyakinan akan kehadiran Tuhan, tapi juga jalan mencapai keberkahan dan ketentraman.

Mereka merasa, untuk menempuhnya, perlu ritual khusus dalam merayakan malam 1 Suro. Contohnya dalam ritual topo bisu mubeng benteng yang dilakukan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Topo bisu diambil dari bahasa Jawa yang berarti diam, berdiam tanpa bicara. Sedangkan mubeng benteng berarti memusat atau mengelilingi pusat atau mengelilingi kraton yang dianggap sebagai pusat.

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma yang memerintah pada tahun 1613-1645. Saat itu, Sultan Agung sebagai penerus kerajaan Mataram Islam pasca Panembahan Senopati, telah menggantikan sistem penanggalan Jawa Kuno dengan penanggalan Jawa Hibrid--yang menggunakan sistem penanggalan hijriah Islam. Sehingga bukan kebetulan jika malam 1 Suro bertepatan dengan tahun baru Islam.

Namun, semenjak kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi tiga bagian yakni Kasunanan Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta dan Puro Mangkunegaran. Secara kasat mata, terjadi perbedaan dalam ritual ini.

Di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, ritual malam 1 Suro dilaksanakan pada tahun 1919, yang dimulai dari adanya permintaan masyarakat untuk mengibarkan bendera pusaka Kiai Tunggul Wulung yang dikeramatkan.

Bendera itu berwarna biru hitam bertuliskan surah Al-Kauthar, Asma’ul Husna dan syahadat, dengan ukuran kurang lebih 2x4 meter. Bendera itu disebut berasal dari kiswah Ka’bah di Mekkah. Soal umur, bendera ini lebih tua dari umur Kraton Yogyakarta yang berdiri pada 1755.

Dari adanya permintaan masyarakat untuk mengibarkan Kiai Tunggul Wulung, tradisi topo bisu mubeng benteng lalu dilakukan. Proses mengelilingi kraton yang jaraknya kurang lebih 7 km, dilakukan pada pukul 00:00 WIB (malam hari).

Semuanya dimulai dari Alun-Alun Utara melewati Jalan Kauman, Jalan Wahid Hasyim, Pojok Benteng Kulon, Gading, Pojok Benteng Wetan, melalui jalan
Brigjen Katamso dan berakhir di Keben Kraton.

Saat menjalaninya, para peserta dituntut tidak bersuara agar peserta mubeng selalu intropeksi diri selama menjalani waktu dalam satu tahun sebelumnya dan menatap satu tahun kemudian dengan lebih baik lagi.

Mubeng benteng atau mengelilingi kraton sendiri dimaknai sebagai bentuk kemanunggalan (kesatuan) eksistensial antara manusia dengan Tuhannya, yang berhubungan dengan manunggaling kawulo Gusti. Akhirnya, kraton Yogyakarta dianggap sebagai pusat antara penyatuan itu.

Dalam mubeng, manunggaling kawulo Gusti memiliki dua dimensi, yakni dimensi teologis dan sosiologis. Secara teologis, jalan ini menjadikan spiritualitas sebagai kekuatan yang mampu membongkar kebudayaan materialis.

Sedangkan dimensi sosiologis, keraton disimbolkan sebagai pusat, berarti ada interaksi kemanunggalan antara raja dan rakyatnya. Maksudnya, kawulo (rakyat) dan Gusti (raja/penguasa) harus bersama-sama menyatu dalam hal keagamaan, kerjasama, gotong royong dan pembangunan. Mengingat peran raja bukan hanya mengurusi rakyatnya, tapi juga agamanya (Djaya, 2003).

Pada akhirnya, ritual ini membawa manusia untuk mengenal eksistensi dirinya melalui zikir. Agar dirinya dengan sang Pencipta, selalu terjalin hubungan. Hasil dari rangkaian prosesi inilah yang dimaknai sebagai sangkan paraning dumadi.

Setelah proses, perwujudannya disebut sebagai sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawono (tidak punya pamrih yang menguntungkan diri atau banyak bicara, melainkan giat bekerja untuk kesejahteraan dunia).

Editor: Almaliki