Etnis.id - Banyak yang sepakat jika pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan setiap manusia. Begitu juga dengan Wijikan yang dilakukan mayoritas orang Jawa.

Putriana menyampaikan jika manusia dalam perjalanan hidupnya akan mengalami peristiwa ketika dilahirkan, ketika menikah dan ketika meninggal dunia. Ketiganya adalah siklus yang penting.

Meski tidak semua orang akan mengalaminya, tetapi secara sederhana, peristiwa tersebut merupakan siklus hidup manusia. Makanya tidak mengherankan, jika permulaannya diiringi dengan pelbagai upacara atau dirayakan.

Maksud diadakannya upacara tidak lain untuk memberitahu kepada masyarakat sekitar, manakala ada daur hidup baru sehingga tidak bisa jika hanya dilewatkan begitu saja.

Menyoal prosesi pernikahan Wijikan, memang masih sangat tradisional. Beberapa sumber sejarah menyebutkan, Wijikan berasal dari keraton. Meski mulanya hanya dilakukan di dalam tembok keraton, tetapi seiring masuknya Islam di Jawa, tata cara mengenai pernikahan Jawa akhirnya berbaur dengan budaya Hindu serta budaya Islam.

Dari akulturasi itu, Wijikan kemudian keluar melewati tembok keraton yang pada akhirnya melahirkan rangkaian prosesi yang bisa kita lihat sekarang. Wijikan juga punya bahasa lain yang dikenal dengan nama Ranupada.

Ranupada berasal dari kata ranu yang berarti air serta pada yang berarti membasuh kaki. Secara keseluruhan, Ranupada berarti membasuh kaki. Pada pelaksanaan prosesinya, mempelai wanita akan mambasuh kaki mempelai pria.

Peristiwa ini membuat saya bertanya-tanya. Sejak kecil saya sering sekali menyaksikan ritual ini. Bagaimana tidak, kampung saya masih memegang teguh adat Jawa. Setiap ada tetangga atau saudara yang menikah, Ranupada selalu terselenggara.

Hingga saya besar, prosesi ini masih berlangsung. Hingga pada akhirnya saya melontarkan pertanyaan sederhana pada diri saya. "Kenapa dalam prosesi ini hanya mempelai wanita saja yang membasuh kaki, kenapa mempelai pria tidak melakukan hal serupa?”

Apakah ini merupakan simbol kekuasaan yang mana perempuan harus menjadi pelayanan utuh ketika berumah tangga?

Akhirnya kakek saya yang notabenenya adalah pemangku adat di kampung, yang sering sekali diminta untuk menjadi pelaksana Panggih Manten, menjawabnya. Menurutnya Wijikan memang simbolisasi dari bakti perempuan kepada suami. Maknanya juga untuk menghilangkan halangan yang ada di dalam diri kedua mempelai, agar nanti mencapai kehidupan rumah tangga yang mudah dan bahagia.

Mengenai pelaksananya, Wijikan dimulai dengan memasukkan kedua kaki calon suami ke dalam kotak persegi panjang yang di dalamnya sudah diberi irisan daun pandan serta campuran bunga melati. Sang istri kemudian membasuh kaki calon suami dengan air bunga setaman sebanyak tiga kali.

Setelah itu dilanjutkan dengan mengelap kakinya sampai kering lalu menghatur sembah bakti istri kepada calon suami. Selanjutnya, mempelai pria akan membantu pasangan untuk berdiri. Ini simbol perlindungan suami kepada istrinya kelak.

Pemangku adat lalu menyentuhkan telur ayam yang masih mentah pada tiap-tiap dahi mempelai. Ritual diakhiri dengan menjatuhkan telur hingga pecah dalam wadah persegi panjang, sembari mengucap harap agar segera diberi momongan.

Jika menarik benang merah dari prosesi tersebut, memang benar jika Wijikan bagian dari proses penyatuan dua insan manusia. Tetapi, apakah hanya
menyatukan saja tanpa merawat penyatuan tersebut?

Apa yang salah, jika selama ini saya banyak juga melihat peristiwa “tidak bahagia” dalam kehidupan tetangga-tetangga saya? Banyak sekali kasus perceraian yang terjadi, bahkan di dalam keluarga sendiri juga terjadi demikian.

Lantas apakah sebuah adat hanyalah simbolis semata dan sebagai bagian dari seru-seruan saja? Jika iya, kenapa masih saja dilakukan sampai sekarang? Apakah itu cara menghargai yang benar?

Jika pertanyaan itu terlontar, jawabnya sederhana. Adat tidak salah. Wijikan merupakan ajaran yang mulia, supaya kelak kita menjadi insan manusia yang bisa memanusiakan. Dalam hal ini, yang patut dikritisi adalah pemaknaan diri kita sebagai manusia itu sendiri. Proses ritualnya hanyalah bagian luar, lebih dari itu ada nilai yang lebih mulia, yaitu proses penghayatan akan tiap-tiap simbol dari ritus.

Pada akhirnya saya korelasikan dengan beberapa kejadian lain yang ada di sekitar saya. Ternyata masih banyak juga yang hidup bahagia bersama dengan pasangannya. Yang paling dekat adalah kehidupan kakek saya, beliau sangat menghargai nenek saya, sangat memanusiakan.

Yang membuat saya terenyuh atau tergetar yaitu ketika beliau berkata, “Aku iki wong Jowo nduk, yo kudu iso Jawani, kudu iso nyupaya apa sik diajarne Jawa maring aku,” yang artinya aku ini orang Jawa Nak, aku harus bisa menjadi Jawa, harus bisa mengalamalkan apa saja yang Jawa ajarkan kepadaku.

Meski hanya bagian contoh kecil saja, namun membuat saya mengerti untuk mengambil korelasi dari berbagai peristiwa ini. Kelak, kalau kita bisa memaknai dan mengimplementasikan apa yang diajarkan oleh leluhur, mungkin akan mengantarkan kita pada kehidupan yang seimbang dalam berkolaborasi antara pasangan serta dengan sesama manusia.

Intinya, ajaran Jawa itu sarat akan makna, penuh simbolis, jangan hanya belajar simbolnya saja, tapi selayaknya melakukan pengamalan nyata terhadap simbol-simbol tersebut. Sekali lagi, menyatukan itu penting namun tanggung jawab setelah penyatuan tidak kalah penting.

Editor: Almaliki