Etnis.id - Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius, yang diikat dengan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam realitasnya, religiusitas masyarakat Indonesia bersifat heterogen. Secara umum, bisa disebut religiusitas majemuk (plural religiousity).

Religiusitas majemuk ini ditandai dengan adanya keanekaragaman paham-paham, ajaran dan aliran-aliran kepercayaan, yang pada suatu waktu telah membentuk cara pandang masyarakat dalam memaknai kehidupan.

Sehingga dalam perjalanannya, hal itu telah membuktikan bahwa aliran-aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat Indonesia, merupakan aset penting bagi kehidupan budaya dan agama di Indonesia.

Salah satu aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat Jawa adalah Kejawen atau Javanisme. Sebuah sistem kepercayaan yang dianut oleh sebagian Suku Jawa. Bagi orang Jawa, hakikat Kejawen adalah kebatinan, mistisisme, atau secara literal adalah ‘ilmu tentang sesuatu yang berada di batin’ (Stange, Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah, 2009).

Secara akar katanya, batin berasal dari lafaz bahasa Arab, artinya yang di dalam, yang sulit dan yang tersembunyi. Kata batin itu sendiri dipakai untuk menunjukkan sifat keunggulan terhadap perbuatan lahiriah.

Kejawen atau kebatinan yang tumbuh di Indonesia, bukan lahir dari ruang kosong tanpa makna. Gerakan kebatinan yang tampil ke permukaan, merupakan bagian dari gerakan revolusi Indonesia di bidang moral spiritual.

Kalimat di atas mendasari tren “kebatinan” yang dianggap bagi beberapa kalangan ilmuwan dan kaum terpelajar, sering dicitrakan buruk, tidak ilmiah dan irasional. Dipandangnya kebatinan sebagai hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.

Pandangan semacam ini--dalam ilmu pengetahuan--mungkin dapat diterima. Namun, dari sudut pandang moral dan rohani, kemajuan ilmu pengetahuan modern beserta teknologinya, ternyata sedikit banyaknya telah berdampak pada kekacuan, malapetaka dan keterasingan diri.

Menurut saya, kecanggihan yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan, tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan rohani dan peningkatan moral manusia. Makanya, manusia harus sadar untuk kembali kepada fitrah manusia itu sendiri, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan dari dua unsur, yakni jasmani dan rohani.

Bagi saya, kemajuan ilmu pengetahuan modern hanya memenuhi kebutuhan perkembangan jasmani, sedangkan kebutuhan peningkatan rohani terabaikan. Pembinaan umat manusia yang benar, harus ada keselarasan antara kebutuhan jasmani dan rohani.

Sehingga dalam sejarahnya, pada awal abad ke-20, pelbagai praktik aliran kebatinan ini berkembang cukup pesat semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Tidak heran jika pada tahun 1950, muncul yang namanya Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI)--yang coba merumuskan pengertian dan maksud kebatinan secara lebih spesifik.

Sebagaimana yang dirumuskan keputusan kongres BKKI ke-I tahun 1955 di Semarang: “Sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawono." Artinya kebatinan tidak punya maksud yang menguntungkan, giat bekerja dan berupaya untuk menyejahterakan dunia” (Imam, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, 2005).

Dalam perjalanannya, definisi di atas tidak berjalan lama karena setahun kemudian, tepatnya pada keputusan kongres ke-2 BKKI tahun 1956 di Solo, kebatinan didefiniskan sebagai: “Sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna mencapai kesempurnaan hidup” (Imam, 2005).

Definisi kedua inilah yang kemudian bertahan lama. Selain memperkokoh keyakinan bahwa bukan kebatinan yang menjadi sumber Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa-lah yang menjadi sumber kebatinan.

Definisi ini jugalah yang mengokohkan pandangan masyarakat Jawa tentang hubungannya dengan Tuhan, alam, dan manusia. Dalam konteks itulah, yang membuat masyarakat Jawa lebih dalam untuk memahami agamannya--tidak hanya berhenti pada hal-hal lahiriah semata.

Semuanya demi tercapai tentrem ing mamah, sebuah rasa kedamaian, ketentraman, ketenangan yang hanya bisa diperoleh jika manusia mampu menundukkan semua nafsunya (Soehadha, Orang Jawa Memaknai Agama, 2008).

Seperti yang terlihat dari salah satu ajaran kebatinan di Jawa, yakni aliran Subud. Subud adalah akronim dari Susila Budhi Dharma yang dibuat pada 1 Februari 1947, di Yogyakarta. Pendirinya ialah Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo.

Muhammad Subuh dilahirkan pada tanggal 22 Juni 1901 di Kedungjati Grobogan Semarang. Sejak kecil, Subuh sudah diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya. Pada usia 16 tahun, Subuh disebut sudah memperlihatkan tanda-tanda kelebihan tersendiri dibanding teman-temannya. Menginjak usia dewasa, selain bekerja di Kantor Wali Kota Semarang, ia mulai mengembara ke beberapa pesantren untuk mencari kebenaran.

Semasa hidupnya, Subuh dikenal sebagai seorang Muslim yang taat beribadah dan berzikir. Semuanya dijadikan kebiasaan dan sebagai kegiatan latihan kejiwaan, yang sering diajarkan kepada anak-anaknya.

Pertama-pertama ia menyuruh anaknya memejamkan mata mereka sambil menabuh gambang. Subuh berkata, “Rasakan apa yang terjadi dengan hati dan gelora perasaanmu.”

Ketika itu anaknya yang bernama Haryono, merasakan setiap ketukan tabuh gambang, membuat isi dadanya berdetak kuat di dalam dada, sedangkan soal lagu yang mengalun, sering terasa pilu di dalam hati. Ini cukup klise.

Hingga pada suatu malam di tahun 1925, ketika Subuh berjalan-jalan di depan rumah sakit di desa Kalisari. Konon, ia melihat cahaya yang sangat terang di langit. Dalam pengelihatannya, cahaya tersebut seakan ingin menerkam seluruh tubuhnya.

Dengan kondisi yang ketakutan, Subuh mendirikan salat untuk berserah diri kepada Allah atas kejadian yang dilihatnya. Hingga ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanya di kantor wali kota dan lebih memilih giat menekuni latihan kejiwaan.

Latihan kejiwaan ini pun mulai disebarkan Subuh melalui teman-teman dekatnya di kampung Wonosari Semarang, pada tahun 1932. Tahun 1945, Subuh pindah ke Yogyakarta, hingga pengikut latihan kejiwaan ini pun berkembang.

Pada 1 Februari tahun 1947, aliran Subuh dikukuhkan sebagai organisasi perserikatan bernama Subud yang memiliki anggaran dasar yang telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, serta masuk ke dalam lembaran negara bernama "Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (PPK Subud)".

Pengertian Susila Budhi Dharma atau Subud menurut Subuh yaitu Susila: Budi pekerti manusia yang baik--sejalan dengan kehendak Tuhan--manifestasi dari ihsan. Pada setiap manusia yang beragama, dituntut untuk menjadi orang yang baik dan menciptakan kebaikan.

Budhi berarti daya kekuatan diri pribadi manusia, sehingga dia sanggup untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan yang akhirnya menimbulkan keyakinan terhadap Zat yang Maha Tinggi. Ini merupakan manifestasi dari iman.

Dharma berarti keikhlasan, ketawakalan dan penyerahan diri seutuhnya terhadap Tuhan yang Maha Esa tanpa pamrih. Ini merupakan manifestasi dari Islam (Imam, 2005).

Ada pun di dalam mencapai sikap Susila Budhi Dharma tersebut, kejiwaan harus dilatih. Sebagaimana yang termaktub di dalam visi organisasi Subud, yang berbunyi: "…asas dari latihan kejiwaan itu, pada kenyataannya adalah kebaktian kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan tuntutan-Nya, kita ditunjukkan ke arah kebaikan budi pekerti dan kemuliaan jiwa."

Kata latihan yang digunakan oleh aliran Subud bukan tanpa arti. Latihannya tidak diterjemahkan menjadi training atau exercise dalam bahasa Inggris. Tetapi diartikan mengandung tiga unsur pengertian yakni:

1). Berlatih, karena dilakukan secara sepotong dalam waktu pendek.
2). Kebaktian, karena dilakukan dengan berpasrah dan memuji keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
3). Menerima, karena berakibat membuka diri dari bungkusan nafsu-nafsu diri, maupun kemauan pribadi untuk diri (jiwa)-nya menjadi modal menerima sentuhan Tuhan (Imam, 2005).

Cara anggota Subud melatih jiwa mereka diawali dengan berdiam diri, sekaligus menyerahkan diri langsung kepada kekuasan Tuhan Yang Maha Esa. Kata “langsung” menurut Subuh mengandung arti “tanpa perantara”.

Mengenai datangnya sentuhan kekuasaan dari Tuhan, tergantung dari seberapa bulat kepasrahan dan keyakinan pada kebesaran kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri. Makanya, di dalam melatih kejiwaan, seseorang tidak boleh memaksakan diri atau bernafsu ingin cepat mendapatkan getaran dari kekuasaan Tuhan.

Justru sikap yang begitu, akan menghambat penerimaan yang bersih dari Tuhan. Penjelasan Subuh tentang keadaan manusia yang dapat menerima kontak dari Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlu dilakukan dengan meniadakan pelbagai angan-angan dan akal pikirannya.

Alasannya, dengan meniadakan sifat angan-angan itu, hakikatnya telah melumpuhkan nafsu serta menundukkan kepandaiannya sebagai manusia. Artinya, ia sebagai manusia telah patuh dan menyerah dengan penuh keikhlasan kepada Tuhan.

Inilah kritik yang coba diajukan oleh Subuh ihwal mengapa pada zaman sekarang, manusia sulit untuk melakukan kontak dengan hidup besar dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa? Hal ini disebabkan karena manusia selalu mengedepankan nafsu-nafsu keduniawiannya.

Terlebih setelah akal pikiran manusia maju dan berkembang dalam lapangan ilmu pengetahuan, yang membuatnya mudah terjebak dengan mementingkan akal pikirannya daripada condong merasakan alam ketenangan dirinya.

Maka menjadi jelaslah bahwa untuk mendapatkan kontak dengan hidup besar dari kekuasaan Tuhan, tidak lain dengan menyerahkan diri total kepada Tuhan Yang Maha Esa--dengan ikhlas dan sesugguh-sungguhnya.

Maksudnya, sifat penyerahan itu bukan hanya bersifat kata-kata, tetapi harus dapat menembus ke dalam seluruh rasa diri, hingga benar-benar merasakan bahwa tidak ada sesuatu yang dipercaya, dipuji, dan diper-tuhan-kan kecuali Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah Swt.

Maka jalan satu-satunya bagi manusia untuk dapat mendekati kekuasaan Tuhan, memerlukan ketenangan rasa dirinya dengan penuh kesabaran, ketawakalan, serta keikhlasan (Imam, 2005).

Dari adanya praktik kebatinan yang diajarkan oleh Subuh melalui Subud. Dapat diketahui secara sederhana, bagaimana orang Jawa dalam memahami agama. Setidaknya ada tiga cara, yang dianggap orang Jawa, untuk memahami agamanya.

1). Kemanunggalan (penyatuan jiwa atau kontak antara manusia dengan Tuhannya).
2). Keselarasan yang terjalin antara perkataan, perbuatan, akal dan hati, dalam mencapai keberkahan hidup yang diridai oleh Tuhan Yang Maha Esa.
3). Kesejatian, memahami diri sendiri sebelum sampai kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

Pada nomor tiga itu, lebih jauh diutarakan kalangan pengamal tasawuf: “Man arafa nafsahu arafa rabbahu”. (Barangsiapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya).

Maksud ketiga hal inilah tujuan dari latihan kejiwaan Subud, yakni menjadikan manusia itu bersusila (memiliki budi pekerti baik yang sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa), berbudi (memiliki daya kekuataan yang hidup dalam diri manusia), dan berdarma (ketawakalan, keikhlasan, serta penyerahan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa); (Imam, 2005).

Editor: Almaliki