Etnis.id - Pada waktu antara tanggal 1 hingga 10 Sapar (sistem penanggalan Baduy), masyarakat Baduy di Desa Kanekes melaksanakan upacara Seba yang wajib dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat Baduy Dalam dan Luar.

Alasannya, Seba adalah satu di antara pikukuh karuhun (amanat leluhur). Pesan-pesan itulah yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai adat yang ditetapkan secara resmi dan terstruktur dalam masyarakat suku Baduy.

Seba dilakukan dengan cara mempersembahkan hasil alam yang sudah dipanen seperti padi, pisang tanduk, gula aren, dan hasil-hasil bumi lain dari tanah masyarakat Baduy di Desa Kanekes.

Hasil bumi itu nantinya diserahkan kepada Bapak Gede (Gubernur Banten) dan Ibu Gede (Bupati Lebak) yang dianggap telah melindungi wilayah mereka secara Undang-Undang.

Uniknya, masyarakat Baduy Dalam membawa hasil panennya secara lalampah (berjalan tanpa menggunakan alas kaki) dengan jarak tempuh kira-kira 160 kilometer (pulang-pergi), dari Desa Kanekes menuju Gedung Disparbud Provinsi Banten atau Gubernuran Banten.

Lalampah, bagi masyarakat Baduy Dalam patut digelar. Sebab Seba menjadi batal jika tidak melakukan lalampah. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat Baduy Dalam untuk menjaga kemurnian alam.

Logikanya begini. Kendaraan membutuhkan bensin (minyak) untuk bisa digerakkan, sedangkan penggunaan minyak dianggap sebagai wujud eksploitasi tanah dan hutan (menghilangkan kemurnian tanah dan hutan).

“Jika berjalan kaki masih kuat dan menyehatkan tubuh, mengapa harus naik kendaraan,” itulah jawaban salah satu masyarakat Baduy Dalam ketika ditanya soal alasan melakukan lalampah.

Telapak kaki yang bersentuhan secara langsung dengan alam (tanah) dapat menjalin ikatan batin antara manusia dengan alam. Itulah makna lalampah sesungguhnya.

Seba dalam masyarakat Baduy Dalam bisa ditelaah secara kasat mata lewat prinsip gunung teu meunang dilebur (gunung tidak boleh dihancurkan). Makanya, pemberian Seba kepada pemerintah merupakan simbolis untuk saling menjaga alam.

Jika dikira Seba adalah upeti, saya katakan tidak. Sebab upeti adalah wujud tunduknya penduduk pada pemimpin karena kalah perang. Sementara masyarakat Baduy tidak pernah merasa berperang.

Lebih dalam, Seba dimaknai sebagai lambang penyampaian pesan tentang kelestarian alam. Jika hasil alamnya terjaga, maka hasil panen otomatis akan mengalir ke Ibu Gede dan Bapak Gede.

Hasil alam itu juga masih murni, tak diubah bentuk sedikit pun. Ini isyarat tentang kesadaran masyarakat Baduy, bahwa mula segala sesuatu yang ada di bumi adalah alam. Kursi,meja, pakaian dll yang ada di sekitar manusia, adalah produk jadi yang dibentuk dari produk murni.

Lantas, jika ditanya, "Kok persembahannya bukan dalam bentuk uang saja?" Memang terdengar lebih praktis dan masuk akal, daripada membawa hasil panen dengan ritual yang rumit. Itu bagi kita.

Bagi orang Baduy, Uang dianggap bukan hal murni jika ingin dibawa saat Seba, sebab uang telah dipindahtangankan berkali-kali. Kemurnian diharapkan menimbulkan akibat-akibat yang suci.

Dari paparan sederhana itulah, kita bisa membaca secara sederhana bahwa Pemerintah Kota Banten dan penduduk Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, cukup komunikatif. Peran pemerintah dalam melindungi wilayah Desa Kanekes dari tangan-tangan jahil manusia, menjadi alasan masyarakat Baduy untuk membalasnya.

Beda Baduy Dalam dan Luar

Tentang perbedaan masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar, ada beberapa yang bisa diidentifikasi secara kasat mata seperti dalam hal pakaian dan cara menempuh perjalanan dalam Seba.

Contohnya, masyarakat Baduy Dalam masih menjaga diri dari pengaruh luar (seperti kebutuhan hidup sehari-hari hanya bersumber dari alam), sedangkan masyarakat Baduy Luar sudah membuka diri pada modernitas (meski hanya sedikit).

Masyarakat Baduy Dalam menempuh perjalanan Seba dengan berjalan kaki, sedangkan masyarakat Baduy Luar menempuhnya dengan kendaraan.

Soal pakaian, masyarakat Baduy Dalam menggunakan telekung (ikat kepala) dan kutung (baju lengan panjang tanpa krah) berwarna putih, aros (sarung Baduy) hitam dan buntelan (buntalan) putih untuk membawa barang.

Sedangkan masyarakat Baduy Luar menggunakan iket (ikat kepala bercorak batik) biru atau hitam, kutung hitam, aros hitam atau celana pendek selutut dan jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu teureup).

Intinya, dari Seba dan lalampah, keduanya adalah bukti cinta yang paling nyata dengan tindakan. Pada akhirnya, tradisi ini, meski kita masyarakat kota, harus diambil pelajarannya.

Sementara bagi masyarakat Baduy, tradisinya mesti dijaga eksistensinya. Alasannya, makna-makna simbolik di dalamnya dapat menyadarkan generasi muda tentang urgensi kelestarian alam.

Editor: Almaliki