Segehan Wong-wongan Bali dalam Ritual Adat Penolak Bala
Segehan dihaturkan sebagai upaya penetralisir kekuatan Bhutakala. Dengan menghaturkan segehan, maka energi kembali seimbang, kekuatan gelap pun tergantikan.
Seputar upacara adat berbagai etnis
Segehan dihaturkan sebagai upaya penetralisir kekuatan Bhutakala. Dengan menghaturkan segehan, maka energi kembali seimbang, kekuatan gelap pun tergantikan.
Menyajikan daging kerbau merupakan wujud rasa syukur untuk menyambut hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Begitulah cara etnis Batak Angkola Huta Pasar Simangambat menandai kegembiraan.
Melalui tradisi Susuguh Karuhun, Jatisunda mewujud ke dalam simbol-simbol yang mewakili konsep ambu ageung dan ambu alit: kearifan yang meliputi seisi jagat raya.
Prosesi upacara adat Wiyaneo, diawali dengan mempersiapkan daun Aisame, Aimaranding dan batang kayu Belo. Suku Onate menyebut Belo sebagai kayu pemanggil ikan.
Kasepuhan Ciptagelar mendirikan sekitar 8000 leuit atau lumbung padi yang dapat menyimpan pasokan beras untuk seluruh warganya hingga 5 tahun ke depan.
Kedatangan Islam mengubah ruang sakral masyarakat Jawa. Tak lagi terbatas di area pegunungan, goa atau lokasi keramat lain di tanah Jawa, melainkan pusat peradaban Islam seperti di Makkah dan Madinah.
Di desa Allamungeng Patue, ritual Mappadendang yang bernuansa mistis dan magis, berkorelasi erat dengan semangat pelestarian budaya leluhur Suku Bugis.
Di Jawa, orang yang sudah meninggal dianggap belum sepenuhnya tiada. Diyakini bahwa arwah masih dapat memeluk keluarganya yang masih hidup dari alam baka.
Sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Juwana atas karunia Tuhan berupa kekayaan bahari, maka dipilihlah tradisi melarung aneka sesaji ke tengah laut.
Melalui pengintegrasian kultur dan religi, tercapailah bentuk khayali tertentu yang mempermudah manusia untuk meneladani kebijaksanaan hidup leluhurnya.