"Dulu, bangunannya menjadi saksi hubungan antara orang tua dan bayi yang gugur di dalam kandungan. Taburan bunga pada hari kelahiran, menjadi bentuk jalinan komunikasi. Lantunan doa menjadi senandung pengantar rindu pada sang janin yang telah tiada. Pelukan hangat pun tetap diberi, meski belum sempat berinteraksi". Juni, 2020.

Sandyakala menyapa jingga petang itu. Rindang pohon melinjo menyelimuti dan sesekali menjatuhkan buahnya, tatkala burung Srigunting meneriakkan suaranya dengan lantang. Di hadapan, tampak bangunan tua yang sudah usang, ukurannya mungil, sekira satu meter persegi.

Di dalam bangunan itu, terdapat tiga jajaran makam dengan ukuran kecil, kurang lebih 50 sentimeter. Bagian atap sudah keropos, di sisi kanan makam terdapat sarang laba-laba, rumput liar yang hampir menutupi bangunan dan sampah plastik yang bertebaran di sekitarnya.

Setelah menyusuri desa-desa sekitar dan berinteraksi dengan masyarakat, bangunan semacam itu ternyata tidak sedikit, hampir sebagian besar rumah berbentuk rumah limas dan joglo, memiliki bangunan seperti itu.

Meskipun kondisinya sudah tak utuh atau diabaikan begitu saja, namun keberadaannya masih dapat diuraikan. Masyarakat di sekitar Klaten Barat, menyebutnya kuburan trek, ada pula yang menyebutnya kuburan lisang.

Istilah itu merujuk pada fungsi kuburan, yakni untuk memakamkan bayi yang gugur di dalam kandungan. Di Jawa, bayi yang gugur di dalam kandungan disebut lisang, sehingga bangunan itu disebut dengan kuburan lisang. Meski sudah jarang dikisahkan, penamaan kuburan trek merujuk pada nama hantu bayi dalam cerita rakyat (folklor) Jawa yang disebut dengan trek.

Trek dalam Keyakinan Orang Jawa

Di Jawa, orang yang sudah meninggal dianggap belum sepenuhnya tiada. Diyakini bahwa arwah masih dapat memeluk keluarganya yang masih hidup dari alam baka. Pun, dengan bayi yang gugur dalam kandungan, mereka percaya bahwa arwah bayi itu masih tetap tumbuh layaknya manusia biasa.

Berpijak pada keyakinan itu, orang tua masih tetap merawat bayinya dengan membuatkan kuburan trek yang diletakkan di area pekarangan rumah.

Sebagai bentuk perawatan, semakin dekat kuburan trek, semakin mudah pula orang tua merawatnya. Selain itu, merumahkan bayi yang gugur di dalam kandungan di dalam sebuah bangunan kuburan trek dianggap sebagai representasi dari “koe bagian seko keluargo, koe anakku” (kamu bagian dari keluarga, kamu anakku).

Masyarakat sekitar meyakini bahwa jika sang bayi atau trek tidak dirawat, ia akan mengganggu orang-orang sekitarnya. Sebaliknya, jika ia dirawat, maka ia akan menjadi “penuntun” orang tua dalam meniti kehidupan.

Orang Jawa beranggapan bahwa sejatinya bayi masih suci, sehingga masih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, kemurnian yang melekat pada sang bayi dapat menuntut orang tua dalam mengarungi kehidupan.

Bangunan trek merupakan bentuk perawatan orang tua. Tetapi, bangunan ini hanya didirikan kurang lebih seribu hari setelah pemakaman sang bayi. Setelah itu, bangunan trek tak lagi digunakan. Kecuali, ada anggota keluarga yang juga mengalami keguguran.

Trek akan dipindahkan ke pemakaman desa setelah seribu hari. Orang Jawa beranggapan bahwa pada usia ini, trek sudah mampu merawat dirinya sendiri, sehingga diizinkan untuk berkumpul dengan leluhurnya. Meski begitu, orang tua akan tetap menjenguknya saat berziarah ke makam anggota keluarga lain yang sudah meninggal.

Komunikasi Orang Tua dengan Trek

Saat berziarah, orang tua biasanya membawakan bunga mawar dan melantunkan doa dan senandung, sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan trek. Tak jarang juga, orang tua membersihkan bangunan dari rumput liar sebagai simbol memandikan sang bayi.

Ritual tersebut dilakukan pada hari geblag atau weton (meninggalnya) trek untuk menjaga hubungan antara orang tua dengan sang bayi, sekaligus sarana penyampaian rasa syukur kepada Tuhan atas karunia yang telah diberikan berupa kesempatan untuk mengandung, meskipun belum sempat membesarkannya.

Meski telah dipisahkan oleh maut, di dalam ziarah, tersisip doa agar hubungan antara orang tua dengan bayinya tetap harmonis. Harapan atas keberkahan pun tak luput dipanjatkan.

Tradisi Merawat Kuburan Trek

Kuburan trek tak hadir begitu saja. Keselarasan hubungan antara sesama, alam, dan Sang Pencipta menjadi pijakan didirikannya kuburan trek.

Leluhur mewariskannya agar orang tua tetap memperlakukan bayi yang gugur dalam kandungan dengan penuh kasih sayang. Menurut Mbah Warto Dimejo, perlakuan ini sudah ada sejak dahulu. Mbah Warto yang lahir pada tahun 1929, melihat neneknya melakukan ritual perawatan terhadap kuburan trek sejak ia kecil.

Ritual itu diturunkan kepada Mbah Warto, namun ia sudah tidak melaksanakannya lagi. Ia menjelaskan bahwa bayi yang bersemayam di kuburan trek, sudah seluruhnya dipindahkan ke pemakaman desa.

Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, Mbah Warto merupakan orang terakhir yang melakukan ritual perawatan terhadap kuburan trek. Di desanya, sudah tak ada lagi satu warga pun yang masih menjalankan ritual itu.

Kuburan Trek yang Terabaikan

Kini, keberadaan kuburan trek hanya menjadi bukti kedinamisan zaman. Alasan kepraktisan membuat kuburan trek tak lagi dilestarikan. Masyarakat lebih memilih langsung memakamkan bayi yang gugur di dalam kandungan di pemakaman desa atau pemakaman umum.

Ada benarnya, tetapi maksud dan tujuan mendirikan kuburan trek juga tak sepenuhnya salah. Bagi masyarakat Jawa masa lampau, merawat bayi yang gugur, sama halnya dengan merawat bakal bayi yang masih berada di dalam kandungan.

Gugurnya bayi di dalam kandungan seorang Ibu membuat ritual merawat kuburan trek menjadi sedemikian sakral. Jika berkaca pada tindakan leluhur, tentu saja bertolak belakang dengan fenomena aborsi dan pembuangan bayi yang marak terjadi saat ini.

Perilaku menyia-nyiakan titipan Tuhan yang tidak didasarkan pada alasan keselamatan ibu ataupun bayi (abortus medicinalis), begitu kontras dengan penghormatan yang dilakukan leluhur pada kuburan trek di masa lampau.

Meski dianggap sudah tak relevan, namun ritual merawat kuburan trek dapat dijadikan sebuah pengingat (pangeling-eling), bahwa sesuatu yang telah gugur tetap layak untuk dikenang.

Penyunting: Nadya Gadzali