Kendati masyarakat Indonesia memiliki latar belakang budaya yang beragam, orientasi nilai adat istiadat atau kebiasaan hidup masyarakat suku-suku besar di Indonesia seperti Suku Jawa, Sunda, Minang, Melayu dan Bugis misalnya, mulai dari urusan yang paling sederhana sampai urusan yang paling kompleks, umumnya dilandasi oleh ajaran Islam. Tak terkecuali tradisi Suku Sasak yang hampir seluruhnya, meliputi ekspresi budaya atau kebiasaan hidup masyarakatnya, juga memiliki persinggungan dengan ajaran Islam.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menghadiri acara hajatan (khitanan) di desa tetangga. Siang itu, usai menyantap jamuan yang dihidangkan oleh tuan rumah, perhatian saya teralihkan oleh tumpukan jajanan (camilan) tradisional yang terlihat mencolok dari kejauhan. Tingginya kira-kira sampai selutut orang dewasa. Dugaan saya, susunan makanan kecil itu memang sengaja dihias sedemikian rupa agar terlihat menarik.

Bersisir-sisir buah pisang yang disusun rapi, tampak mengelilingi bibir nampan. Kemudian di atasnya, diletakkan aneka camilan tradisional khas Suku Sasak seperti ore, renggi, opak-opak dan tarek. Kata tuan rumah, tumpukan camilan itu bukan untuk tamu undangn seperti saya. Melainkan dipersiapkan untuk menjamu jamaah tahlilan sore nanti.

Cukup lama saya tertegun dan seketika ingatan tentang masa kecil saya yang gemar mengikuti acara keagamaan Suku Sasak bersama anak-anak lain, terpantik kembali.

Di dalam hati, saya merasa bersyukur tradisi masyarakat Suku Sasak yang bertalian erat dengan ajaran Islam, masih terpelihara dengan baik. Menurut saya, acara-acara kebudayaan semacam ini sangat bermanfaat untuk tujuan didaktis yang dapat berfungsi sebagai pembentukan mental-spiritual generasi muda Suku Sasak secara kolektif. Sebab, hanya melalui pengalaman mengikuti acara tradisi keagamaan seperti itulah transformasi sosial dalam konteks penghayatan terhadap ajaran-ajaran Islam—sekaligus pemahaman nilai-nilai kebersamaan—lebih mudah diserap oleh generasi muda Suku Sasak.

Pesagik dan Penaek

Secara garis besar, jenis hidangan masyarakat tradisional Suku Sasak dalam peringatan hari-hari besar Islam atau hajatan keagamaan, dibedakan menjadi dua macam, yakni pesagik dan penaek.

Pesagik merupakan hidangan khas Suku Sasak berupa masakan atau nasi dan lauk-pauknya. Biasanya, pesagik dimasak untuk orang banyak dalam acara hajatan perseorangan atau untuk satu keluarga saja. Hidangan jenis ini adalah menu utama dalam hajatan khusus seperti: pernikahan, khitanan, tahlilan kematian dan lain-lainnya.

Sedangkan penaek, merupakan jajanan atau camilan untuk jamaah setelah mengikuti acara-acara peringatan hari-hari besar Islam. Seperti Perayaan Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lebih populer dengan istilah “Maulid Nabi”, Peringatan Isra’ Miraj, Peringatan Nuzulul Qur’an, Halal Bihalal dan acara-acara tasyakkuran lainnya.

Khususnya pada acara Maulid Nabi, masyarakat Suku Sasak menganggap momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW ini sebagai puncak perayaan hari besar Islam selain lebaran. Kami akan berlomba-lomba mempersiapkan sajian terbaik sebagai bentuk kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW.

Demikian juga dengan bulan Maulid yang dianggap sebagai bulan yang memiliki keutamaan untuk menunaikan hajatan-hajatan tertentu, seperti khitanan, ngurisan (pemotongan rambut bayi), tasyakkuran, namatan (simbol upacara acara khataman pembacaan al-Qur’an 30 Juz).

Di beberapa tempat, tak jarang pula diberlakukan tradisi perayaan bulan Maulid yang digelar di rumah secara khusus. Mengundang keluarga, kerabat dan kolega untuk sekedar menghadiri jamuan atau yang umum disebut dengan "makan-makan".

Meskipun terdapat perbedaan antara jenis pesagik dan penaek. Namun dalam prakteknya, pesagik dan penaek kerap disajikan secara bersamaan, bahkan tak jarang tertukar penyebutannya.

Penaek diambil dari kata “naik” yang berarti menaikkan nampan berisi hidangan berupa jajanan tradisional sebagai jamuan untuk jamaah setelah mengikuti acara tahlilan, zikiran, pembacaan barzanji, ceramah keagamaan atau acara tradisi keagamaan lainnya di masjid.

Umumnya, sajian berupa jajanan tradisional ini terbuat dari beras ketan yang relatif mudah didapat oleh masyarakat Suku Sasak yang berlatar belakang budaya agraris. Selain itu, beras ketan juga memiliki nilai histori-filosofis yang kuat bagi masyarakat Suku Sasak, terkait dengan konsep penciptaan berdasarkan perspektif ajaran Islam.

Jenis-jenis jajanan tradisional yang sering saya jumpai adalah: Ore, renggi, pangan, wajik, bidari, abuk, banget, poteng (fermentasi ketan), aling-aling, opak-opak, nasi rasul dan lain-lain.

Dari beberapa jenis jajanan yang bisa saya sebutkan ini, sepertinya di daerah lain juga dapat dijumpai. Hanya saja, saya kurang paham betul istilah yang tepat untuk penyebutan nama populer dari jajanan-jajanan yang saya paparkan satu per satu itu.

Penaek, pada dasarnya tidak hanya dihidangkan untuk jamaah (orang banyak) saja. Dalam hajatan-hajatan tertentu, penaek juga diberikan untuk perseorangan atau individu. Misalnya, penaek yang diberikan khusus kepada guru yang telah membantu anak-anak Suku Sasak mengkhatamkan atau menamatkan Al-Qur’an sampai 30 Juz. Persembahan ini dapat diartikan sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada guru agama yang telah bersedia membimbing putra-putri mereka selama bertahun-tahun hingga lancar mendaras Al-Qur’an.

Ada pula penaek, untuk kiai yang menyampaikan ceramah keagamaan. Kemudian ada penaek untuk kiai yang memimpin doa dan zikir. Selanjutnya, ada penaek untuk kiai pembaca hikayat (kitab klasik tentang perjuangan syiar Islam di masa lalu), serta penaek untuk pemimpin acara-acara keagamaan yang lainnya.

Di luar peruntukkannya, seringkali, Mantri atau Petugas Kesehatan yang bertugas mengkhitan juga mendapat bagian dari orang tua anak yang dikhitan. Namun, penaek yang diberikan kepada Mantri ini didasarkan pada keikhlasan orang tua si anak saja. Seumpama Mantri tidak mendapat penaek pun, tidak menjadi soal. Asalkan biaya khitan dan obat-obatan untuk perawatan pasca khitan tetap dibayar.

Berkat

Dulu, semasa kecil, saya sering membayangkan betapa senang jika saya dapat mengajarkan anak-anak kecil membaca Al-Qur'an, atau kiai yang kerap mendapat bernampan-nampan berkat dari warga.

Masyarakat Suku Sasak menyebut pemberian yang diperoleh dari hasil mengikuti acara keagamaan dengan istilah “berkat”.

Sangat mungkin, kata “berkat” merupakan serapan atau turunan dari kata “berkah” karena masyarakat memperoleh berkat dari hasil mengikuti acara tradisi keagamaan yang memang bertujuan mendapatkan barokah dari Allah SWT, setelah melantunkan amalan-amalan seperti doa, zikir, selawat dan puji-pujian yang lainnya.

Saya ingat betul, masa kecil dulu bersama teman-teman sebaya, begitu senang mengikuti perayaan Maulid yang diselenggarakan di masjid. Tak seperti hajatan-hajatan lainnya, berkat yang saya peroleh dari perayaan Maulid, jumlahnya cukup banyak, bahkan sampai satu kantung plastik penuh.

Lucunya, saya selalu bersemangat membawa pulang berkat itu. Saya pikir, betapa senangnya jika berkat yang saya anggap “penuh barokah” ini dapat dinikmati oleh saudara-saudara saya yang tak sempat mengikuti perayaan Maulid. Padahal, keluarga saya juga memberikan  penaek atau jajanan tradisional yang sama persis seperti berkat yang saya bawa pulang dari masjid.

Pada akhirnya, aneka jenis sajian khas Suku Sasak tak menjadi satu-satunya hal yang saya syukuri, melainkan hikmah dari harmonisnya hubungan antara kebudayaan dan agama yang telah mengukuhkan identitas kultural saya sebagai bagian dari masyarakat Suku Sasak. Semoga saja, hubungan yang harmonis ini terjalin selamanya.

Penyunting: Nadya Gadzali