Masyarakat Jawa, sebelum kedatangan Islam, lekat dengan kepercayaan terhadap tempat-tempat wingit dan ruang-ruang keramat yang diyakini sebagai lokasi pertemuaan antara entitas “yang sakral” dan “yang profan”.

Menjadi mudah menjumpai, atau tepatnya merasakan hal-hal tak kasat mata saat berada di lokasi yang dianggap wingit. Semua lokasi yang dianggap wingit ini pada dasarnya juga menjadi pusat-pusat kosmik, atau dikenal angker oleh masyarakat sekitarnya.

Pusat-pusat kosmik ini umumnya berada dalam teritori dusun, kampung atau desa. Di sana, terdapat lokasi angker yang dipercaya, katakan saja, memiliki energi supranatural. Ruang-ruang keramat dengan energi yang sangat besar, umumnya menjadi pusat-pusat kosmik utama.

Dalam kepercayaan masyarakat di Nusantara, khususnya di Jawa, puncak-puncak ritual budaya dan keagamaan pada zaman dulu, selain digelar sebagai sebuah bentuk tradisi tertentu, biasanya juga dilokasikan pada sebuah tempat yang dianggap wingit atau keramat.

Ritual-ritual puncak diselenggarakan dalam rangka menjalin hubungan di antara dua entitas tersebut: manusia dengan realitas kesehariannya yang fana dan kekuatan spiritul yang bersemayam di wilayah-wilayah sakral yang abadi.

Zaman beralih dan berkembang, pusat-pusat kosmik sebagai lokasi perjumpaan dua entitas, yang bukan lagi sekadar pertemuan antara manusia dengan memedi di bawah pohon besar—sebagaimana yang mungkin kita pahami di paragraf-paragraf pembuka—telah bergeser. Entitas sakral berikut ruang spasialnya, telah berubah dalam rentang yang panjang di setiap masa, bergantung pergeseran kepercayaan yang dianut masyarakat.

Ruang-ruang sakral atau pusat-pusat kosmik misalnya, beralih dari jagad pegunungan ke pepohonan; dari pepohonan ke sungai; dari sungai ke lautan; dari lautan kembali ke sebuah lokasi di daratan; dari suatu lokasi di daratan beralih ke permukiman; dari permukiman masuk ke rumah-rumah; dari rumah-rumah beralih ke bilik-bilik kamar; dari bilik kamar ke ruang-ruang sakral lain yang lebih longgar seperti ke tempat ibadah, lalu berpindah ke kuburan-kuburan dan begitu seterusnya. Dan urutan ini pun bisa dibalik atau disusun ulang.

Segala bidang geometris yang dianggap sakral, bukan sekadar wingit, baik secara konkret dalam konteks spasial, maupun dalam momen tertentu yang temporal, menjadi lokasi pertemuan yang memberikan motivasi-motivasi berharga bagi manusia agar dirinya terhubung (kembali) dengan alam lain: alam kekekalan yang bersifat spiritual, melalui alam profan seperti gunung dan hutan beserta segala isinya.

Mereka yang datang dari wilayah fana merapal “doa-doa”; dan ruang-ruang sakral menjadi tempat permohonan. Karenanya, manusia mengakumulasi ingatannya, pada ruang kosmik mana saja doa-doa cepat dikabulkan (mustajab) dan menandainya. Pada tradisi-tradisi seperti itulah pusat-pusat kosmik dihadirkan.

Pusat-pusat itu, dari masa ke masa menjadi kosmos-kosmos baru yang diyakini oleh masyarakat Jawa. Hal ini tidak sesederhana seperti dugaan bahwa di Jawa, Islam dipengaruhi oleh agama lokal sebelumnya. Justru, Islam tidak berkonfrontasi secara langsung, melainkan lewat mekanisme afirmasi atas tindakan-tindakan tersebut. Secara perlahan-lahan, terbentuk kosmologi, baik dalam metode teknisnya (budaya) maupun pusat-pusat kosmiknya.

Kedatangan Islam mengubah ruang sakral masyarakat Jawa. Tak lagi terbatas di area pegunungan, goa atau lokasi keramat lain di tanah Jawa, melainkan pusat peradaban Islam seperti di Makkah dan Madinah.

Di Makkah terdapat Kakbah, titik pusat seluruh umat Islam untuk mengarahkan ritual salatnya dari seluruh dunia. Di Madinah terdapat Masjid dan Makam Nabi, lokasi dibaringkannya manusia termulia di bumi. Selain salat, beberapa ritual pokok agama Islam lain seperti haji, berlangsung di dua kota suci Haramain tersebut.

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Jawa terbiasa dengan ritual-ritual bertapa. Ritual ini tak bisa dilakukan di sembarang tempat. Ada tempat-tempat khusus yang dipilih atau yang dianggap memenuhi kriteria lokasi pertapaan, seperti di dalam goa atau di pinggir sungai yang jarang dikunjungi manusia. Di sebuah lereng pegunungan, di ceruk hutan, hingga di bilik kamarnya sendiri yang dikunci rapat-rapat dari dalam.

Tak mengherankan jika di masa kita saat ini, masih dapat dilihat bekas-bekas petilasan para tokoh atau sosok-sosok besar yang pada zaman dahulu melakukan jumenengan di suatu lokasi, meninggalkan jejaknya yang kemudian kita juluki "petilasan".

Petilasan ini dapat berwujud bekas telapak kaki atau tilas tempat duduk berbentuk lempengan batu, atau muncul sebagai lokasi dengan topografi unik, yang diriwayatkan secara turun temurun sebagai petilasan tokoh-tokoh bersejarah.

Dari sekian banyak petilasan, lokasi bertapa dan berdiam yang dianggap fenomenal, tentu saja adalah wilayah-wilayah di sekitar pegunungan. Ada beberapa nama pegunungan yang menjadi lokasi pertapaan tokoh-tokoh tertentu yang dikeramatkan hingga kini. Karena itu, tak heran jika gunung-gunung tersebut dianggap sebagai pusat-pusat kosmik dalam jagad besar dunia Jawa.

Kosmologi Jawa, baik pada zaman Hindu-Buddha maupun pada awal kedatangan Islam di Jawa—menurut Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat—memiliki peranan sentral. Sebab, pusat-pusat kosmik ini bukan hanya diziarahi sebagai lokasi ritual ibadah, melainkan dikunjungi karena alasan ngelmu dalam rangka mencari kedigdayaan, kesaktian, juga untuk mencari legitimasi politik (wahyu) para ningrat keraton Jawa.

Masih menurut Martin, sebagaimana tradisi di zaman Hindu dan Buddha, di zaman Islam, sembari naik haji menjelang pertengahan abad ke-17, raja-raja Jawa juga pernah mencari legitimasi politik ke Makkah. Hal ini juga pernah dilakukan oleh seorang Raja Banten tahun 1630-an yang mengirimkan utusannya ke Makkah, antara lain, untuk mencari pengakuan dan meminta  gelar “Sultan”. Tak terkecuali, rombongan dari Mataram tahun 1641.

Agaknya, raja-raja ini beranggapan bahwa gelar yang diperoleh dari Makkah dapat memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Betapapun sebetulnya di Makkah tak pernah ada Instansi Pemberi Gelar kepada para penguasa. Kenyataannya, rombongan-rombongan ini mendapatkan gelar, sekaligus membawa berbagai hadiah seperti potongan kiswah (kain hitam yang menutupi Kakbah yang diperbarui setiap tahun) yang kala itu diyakini berfungsi sebagai jimat pemberian penguasa Haramain (Martin van Bruinessen, 2015).

Geopolitik

Dari perspektif pengetahuan sosial-budaya, pusat-pusat kosmik di zaman modern juga dapat dihubungkan dengan geopolitik daerah-daerah di masa lampau. Sebab, pada lembah-lembah, gunung-gunung tinggi dan terkenal itu juga berdiri teritorial kuno. Antara teritori satu dengan teritori lainnya, memiliki batas demarkasi seperti pegunungan dan sungai yang masih dapat dilacak hingga kini.

Misalnya, antara Gunung Semeru dan Gunung Kawi terdapat negara Jenggala; di antara Gunung Kelud dan Gunung Wilis terdapat negara Panjalu; di antara Gunung Wilis dan Gunung Lawu terdapat negara Wengker dan Gelang-Gelang; di antara Gunung Lawu dan Gunung Merapi terdapat negara Pajang dan Mataram; di utara Gunung Lawu ada negara Jagaraga; di utara Gunung Arjuna dan Pananggungan ada negara Kahuripan; di sebelah timur Gunung Kawi ada negara Tumapel; dan di timur Gunung Semeru ada negara Wirabumi (Hasan Djafar, 2012).

Orang Jawa memang terkenal dengan ikhtiar meNusantarakan segala yang asing. Zoetmulder, dalam Kalangwan, pernah mencatat betapa sastra Jawa Kuno yang menjadi sumber sejarah kebudayaan di Nusantara. Meski diilhami oleh sastra India, latar belakang karya tersebut selalu menggambarkan keadaan alam Indonesia.

Zoetmulder pernah membahas secara rinci dan mendalam mengenai karya-karya terpenting Jawa kuno. Dalam Kalangwan, pembicaraan mengenai kitab-kitab sastra Jawa kuno diurutkan secara kronologis: sekurangnya ada sekitar 16 kakawin utama antara lain kitab Ramayana, Arjunawiwaha, Baratayudha, Sutasoma serta Nāgara Kṛtāgama dibicarakan dalam ikhtisar-ikhtisar (Achadiati Ikram, 1997).

Misalnya, dalam kakawin Baratayudha. Kakawin yang terdiri atas tujuh ratus sembilan belas pada (bait metrical); di setiap pada-nya terdiri atas empat baris panjang, yang menurut pendapat umum (tahun Jawa), ditulis sekitar tahun 706. Orang Jawa masa kini begitu yakin, bahwa bukan hanya syairnya saja yang ditulis di Jawa, melainkan kejadian atau peristiwanya pun bertempat dan berlangsung di sekitar Jawa dan Madura.

Disebutkan dalam kitab Baratayudha, kota Astina (Hastina Pura) diyakini berada di dekat Pekalongan. Negara milik Derma Wangsa dan Pandawa, yakni Amerta, berada di dekat Jepara. Awangga, berada di dekat Kendal atau Yogyakarta. Pringgadani, negara milik Bima, berada di dekat Pemalang. Negara milik Gatotkaca, Purabaya, berada di dekat Surabaya. Negara milik Salia, Mandaraka, berada di pulau Madura. Sedangkan Diara Wati atau Indoro Wati, negara milik Kresna, terletak di Kota Pati, Jawa Tengah.

Kota-kota tersebut adalah nama-nama negara yang diambil dari deskripsi kakawin Baratayudha dengan identifikasi keletakan (dikosmologikan) berbagai kota di Jawa dan Madura, dan beberapa kota lain yang tak disebut. Namun berkebalikan dengan Baratayudha, cerita Ramayana tidak terlalu dipercaya terjadi di Jawa, tetapi ada keyakinan bahwa setelah kematian Rahwana, Hanuman pergi ke Jawa dan tinggal di daerah Ambarawa, di dekat Semarang. Persisnya di sebuah bukit yang bernama Kendali Sada, yang disebut dalam kakawin Ramayana sebagai lokasi bertapa Hanuman (dalam Raffles, The History of Java, 2008).

Penyunting: Nadya Gadzali