Kasepuhan Ciptagelar termasuk ke dalam Kasepuhan Adat Banten Kidul bersama beberapa kesepuhan lainnya, seperti Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu dan lain sebagainya.

Berada di pedalaman hutan yang termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kasepuhan Ciptagelar menjelma kampung tradisional yang masih mempertahankan adat istiadat.

Keseharian masyarakatnya dilandaskan pada hukum adat. Jika terjadi pelanggaran terhadap aturan itu, maka pelakunya dipercaya akan mengalami kualat atau kabendon.

Pemukiman cantik berlatar pegunungan dan hamparan sawah ini, sudah ada sejak ratusan tahun silam. Nilai-nilai adat yang dianut oleh masyarakat Ciptagelar, patut diapresiasi. Sebab, mereka menganut paham saling menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi nilai gotong royong.

Secara geografis, Kasepuhan Ciptagelar termasuk ke dalam Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Kasepuhan Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan atau berjalan kaki. Terdapat 3 akses untuk menuju ke sana, yakni melalui Hutan Pameungpeuk, Kampung Cipta Rasa, atau Pelabuhan Ratu dengan melewati Kasepuhan Sirnaresmi di Desa Sirnaresmi.

Cara berpakaian masyarakat Ciptagelar terkait dengan etika tertentu, yaitu penggunaan ikat kepala bagi laki-laki, atau kain yang dililitkan di pinggang bagi kaum perempuan. Dari pakaian adat yang dikenakan, tampak bahwa budaya Sunda menjunjung tinggi konsep saling terikat di antara sesama. Setiap tamu yang berkunjung ke daerah ini, wajib mengikuti etika berpakaian adat Ciptagelar tanpa kecuali.

Keistimewaan Budaya Pertanian di Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar menerapkan aturan tertentu sebagai bagian dari ketahanan pangan di wilayahnya, yakni hanya melakukan penanaman padi satu kali dalam setahun. Pasalnya, warga Ciptagelar ingin menjaga kelestarian alam, tidak merusak lingkungan, serta tetap mempertahankan adat istiadat warisan para leluhurnya, termasuk tata cara menanam padi yang tidak luput dari penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai “Dewi Padi”.

Masyarakat Ciptagelar meyakini bahwa Dewi Sri bersemayam di dalam padi setiap satu tahun sekali, sehingga budidaya padi pun mengikuti kepercayaan itu. Kendati dijadwalkan satu tahun sekali, namun tidak ada yang merasa dirugikan atau khawatir kekurangan bahan pangan.

Guna mencegah serangan hama dan penyakit, budidaya tanaman padi dilakukan secara serentak di seluruh areal pesawahan yang ada. Masyarakat Ciptagelar menerapkan sistem pertanian agroekologi, tanpa penggunaan pestisida, serta tidak menganggap hewan tikus sebagai hama yang perlu dibasmi dengan cara dibunuh, melainkan sebagai bagian dari ekosistem sawah yang dapat dicegah dengan menerapkan metode penanaman serentak.

Pertanian di Ciptagelar tidak mengenal penggunaan traktor. Sebaliknya, cangkul masih menjadi andalan para petani untuk menggarap sawah. Kearifan lokal setempat juga menampakkan diri dalam kegiatan pasca-panen. Proses menggiling padi untuk memisahkan gabah dari batang tanaman padi, dilakukan dengan cara ditumbuk menggunakan alat tradisional lesung dan alu.

Selain itu, aturan adat membatasi beras hanya untuk dikonsumsi oleh anggota masyarakatnya saja, atau yang dikenal dengan istilah mupusti pare, bukan migusti pare (artinya: memuliakan padi, tetapi tidak menuhankan padi). Inilah yang membuat hasil panen Ciptagelar tidak diperjualbelikan di luar Kasepuhan.

Sistem irigasi untuk mengairi sawah, dialirkan langsung dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sedangkan waktu yang tepat untuk menanam padi, diperoleh melalui pengamatan terhadap rasi bintang.

Abah Ugi, kepala adat Kasepuhan Ciptagelar, menjelaskan bahwa padi atau beras yang diperoleh dari hasil panen, hanya boleh digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan di internal Ciptagelar. Aturan ini mewujud ke dalam sebuah ungkapan "jika masyarakat Ciptagelar menjual padi, artinya ia telah menjual nyawanya".

Kasepuhan Ciptagelar mendirikan sekitar 8000 leuit atau lumbung padi yang dapat menyimpan pasokan beras untuk seluruh warganya hingga 5 tahun ke depan.

Rangkaian Ritual

Kendati telah menjadi hal yang biasa dilakukan, namun aktivitas pertanian di Ciptagelar tetap mendapat perlakuan istimewa. Serangkaian ritual adat, seperti ngaseuk, sapangjadian pare, sawenan, beberes mager, ngarawunan, mipit, nutu, ngayaran, tutup nyambut dan turun nyambut pun digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas limpahan rezeki berupa hasil pertanian.

Selain sawah, hutan juga memiliki arti penting bagi masyarakat Ciptagelar. Pasalnya, hutanlah yang mengalirkan air untuk lahan pertanian dan memasok energi untuk pembangkit listrik berbasis mikrohidro yang menerangi seluruh kawasan Ciptagelar.

Ngaseuk ialah tahap awal menanam padi yang dimulai dengan memasukkan benih padi ke lubang aseuk. Dianjutkan dengan sapangjadian pare, yaitu memohon izin kepada sang Dewi Padi untuk menanam padi, sekaligus meminta restu dari leluhur dan Sang Pencipta. Ritual ini diadakan satu minggu setelah penanaman padi dengan menyajikan bubur sumsum.

Jika padi telah tumbuh, ritual sawenan segera digelar guna melindungi padi dari serangan hama. Ritual ini ditandai oleh pelaksanaan beberes mager yang dilakukan di ladang milik Kasepuhan pada bulan Muharram.

Ritual selanjutnya ialah ngarawunan setelah padi berumur tiga sampai empat bulan. Dilakukan oleh seluruh incu putu (anak-cucu) warga Kasepuhan dengan memanjatkan doa oleh pamakayaan (juru pertanian).

Menjelang musim panen, ritual mipit yang berarti memanen padi, terlebih dahulu dilakukan secara simbolis oleh Abah. Kemudian, hasil panen ditumbuk pada ritual nutu, yakni kegiatan menumbuk padi oleh sejumlah perempuan sambil bersenandung “pribumi-pribumi menta kejo dingejoan hulu bogo, hulu bogo, hulu bogo geus bilatungan”.

Selepas panen, ngayaran digelar untuk menandai siklus perubahan padi menjadi pangan. Padi hasil panen pertama ditumbuk dan dimasak dua bulan pasca-panen. Tutup nyambut menjadi ritual pamungkas untuk seluruh rangkaian upacara adat pertanian dengan menggelar acara selametan.

Sedangkan turun nyambut, dilakukan setelah upacara seren taun. Prosesi ini menjadi tanda dimulainya masa untuk membajak sawah dan mempersiapkan lahan untuk ditanami kembali.

Seren taun adalah puncak ritual dari seluruh rangkaian upacara adat pertanian, khususnya padi. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tahun dan menjadi daya tarik bagi pengunjung dari luar Kasepuhan untuk datang menyaksikan pelaksanaannya.

Seren taun dimaksudkan untuk menghormati leluhur lewat gelaran kesenian buhun (kuno) khas Kasepuhan Ciptagelar, hingga pementasan kesenian modern yang ditampilkan di hadapan publik.

Rangkaian upacara seren taun dibuka dengan musyawarah antara Abah dan para kokolot (tetua), melibatkan incu putu untuk penentuan pelaksanaan seren taun dan sumber dana dalam serah ponggokan.

Serah ponggokan ialah momentum untuk menentukan besarnya biaya yang ditanggung setiap orang untuk membiayai upacara adat seren taun yang kemudian di serahkan ke Abah. Selanjutnya, Abah dan para kokolot akan berziarah ke makam leluhur.

Masyarakat Ciptagelar biasanya menyembelih dua ekor kerbau pada hari Jumat dan Minggu. Daging kerbau itu akan dihidangkan pada saat pelaksanaan seren taun. Sebelum memasuki ritual pamungkas, masyarakat dan para pengunjung disuguhi pertunjukkan wayang golek yang ditampilkan di depan Imah Gede.

Imah Gede: Ruang Komunal di Kasepuhan Ciptagelar/ Alicha Prima Nurlaili

Sedangkan kerajinan khas Ciptagelar akan diletakkan di padangan atau goah: ruang khusus bagi wanita. Pada puncak acara seren taun, padi dibawa dan diarak oleh seluruh peserta upacara adat, untuk selanjutnya disimpan di dalam lumbung Leuit Si Jimat.

Leuit Si Jimat: Lumbung Tempat Menyimpan Hasil Panen/ Alicha Prima Nurlaili

Aturan adat yang diberlakukan di Kasepuhan Ciptagelar, mampu menciptakan sistem ketahanan pangan guna mencukupi kebutuhan pokok masyarakatnya. Selain bertani padi, masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar juga berladang dan menjual kerajinan tangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Penyunting: Nadya Gadzali