Dibentuk pada tahun 1973, laju zaman tak jua mengikis semangat para seniman yang tergabung dalam Paguyuban Wayang Orang Bharata.

Kendati antusiasme publik tak seriuh di awal kemunculannya, namun ada saja apresiator seni yang menantikan aksi mereka di atas panggung.

Pasalnya, kelompok Wayang Orang Bharata sudah melegenda lewat berbagai pementasan lakon wayang purwa yang diadaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata.

Rama dan Shinta
Rama dan Shinta: Lakon Pertama yang Digelar Secara Virtual oleh Wayang Orang Bharata di Masa Pandemi COVID-19/ Dumaz Artadi

Di masa pandemi, para pelaku seni juga dituntut untuk berkontribusi dalam mencegah penyebaran wabah COVID-19. Tak terkecuali, di dunia seni pertunjukan.

Jika semula dapat disaksikan secara langsung, kini pertunjukan Wayang Orang Bharata hanya dapat disimak melalui penggunaan gawai.

Menyadari keadaan yang serba terbatas itu, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemdikbud) kemudian menginisiasi sejumlah pertunjukan budaya yang digelar secara online.

Salah satunya, pertunjukan wayang orang yang disiarkan secara virtual dari Gedung Wayang Orang Bharata, Jalan Kalilio, Senen, Jakarta Pusat pada hari Sabtu (5/9).

Gladiresik para Penampil Sebelum Melakukan Pertunjukan Daring/ Dumaz Artadi

Kendati digelar di jagat maya, Wayang Orang Bharata tetap menggunakan panggung proscenium sebagai arena pertunjukan. Mereka berupaya untuk tetap eksis meski dihadapkan pada gempuran zaman dan situasi sulit, agar para penggemar kesenian wayang orang dapat terus menumbuhkan kecintaannya pada seni tradisi.

Fragmen "Rama dan Shinta" yang dipentaskan secara daring, bergulir dalam format pengumpulan donasi, menggantikan penjualan tiket. Pasalnya, krisis yang melanda beberapa bulan terakhir, ikut berimbas pada pendapatan para pelaku seni Wayang Orang Bharata.

Salah Satu Adegan dalam Pertunjukan Wayang Orang Bharata yang digelar pada Sabtu (5/9)/ Dumaz Artadi

Berangkat dari sejarahnya, wayang orang atau wayang wong tak terlepas dari prakarsa Sultan Amangkurat I, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1731.

Kendati dikenal sebagai seorang diktator, Amangkurat I nyatanya gandrung pada pementasan wayang kulit dan menginginkan pertunjukan yang lebih dinamis, lebih dari sekedar bayang-bayang yang dibawakan sang dalang di balik bentangan kelir.

Sejak itu, transformasi nilai-nilai budaya pada pementasan wayang orang menjadi lebih kaya. Tak hanya terbatas pada apa yang dituturkan oleh sang dalang, melainkan pada elemen-elemen lain seperti iringan, adegan, tempat pertunjukan dan properti yang turut membentuk citra estetis pertunjukan.

Salah Seorang Penampil Wayang Orang Bharata Melakukan Gerakan Tari di Belakang Panggung/ Dumaz Artadi

Meski tampak berbeda dari sudut pandang audiens, namun bagi pelaku seni, menampilkan sebuah karya artinya mengerahkan segenap kemampuan.

Wayang Orang Bharata merupakan praktik kesenian yang terbilang cukup kompleks. Tampak pada aktivitas di belakang panggung yang tetap gaduh dengan simulasi adegan dan koreografi sejumlah penampil, termasuk merapikan tata rias dan busana yang dikenakan.

Seorang Pria yang Berperan sebagai Yaksadewa Sedang Merapikan Riasan di Wajahnya/ Dumaz Artadi

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sal Murgiyanto dalam “Cakrawala Pertunjukan Budaya: Mengkaji Batas-Batas dan Arti Pertunjukan", bahwa seni pertunjukan adalah sebuah disiplin baru yang mempertemukan ilmu-ilmu seni (musikologi, kajian tari, kajian teater) di satu titik dan antropologi di titik lain dalam satu kajian inter-disiplin (etnomusikologi, etnologi tari dan performance studies).

Salah Seorang Penampil Sebelum Memasuki Arena Pertunjukan/ Dumaz Artadi

Khazanah spiritual Jawa mengenal konsep jagad gumelar dan jagad gumulung (mikrokosmos dan makrokosmos). Beberapa di antaranya, mengejawantah ke dalam lakon pewayangan, seperti yang tersirat pada adegan penculikan Shinta oleh Raja Alengkadireja, Prabu Rahwana yang dikenal memiliki seribu wajah (dasamuka).

Amarah Rama dalam misi menyelamatkan sang istri, Shinta, memicu terjadinya ketidakseimbangan kosmos berupa pertarungan yang terjadi di Alengkadireja antara Rama yang dibantu oleh bala tentara kera Hanoman, dengan pasukan Sang Dasamuka.

Melalui fragmen "Rama dan Shinta", penggubah wiracarita Ramayana agaknya ingin mengajak kita untuk bersikap bijak dalam menghadapi kenyataan yang tak sesuai harapan.

Foto Yaksadewa, Putra Prabu Rahwana yang Dipajang di Dinding Ruang Ganti Para Penampil/ Dumaz Artadi

Dengan kata lain, sang penutur ingin membangkitkan kesadaran lewat konsep mengasah mingising budhi; memasuh malaning bhumi; memayu hayuning bhawono (mengasah luhurnya budi pekerti; membasuh luka bumi; memulihkan dan merawat keindahan alam semesta).

Ketiga gagasan yang tercantum di dalam Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung itu kemudian menampakkan diri ke dalam pentas virtual, sebagai bentuk adaptasi seniman Wayang Orang Bharata dalam merespon situasi pandemi.

Seorang Penampil yang Membawakan Tokoh Arjuna Sedang Merapikan Mahkotanya Sebelum Pertunjukan/ Dumaz Artadi