Kebudayaan sebagai hasil cipta dari perilaku dan pola kehidupan manusia yang terus menerus dilakukan, akan menghasilkan sebuah nilai dan prinsip hidup di suatu wilayah atau daerah tertentu.

Sejatinya, kebudayaan akan melahirkan norma, adat istiadat dan nilai-nilai yang dapat mengarahkan manusia menuju bentuk perilaku yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Hal yang sama juga berlaku dalam proses pelestarian budaya lokal. Keberaturan akan menciptakan manusia yang bertanggung jawab, termasuk warisan budaya leluhur yang senantiasa terus terpelihara.

Seorang anak yang berasal dari pedesaan, mencoba kehidupan baru di perkotaan, tentunya beberapa hal akan dirasakan dan dihadapi oleh anak tersebut. Mulai dari proses adaptasi, hingga fase lahirnya bentuk kebudayaan baru.

Hidup damai dan tenteram dengan beranekaragam latar budaya merupakan cerminan wujud saling menghargai perbedaan, namun jika sebaliknya yang terjadi, maka hal demikian semakin membenarkan eksperimen sosial Zimbardo (dalam Jalaluddin Rakhmat, “Silaturahmi” dalam Reformasi Sufistik: ‘Halaman Akhir’ Fikri Yathir, 1998, hlm. 233) yang ditulis kembali oleh Muhiddin M. Dahlan dalam bukunya Inilah Esai.

Zimbardo memulai eksperimen sosialnya dengan melontarkan sebuah pertanyaan, apa bedanya orang kampung dengan orang  kota?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ia meletakkan mobil mewahnya di pinggir jalan. Ia sengaja menampilkan bahwa seolah-olah mobil tersebut rusak. Sementara itu, mobil dengan merek yang sama ia letakkan di daerah pedesaan.

Kemudian, ia mengamatinya dari jauh keduanya. Hari pertama, sekelompok anak muda mempreteli bagian-bagian mobil yang ditempatkan di kota. Hari selanjutnya mobil tersebut sudah tampak seperti mobil korban kecelakaan. Beberapa orang yang lewat tampak merusak kaca, pintu, jendela dan bagian-bagian lainnya. Pada hari ketiga, mobil tersebut tampak sudah menjadi bahan rongsokan.

Sementara itu, mobil yang ditempatkan di pedesaan tampak masih seperti semula. Selama beberapa hari, tak ada seorang pun yang menyentuhnya melainkan seorang penduduk menutup kap mobil tersebut saat hujan untuk melindungi mesinnya.

Corak kehidupan di perkotaan yang terobsesi dengan laju perkembangan zaman yang pesat, menyebabkan lunturnya unsur-unsur kebudayaan. Begitu pula seorang anak yang berasal dari desa yang memiliki pemahaman budaya yang mapan dan memutuskan untuk pindah ke kota, lambat laun anak tersebut akan terkontaminasi dengan paradigma perkotaan. Bahkan dewasa ini, wajah kota yang sarat kemegahan dan kemeriahan, mulai menghiasi wajah desa.

Beberapa desa di Indonesia yang semula identik dengan pelestarian budaya lokal, ikut diwarnai corak kehidupan di perkotaan. Unsur-unsur budaya lokal yang akrab dengan nuansa mistis dan magis pun perlahan hilang.

Meski demikian, ada pula desa yang masyarakatnya masih memegang teguh komitmen terhadap pelestarian budaya lokal dan masih menganggap adanya kekuatan mistis dan magis pada sebuah ritual.

Kendati di sekelilingnya penuh dengan riak-riak budaya perkotaan, namun desa Allamungeng Patue, Kecamatan Ajangale, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu desa yang setia mempertahankan nilai-nilai leluhur melalui pelestarian budaya lokal.

Adalah tradisi Mappadendang, sebuah upacara syukuran panen sekaligus pergelaran seni tradisional Bugis. Sebuah pertunjukan unik yang terdiri dari nada-nada yang dihasilkan dari kelihaian para pemainnya. Tradisi ini sudah berjalan turun temurun di kalangan masyarakat suku Bugis di wilayah Bone.  

Mappadendang ialah kegiatan mengolah padi menjadi beras dengan cara ditumbuk menggunakan alu’ (semacam tongkat besar yang terbuat dari bambu) di atas lesung, jauh sebelum hadirnya mesin giling padi yang dapat mempermudah proses pengolahan padi menjadi beras.

Selain suku Bugis Bone, ritual Mappadendang juga acapkali dilakukan oleh masyarakat Bugis Pinrang dan Sidrap pasca panen padi. Hal yang berbeda terjadi di Desa Allamungeng Patue, Kabupaten Bone pada Juli 2020 lalu yang menjadi salah satu desa di Kabupaten Bone yang terdapat tugu perjanjian tiga kekuasaan, Bone, Soppeng dan Wajo.

Tradisi Mappadendang yang umumnya dilakukan sebagai rangkaian pesta panen, merupakan bentuk rasa syukur masyarakat Suku Bugis kepada Sang Pencipta atas rezeki berupa hasil panen yang dianugerahkan kepada mereka.

Namun, menurut keterangan tetua kampung dan tokoh masyarakat di Desa Allamungeng Patue, ritual Mappadendang dilaksanakan bukan sebagai bentuk rangkaian pesta panen, melainkan sebagai sebuah respon atas tafsiran mimpi dari salah seorang warga pendatang yang sekarang menetap di desa Allamungeng Patue.

Tradisi Mappadendang terakhir kalinya di Desa Allamungeng Patue, diselenggarakan kurang lebih 20 tahun lalu. Menurut pernyataan tetua kampung yang juga dikenal memiliki kekuatan spiritual atau yang dalam hal ini dijuluki sanro (dukun), setelah ia mendengar mimpi dari seorang warga desa yang mengalami mimpi, ia sendiri juga didatangi oleh sosok di dalam mimpinya dan menyampaikan pesan yang hampir sama.

Warga desa yang mengalami mimpi, menceritakan isi mimpinya di hadapan para tetua kampung, pemuka adat dan masyarakat desa, bahwa apa yang ia alami agaknya bukanlah mimpi.

Ia merasakan dan mendengar dirinya dipanggil saat berada di ruang makan keluarga. Tiba-tiba saja, ia mendengar suara dari seseorang yang memanggil namanya. Kemudian ia keluar dan diajak menunggangi seekor kuda oleh sosok yang ia tidak kenal itu.  

Saat berada di atas kuda, sosok itu mulai bercerita tentang keinginannya untuk melihat sebuah perayaan yang tidak dilakukan di desa tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama. Selain itu, ia juga menceritakan tentang kondisi desa tersebut yang selama ini terjaga dan terhindar dari marabahaya dan bencana.

Sosok itu menyarankan agar segera diselenggarakan sebuah perayaan sebagai bentuk tameng dari marabahaya dan bencana. Kemudian, sosok itu menghilang dan orang yang bermimpi tidak sadarkan diri. Seorang warga desa menemukannya tergeletak di bawah pohon bambu yang berada tidak jauh dari rumahnya.

Kejadian ini tentu mengandung unsur mistis, namun dipercaya memang benar demikian adanya. Pasca kejadian itu, warga desa bergotong royong menyelenggarakan tradisi Mappadendang, mulai dari persiapan alat-alat yang diperlukan seperti alu’, lesung, padi, pakaian adat, sampai persiapan logistik untuk menjamu tamu yang hadir.

Selain itu, penyelenggaraan Mappadendang sebagai salah satu bentuk penolak bala—sebagaimana pesan sosok dalam mimpi (tau panrita)—juga dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tameng terhadap bencana seperti pandemi Covid-19 yang tengah melanda beberapa negara, termasuk Indonesia.

Sebagian masyarakat di era modern mungkin saja tidak percaya akan hal itu, namun berbeda bagi masyarakat pedesaan yang masih meyakini nilai-nilai budaya lokal.

Terdapat beberapa hal yang dapat dipetik sebagai pembelajaran dari tradisi Mappadendang. Pertama, bentuk syukur para petani kepada Sang Pencipta atas limpahan rezeki dalam bentuk hasil panen. Kedua, tradisi Mappadendang dapat membangun solidaritas sosial di antara masyarakat. Ketiga, bagi masyarakat Desa Allamungeng Patue sendiri, tradisi Mappadendang memberikan rasa tenang di tengah kepanikan akibat persebaran virus corona yang sampai saat ini belum ditemukan penawarnya.

Masyarakat pedesaan pada umumnya, masih sangat menghargai nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun. Di desa Allamungeng Patue, ritual Mappadendang yang bernuansa mistis dan magis, berkorelasi erat dengan semangat pelestarian budaya leluhur Suku Bugis.

Penyunting: Nadya Gadzali