Dusun Jatiteken merupakan salah satu sentra kerajinan gamelan di wilayah Mojolaban, Sukoharjo. Kemunculan rumah industri gamelan ini sudah ada sejak tahun 70-an. Meski dikenal sebagai sebuah tradisi, industri gamelan juga menjelma sebuah kompetisi. Sebab, Jatiteken kerap dibandingkan dengan desa Wirun yang melakoni industri serupa.

Kendati telah kehilangan beberapa empu terbaiknya, namun industri gamelan di Desa Jatiteken tetap bergeliat. Mau tak mau, generasi penerusnya memang harus menggiati bisnis ini demi kelangsungan hidup dan kelestarian budaya.

Menarik mundur sejarahnya, keberadaan kelompok pengrajin gamelan ini tak terlepas dari peran empu sekaligus tetuanya, Mbah Reso. Kisah tentang Mbah Reso sebagai empu gamelan Keraton Surakarta, melegenda dengan keahliannya membuat Gong Ageng (Gong Gedhe) dengan ukuran yang tak lazim.

Tradisi ngenger kepada empu gamelan merupakan cikal bakal lahirnya besalen-besalen lainnya. Beberapa empu gamelan seperti Tejo Wiyono, Dasah Pujo Suwarno dan Saleh Utomo, mempelajari pembuatan gamelan dari besalen ke besalen, hingga akhirnya mendirikan rumah usahanya sendiri.

Pasang surut kehidupan para empu dalam merintis usaha gamelan adalah bagian dari kisah hidup dan perjuangan mereka, sekaligus bagian dari sejarah lahirnya desa gamelan. Sebagian dari mereka mampu bertahan, namun ada pula yang lenyap tak bersisa karena keturunannya enggan melanjutkan profesi pandhe gamelan.

Sejak tahun 2000, mulai bermunculan kelompok pengrajin gamelan muda dan cukup konsisten. Tak lain dan tak bukan, beberapa dari mereka adalah para pandai besi yang belajar secara otodidak dari besalen ke besalen. Beberapa kelompok pengrajin gamelan tersebut adalah Agung Kuncoro (Erlangga Gong), Sutarno (Gamelan Sidodadi), Sundoyo (Putro Siswo Laras), Mulyono Trisno, dan Agus Purnomo.

Meguru menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang mau meneteskan keringat dan tenaga di ladang api ini. Dengan kearifan lokal tertentu, para pandai besi menciptakan ribuan logam bernada dengan sedemikian indahnya. Kenyataan yang sangat kontras jika dilihat dari upah para pandai besi yang tak sebanding dengan harganya yang melangit.

Bekerja dikungkung panasnya mowo dan geni, bermandikan awu dan blebak adalah keseharian mereka. Namun, yang patut diapresiasi adalah kerja keras mereka dalam menghasilkan karya yang dikenal oleh dunia.

Bagaimana tradisi pandhé berlangsung?. Secara singkat, meskipun desa ini dekat dengan perkotaan, namun kesadaran untuk memperoleh pendidikan masih terbilang kurang. Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebabnya. Banyak diantara anak-anak mudanya yang hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SMP saja, lantaran banyaknya masyarakat sekitar yang mendirikan besalen. Pada akhirnya, anak muda setempat melanjutkan dan mengikuti pekerjaan orangtua mereka sebagai pengrajin gamelan.

Dilebur, dipanaskan, ditempa dan dikikir, begitulah cara masyarakat menemukan keahlian membuat gamelan berdasarkan kearifan lokal setempat. Cara mereka berpikir, merancang dan menciptakan benda yang kita anggap bernyawa ini, tentu saja tak bisa didapat dari selain pengalaman.

Namun, berkisar sepuluh tahun belakangan ini, arus zaman memaksa masyarakat desa gamelan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Kondisi masyarakat lokal yang mulai tergerus itu, akhirnya menjadi tujuan relokasi masyarakat dari seberang sungai Bengawan Solo.

Sedikit demi sedikit, masyarakat mulai meninggalkan profesi pandhé karena dianggap tak dapat menyokong kehidupan mereka. Munculnya berbagai jenis bantuan pendidikan juga telah meningkatkan standar kehidupan masyarakat desa.

Kehidupan masyarakat yang beragam dan berubah-ubah adalah cerminan dari kebudayaan yang bersifat dinamis. Seperti kata Mbah Dasah bahwa “Urip iku golek urup”, sejatinya manusia hidup untuk mencari terang dan penghidupan. Dimana manusia ada, disitulah kebudayaan lahir.  

Menanamkan rasa cinta dan bangga pada budaya lokal ialah cara yang dianggap ampuh untuk menjaga eksistensi desa gamelan sebagai warisan budaya. Namun, pemenuhan kebutuhan hidup, serta kebutuhan untuk menemukan generasi penerus pandhé merupakan sebuah tantangan tersendiri.

Jika di kemudian hari kesenian gamelan semakin diterima oleh masyarakat, maka tuntutan akan produksi juga akan semakin tinggi. Untuk itu, jika sebagai masyarakat lokal kita tak mampu mendedikasikan diri kita untuk tradisi, siapa lagi yang akan melakukannya?.

Sebagaimana keinginan orangtua agar sang anak mau meneruskan tradisi leluhurnya, maka sejatinya pandhé tak hanya dijalani oleh orang-orang yang sulit mendapatkan pekerjaan, melainkan sebuah dedikasi untuk menjaga warisan budaya leluhur.

Penyunting: Nadya Gadzali