Etnis.id - Pencak silat merupakan bela diri khas Indonesia yang juga mengajarkan budi luhur yang mulia. Bela diri ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda di setiap daerah.

Misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, disebut sebagai pencak—biasanya juga orang-orang Jawa Barat menyebutnya dengan maempok. Di Madura, pulau Bawean dan Bali disebut mancak, di Nusa Tenggara Barat mpaa silak. Dan di Kalimantan Barat disebut bemancek, sedangkan di Minangkabau disebut silek atau gayuang.

Pencak silat sebagai bagian dari beragamnya budaya, ia juga memiliki banyak aliran yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagaimana di Minangkabau, pada umumnya pencak silat disesuaikan dengan nama daerah aliran silek itu berkembang dan penamaan silat diambil dari alam.

Misalnya silek Kumango, silek Lintau, silek Sungai Pati, silek Pangian, silek Sitaralak, silek Sugidiek, silek Harimau, silek Rantau, silek Jantan dan Batino, silek Natal Gajah Dorong, silek Buah Tarok, silek Buaya Lalok, silek Lamo Alif dan sebagainya.

Dari sebagian besar pencak silat yang ada di Minangkabau terlebih Indonesia, yang menjadi perhatian penulis ialah silek Kumango—berhubung yang dibahas ialah silat dari Minangkabau jadi penulis menggunakan kata silek. Silek Kumango berasal dari Kabupaten Tanah Datar, kampung Kumango dan bisa dibilang silek ini sudah cukup tua. Ia berkembang dari lingkungan surau.

Silek Kumango berhasil dikembangkan oleh Syeikh Abdurrahman Al Khalidi atau lebih dikenal dengan nama Syeikh Kumango yang berperan dalam penyebaran tarikat Samaniyah di Minangkabau. Ia juga menjadi guru pertama silek ini. Akhirnya, silek Kumango tumbuh dan berkembang di Nagari—kumpulan desa-desa—Rao-rao.

Syeikh Abdurrahman memiliki dua orang anak yang bernama Ibrahim Panduko Sutan dan Syamsarif Malin Marajo. Lalu kedua anaknya yang selanjutnya mengembangkan silek Kumango—Syamsarif Malin Marajo berhasil menjuarai cabor pencak silat PON II di Jakarta pada tahun 1952, hingga ia membawa harum nama silek Kumango di kancah Nasional untuk Sumatera Barat.

Bagi seseorang yang ingin mengikuti silek ini, harus memenuhi syarat tertentu atau manating syaraik (mengangkat sumpah) yang berisi semiotika bercorak khas silek Kumango. Di antara syarat-syarat itu, meliputi; 1. Lado jo garam (Cabai dan garam), bermakna supaya ilmu yang didapat akan melebihi pedasnya cabai dan asinnya garam; 2. Pisau tumpul, bermakna anggota atau murid yang baru belajar diibaratkan pisau yang tumpul yang akan diasah di tempat latihan agar menjadi tajam; 3. Kain putih atau kain kafan, bermakna mengingat akan kematian; 4. Jarum panjaik jo banang (Jarum penjahit dan benang), bermakna efisiensi dan hemat; 5. Bareh sacupak (Beras 5 liter), bermakna bekal untuk kemandirian pribadi (Isral Saputra, 2011: 73—89).

Simbol kain kafan di salah satu persyaratan masuk silek Kumango, terdapat kemiripan dengan ajaran Buddhis dalam kitab Satipatthana Sutta yang menjadi bahan renungan para biksu. Mereka sadar tubuhnya memiliki kodrat yang sama dengan mayit, tubuhnya tak akan lolos dari nasib yang demikian.

Sistem pelatihan silek Kumango terdiri dari empat tahap. Tahap pertama anak didik diajari cara melangkah dan menangkis serangan, termasuk bagaimana cara melakukan kuncian, sapuan, menjatuhkan dan bagaimana sikap saat terkunci dan sebagainya.

Tahap kedua, anak didik diajari gerakan mengantisipasi jika serangan pertama ditangkis oleh lawan, melepas kuncian dan menyerang balik atau ganti mengunci lawan.

Tahap ketiga, anak didik diajari menangkis sekaligus menyerang atau mengunci. Setelah tahap ke satu sampai tahap ketiga selesai, maka tahap yang keempat ialah tahap pemantapan anak didik dari hasil latihan-latihan sebelumnya.

Di tahap ini, pesilek boleh menggunakan jurus apa saja, namun ia tidak boleh sampai melanggar atau menyimpang dari hukum-hukum dasar. Di tingkatan mahir, pesilek Kumango menggunakan rasa dalam gerakannya, karena seseorang dapat dikatakan sebagai pesilek jika sudah memiliki rasa.

Tandanya, jika gerakannya bisa secara refleks, begitu pun dengan gerakan dan serangan lawan yang dapat dibaca dengan mudah—gerak dalam silek Kumango hampir sama dengan prinsip Dao, tenang seperti air mengalir.

Layaknya silek Minangkabau pada umumnya, silek Kumango juga menggunakan pola langkah nan ampek. Langkah nan ampek dalam silek Kumango disimbolkan sebagai huruf hijaiyah alif, lam, lam, ha, mim, ha, mim dan dal. Pola langkah tersebut membentuk lafaz Allah dan Muhammad.

Konsep nan ampek dalam masyarakat Minangkabau meliputi segala hal—penulis tidak menuliskannya secara keseluruhan—seperti tingkatan untuk mengenal Tuhan; 1. Syariat, 2. Tarikat, 3. Hakikat, 4. Makrifat. Selain dari pada itu, konsep tersebut juga menggambarkan adat yang empat; 1. Adat yang sebenar adat, 2. Adat yang diadatkan, 3. Adat yang teradat, 4. Adat istiadat (Isral Saputra, 2011: 84—90).

Selain langkah nan ampek sebagai simbol yang sangat sufistik, ia juga sangat naturalistik dan metafisik. Ini karena adat yang empat merupakan cerminan alam terkembang jadi guru (alam yang terbentang luas/kosmos yang dijadikan pelajaran).

Adat yang sebenar adat adalah ketentuan yang telah ditetapkan penguasa alam kepada alam semesta, baik itu kepada manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda cair, maupun padat. Setiap bagian dari alam tersebut memiliki esensi masing-masing.

Adat yang diadatkan, adalah adat yang dibuat oleh Datuk Parapatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan berdasarkan contoh pada alam. Ini karena filsafat alam Minangkabau menempatkan manusia sebagai bagian dan sama dengan unsur alam lain. Sehingga karakteristik filsafat naturalistik sangat jelas kentara di sini.

Adat nan teradat adalah aturan yang dibuat berdasarkan hasil musyarawarah mufakat penghulu-penghulu dan ninik-mamak di setiap Nagari. Fungsi peraturan ini untuk melaksanakan aturan dasar adat yang diadatkan. Dan adat ini haruslah
disesuaikan dengan situasi dan kondisi setiap Nagari—adat nan teradat memiliki corak berbeda di setiap Nagari.

Di sana terdapat dimensi metafisik yang tidak dapat dijangkau akal dan alat indra manusia, tetapi ia memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu harus menyesuaikan pada situasi, kondisi, ruang, dan waktu. Maka dari itu, ada pepatah, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.

Kemudian yang terakhir ada adat-istiadat, yaitu aturan yang dibuat untuk menampung bakat dan minat anak Nagari, asalkan pantas dan tertib. Gerak langkah silek Kumango selain menggunakan langkah nan ampek, ia juga menggunakan langkah nan tigo. Langkah nan tigo merupakan representasi pola pikir masyarakat Minangkabau dipengaruhi oleh alam yang sangat filsafati.

Simbol dalam gerak langkah tersebut di antaranya: Alue jo patuik (berpikir menggunakan logika), anggo tanggo (tertib hukum), dan raso pareso (cermat dan teliti). Dalam berpikir, masyarakat Minangkabau selalu memikirkan dampak yang ditimbulkan—berpikir jauh ke depan. Dan setiap kali berbuat, masyarakat Minangkabau cermat dalam bertindak, sehingga mereka tidak menyakiti hati atau perasaan orang lain (Joko S & Reno W., 2013: 42—49).

Silek Kumango telah merangkum ajaran-ajaran filsafat timur. Aspek semiotika dan metafisika tercermin dalam syarat-syarat masuk silek dan pola langkah nan ampek. Dengan demikian, silek ini memiliki ciri yang sangat khas dibanding silek-silek yang lain. Makanya sangat disayangkan jika generasi muda kian asing dengan tradisi
kebudayaan ini.

Editor: Almaliki