Etnis.id - Setelah membaca tulisan Almaliki tentang peran orang Tionghoa bagi kebiasaan berkumpul orang Makassar. Saya teringat pada pengaruh orang Tionghoa bagi nelayan dari Makassar.

Di beberapa catatan sejarah termaktub, bahwa orang Tionghoa sudah sejak lama berinteraksi dengan nelayan-nelayan dari Makassar. Mereka tiba di Makassar ketika Kerajaan Gowa-Tallo masih berkuasa.

Saat itu, Makassar mulai berjaya sebagai kota pelabuhan yang kerap didatangi kapal-kapal dari berbagai penjuru negeri untuk berdagang, termasuk oleh orang-orang Tionghoa.

Yerry Wirawan dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad 17 hingga ke 20’ menampilkan dokumen-dokumen mengenai sejarah datangnya orang Tionghoa ke Makassar. Salah satunya adalah ingatan kolektif orang-orang Tionghoa yang dituliskan menjadi sebuah artikel di koran Pemberita Makassar tahun 1932, oleh Soehonghie.

“...Para pedagang pertama yang tiba di Makassar datang dari provinsi Fujian. Di saat itu pelabuhan ini belum ramai dan belum ada pedagang Eropa. Si penulis menjelaskan bahwa hanya ada sebuah jung (oewangkang) yang datang setiap tahunnya dengan membawa sekitar dua ratus penumpang dan sejumlah besar dari mereka memilih tidak kembali ke Tiongkok,” tulis Yerry dalam bukunya (2013;10). Orang-orang Tionghoa yang tak kembali ke Tiongkok itu, lalu bermukim di daerah pesisir Makassar.

Pada zaman kolinial Belanda, pemukiman di Makassar dibagi berdasarkan asal-usul penduduknya. Shaifuddin Bahrum dalam bukunya ‘Cina Peranakan Makassar’ (2002;31) menyampaikan bahwa orang-orang Tionghoa pada zaman itu, bermukim di sekitar passarstraat (sekarang jalan Nusantara), yang terletak di sebelah utara benteng Fort Rotterdam.

“Passarsrtaat sebagai pusat perdagangan, maka daerah ini juga menjadi pusat aktivitas orang-orang Cina di Makassar yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang.” tulis Shaifuddin (2002;31-32).

Bermukimnya orang-orang Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang ini, tentu mempengaruhi orang-orang asli Makassar. Saat itu, orang-orang Makassar masih sangat bergantung pada hasil alam untuk mendapatkan pundi-pundi penghidupan. Mereka menjual hasil bumi kepada orang Tionghoa.

Lama-kelamaan, kerja sama kian erat terjalin. Apalagi kebudayaan orang Tionghoa yang agak ‘unik’, seperti bahan makanan hingga bahan pengobatan yang mereka dagangkan dan konsumsi, bersumber dari biota-biota laut yang tidak biasa.

Dari kesempatan itu, nelayan-nelayan Makassar memilih menciptakan komoditas dagangan baru sebab adanya kebudayaaan orang Tionghoa, menjadikan biota-biota laut yang sebelumnya tidak memiliki nilai jual di mata orang Makassar, seketika dihargai tinggi.

Seperti kulit penyu, teripang, sirip hiu dan rumput laut, Semuanya menjadi buruan nelayan Bugis-Makassar tiba-tiba. Dalam sejarah orang Makassar, empat hasil laut tersebut sebelumnya tak pernah dimanfaatkan sama sekali.

Orang-orang Tionghoa-lah yang kemudian menunjukkan pada orang Makassar, bahwa hasil bumi tersebut bisa dijadikan obat-obatan dan bahan makanan, sementara kulit penyu dapat menjadi bahan baku dari pelbagai jenis barang.

Menurut Yerry, kulit penyu dalam bahasa Tiongkok disebut daimei. Daimei merupakan barang mewah di Tiongkok sejak dinasti Song dan digunakan sebagai bagian dari mebel, bahan baku terompet, tusuk rambut, ornamen lain di kepala, penghias senjata bahkan pembatas buku dan bahan pengobatan (2013;13-14).

Sebelum kolonial Belanda mengontrol pelabuhan Makassar, menurut Yerry, para pedagang Tionghoa telah menguasai pasar perdagangan kulit penyu. Waktu itu, kulit penyu dikumpulkan oleh masyarakat yang hidup di laut (tu rijene’), yaitu orang Bajau dan orang Bugis yang tinggal tidak jauh dari Pangkajene (2013;14). Kini, perburuan kulit penyu tak lagi dilakukan secara terang-terangan, mengingat penyu kini dilindungi.

Sedangkan sirip hiu, di kebudayaan orang Tionghoa, sering dijadikan sup saat perayaan tahun baru Imlek dan jamuan pernikahan. Sup sirip hiu biasa disebut sup hisit dan dianggap sebagai makanan kelas atas oleh masyarakat Tionghoa. Dalam jurnal berjudul  ‘Dampak Pengolahan dan Konsumsi Sup Sirip Ikan Hiu’ (2019;34), Firda Yusrina menjelaskan bahwa memakan sup sirip ikan hiu sudah menjadi tradisi orang Tionghoa, karena dianggap sebagai simbol kemakmuran, kehoramatan dan nasib baik.

Pada perdagangan sirip ikan hiu, saya tidak menemukan sumber sejarah pasti yang menjelaskan bahwa perdagangan komoditas ini telah lama dilakukan oleh nelayan Makassar dengan pedagang Tionghoa. Hanya saja, pengalaman saya menyaksikan ikan hiu di pelabuhan pelelangan ikan Paotere dan juga laporan Mongabay, menyebut masih banyak pengumpul sirip ikan hiu yang berasal dari Makassar. Itu artinya, aktivitas jual-beli sirip masih dilakukan hingga saat ini.

Ada juga teripang. Ia menjadi makanan yang sering dijumpai pada perayaan Imlek
dan pernikahan orang Tionghoa. Teripang dalam bahasa Tionghoa disebut hai-shen atau haisom. C C Macknight, dalam bukunya berjudul The Voyage To Marege (2017;12), menyampaikan bahwa penggunaan teripang oleh masyarakat Tionghoa belum terlalu tua, karena karya Tionghoa pertama yang menyinggung teripang masih berasal dari abad 16, yaitu Shih-wu pen-tsao, yang isinya membahas tentang berbagai macam zat obat-obatan.

Di awal-awal pencarian teripang, pada zaman kolonial Belanda, nelayan Makassar menggunakan kapal Padewakkang yang masih menggunakan layar (sombala). Ketika itu, nelayan Makassar berlayar sampai ke Marege’ di utara Australia, demi mengumpulkan teripang. Hal itu dijabarkan oleh Macknight berdasarakan penelusuran dokumen sejarah.

Salah satu dokumen penting yang dikumpulkan Macknight adalah kontrak tertulis yang mengatur tentang kerja sama antara pemodal, nahkoda kapal dan para awak kapal. Di dalamnya terlihat bahwa peran orang Tionghoa cukup penting dalam pelayaran pencarian teripang.

“Kelompok pemodal di dalamnya lebih banyak dari saudagar Tionghoa, Melayu dan
Belanda. Pemodal menanggung biaya dalam dua bentuk. Pertama, dia memasok makanan dan barang-barang dasar lainnya selama perjalanan. Kedua, pemodal memberi sejumlah uang panjar kepada nahkoda dan awak perahu,” tulis  Macknight (2017;31-32).

Saat itu, pencarian teripang memakan waktu sampai berbulan-bulan lamanya. Sebab jarak lokasi yang ditempuh cukup jauh dan masih mengandalkan bantuan angin untuk berlayar. Alat bantu pengumpulan teripang pun masih memakai sebuah kayu yang di ujungnya diberi paku untuk menusuk teripang. Sebab saat itu, teripang masih banyak ditemukan di perairan dangkal. Jika teripang sudah banyak, maka langsung dijual kepada orang Tionghoa.

Sekarang, nelayan Makassar yang masih tetap mencari teripang, bermukim di pulau Barrang Lompo. Alat bantu pengumpulan teripang tidak lagi memakai kayu, tetapi sebuah kompressor sebagai alat bantu bernapas saat menyelam di kedalaman 20-30 depa di dasar laut, karena teripang sudah jarang ditemukan di perairan dangkal.

Di bulan Juli tahun 2019, saya sempat berkunjung ke pulau Barrang Lompo untuk mengambil data tugas akhir. Di sana, saya mendapat informasi bahwa nelayan pencari teripang sudah memodali sendiri pelayarannya, walau teripang hasil pencarian tetap dijual ke orang Tionghoa.

Mereka, punggawa-punggawa nelayan Makassar, bahkan memberi pekerjaan bagi orang-orang dari NTT, NTB, Kolaka dan Luwuk Banggai, sebagai penyelam pencari teripang. Walau resiko sebagai penyelam cukup besar; lumpuh dan kematian akibat penggunaan kompressor, tetapi mereka tetap menekuninya karena keuntungan pendapatan yang didapat, cukup besar.

Faktanya, teripang basah dijual dengan harga lima ratus ribu per kilo, sedangkan untuk teripang yang sudah dikeringkan harganya bisa mencapai tiga sampai empat juta per kilo. Jika teripang yang dikumpulkan banyak, satu awak kapal biasanya mendapat jatah bagi hasil sampai puluhan juta.

Begitulah hasil interaksi orang Tionghoa dengan nelayan Makassar. Keahlian orang Makassar sebagai pelaut dan kebutuhan budaya orang Tionghoa pada biota-biota laut, menghasilkan kerja sama yang saling menguntungkan.

Hanya saja, perlu dipikirkan lagi mengenai dampak dari perburuan yang dilakukan terus menerus itu. Firda Yusrina mengatakan (2019;34) jika hiu terus diburu, maka ekosistem laut akan terganggu, sebba hiu menempati posisi sebagai predator teratas di rantai makanan, yang fungsinya untuk mengontrol populasi ikan-ikan di laut. Begitu juga dengan teripang, peneliti LIPI, Ana Setyastuti mengungkapkan kekhawatirannya tentang keberlanjutan beberapa spesies teripang yang terus dieksploitasi.

Pada akhirnya, peran ilmuwan dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan teknologi dan jalan tengah, agar pendapatan nelayan, budaya orang Tionghoa dan keseimbangan ekosistem laut, tetap berjalan dan tidak terganggu.

Editor: Almaliki