Etnis.id - Satu kali, saya pernah ditanya dan tersentak. "Enak menurutmu kopinya Phoenam? Menurutku, tidak enak, buat saya pribadi." Penegasannya pas. Saya jarang memesan kopi di sana. Lebih banyak meminum teh susu.

Soal kopi di Phoenam, secara pribadi menurutku kurang enak. Entah bagi orang lain. Saya beberapa kali ke Phoenam Wahid Hasyim, Jakarta. Rasanya khas, tapi tak cocok di lidah saya.

Phoenam adalah warung kopi yang tenar di Makassar. Di sana ia lahir. Phoe Nham artinya tempat persinggahan. Namanya harum sejak puluhan tahun yang lalu. Yang bikin adalah orang Tionghoa. Di Phoenam Jampea, Makassar, para pejabat sering menggelar diskusi dan kongko bareng sambil ngomong ngalor-ngidul.

Di Phoenam Jakarta juga demikian. Pejabat-pejabat dari Sulawesi Selatan kerap meyambanginya, sekadar untuk saling sapa dengan orang-orang Bugis-Makassar yang jadi tamu di sana.

Duduk di Phoenam Jakarta, dalam satu momen, membuat saya banyak berpikir, melihat sekitar, menyesap teh susu berulang-ulang. Tentang mengapa kita harus gontok-gontokan atas nama etnis, jika mereka membuat satu wadah untuk berkumpul bersama. Tahu sendiri kan, di Jakarta, minoritas dan mayoritas kabur tandanya.

Sebelum membahas menunya, alangkah baiknya kita iyakan lagi, bahwa kita punya problem sejarah dengan etnis di Indonesia. Rasisme cepat menjalar, naik tingkat dari makian lalu persekusi dan nafsu untuk memusnahkan. Ada bibit kekejian, memang, dalam diri kita. Itu yang saya sayangkan.

Di Makassar contohnya, etnis Tionghoa pernah dapat masalah. Orang-orang Makassar mengenalnya dengan momen pengganyangan China. Benar-benar mengerikan. Banyak rumah toko mereka yang dibakar.

Tersiar pula jika ada perkosaan yang terjadi. Tak pandang bulu. Seakan-akan menjadi Tionghoa adalah kesalahan besar di negeri ini. Jika ingin ditelaah informasi dengan lebih jeli dari kasus-kasus lampau, sebenarnya semua murni kriminal.

Sampai hari ini pun, masih banyak informasi yang mendiskreditkan suku atau etnis tertentu jika melakukan kesalahan baik dari kebijakan publik dan lain-lain. Ini tidak adil. Masa iya kasus kriminal harus dilekatkan pada etnisnya? Misal Ahok marah-marah, maka etnisnya begitu yang disalahkan?

Hasil dari konflik sosial seperti itu, pada akhirnnya, membuat orang Tionghoa bersikap sangat tertutup terhadap orang Makassar. Sadar atau tidak, kita harus iyakan.

Tapi jauh sebelum kekerasan budaya itu hadir. Orang-orang Tionghoa sudah menciptakan budaya yang baik di Makassar. Itu yang saya lihat di kedai-kedai yang mereka buat. Bagi orang Makassar, budaya kumpul-kumpul selalu dikedepankan. Beda di Jakarta.

"Selalu ada kedekatan yang saya senangi jika ke Phoenam, Ky," terang seorang kawan yang kutemani ngopi di wilayah Kalibata City, menyambung paragraf pertama di atas. Perbincangan malam itu makin panjang. Kami bercerita apa saja.

Kopi masih saya aduk dan sesap sambil membincangkan orang Makassar. Saya merasakan betul, bagaimana Phoenam mendekatkan kami kepada perantau lain dari Makassar. Phoenam lebih dari kedai, ia medium pemersatu.

Pernah, saya duduk menunggu kawan dari Makassar yang akan tiba di Jakarta untuk mengurus gawean. Tempat yang tepat untuk bertemu memang lebih baik di Phoenam. Di dalam, sudah penuh orang-orang yang berbicara dengan dialek Makassar. Di hadapan mereka ada kopi susu yang berbuih-buih juga asbak-asbak rokok yang hampir penuh puntung.

Saya melihat menunya, ternyata ada juga mi titi (mi kering). Mi titi adalah sebuah merk mi kering yang sudah punya nama di Makassar dan dibuat oleh orang Tionghoa.

Saya memesannya, lalu teh susu yang rasanya memang oke punya. Tidak terlalu manis, namun saat meminumnya, lidah terasa padat dengan lezatnya susu full cream. Tak lupa, saya memesan roti bakar kaya. Selai kaya, aslinya, cuma bisa didapatkan di Makassar. Rasanya manis. Cocok disandingkan dengan teh susu atau kopi susu Phoenam yang berbuih itu.

Kaya tak cuma manis. Selai berwarna cokelat kemerah-merahan, ia juga gurih. Bahan utama pembuatannya adalah telur. Saat mengunyah, ada legit di mulut. Satu gigitan pada roti itu, bikin saya mengingat kota kelahiran saya. Membuatku sejenak melupakan Jakarta.

Untuk roti kaya, terpatri Kabupaten Maros dalam ingatan saya, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Jika keluarga ada yang ke Maros, saya sering meminta buah tangan yakni roti Maros. Rotinya biasa saja kelembutannya, tapi isiannya bikin saya suka yaitu kaya.

Saya sudah mencari rujukan di halaman pencari, soal apakah selai kaya ada juga di tempat lain? Apakah kaya itu bukan asli Makassar? Sayangnya tidak kutemukan. Mungkin kaya juga ada di tempat lain, tapi namanya beda. Mungkin.

Kaya, yang notabene nama merk, memang cuma ada di Makassar. Kaya asli Ujung Pandang jika namanya dicari di laman pencarian. Makanya saya yakin, selai ini memang dari Tanah Daeng.

Menyadari itu semua, Tionghoa jangan cuma dikenal karena kekerasan budaya yang sudah kita lakukan padanya. Kalau begitu, benci bisa makin besar. Patutnya memang kita harus menyukuri kehadiran mereka di tengah-tengah kita, yang membuat hidup ini disesaki warna. Baik budaya dan dagangan mereka.

Saya banyak merenung di sana. Mengenang lagi seorang kawan Tionghoa, yang punya usaha roti di Makassar. Ia baik dan murah hati. Dulunya kami kerap berbincang dan tanya kabar satu sama lain.

Sewaktu bekerja di salah satu surat kabar harian di Makassar, saya meliput usahanya. Senyumnya ramah dalam menjelaskan satu per satu pertanyaanku. Diskusi kami intim.

Sering saya bertanya, kue apa yang baik untuk saya berikan kepada ibu saya. Bukan cuma rasa, tapi harga yang cocok. Ia menyarankan untuk membeli rainbow cake (kue pelangi) di warungnya. Waktu itu, memang ibuku sedang berulang tahun.

Alasannya sederhana, harganya pas di kantong. Rasanya juga legit. Dari hubungan personal itu, jika ada orang Tionghoa yang saya doakan untuk terus bahagia dan tersenyum, maka ia wajib masuk dalam daftar yang saya susun.

Lebih dari kedekatan personalku, kedekatan kesukuan orang Makassar dengan Tionghoa juga sudah terbangun dari lama. Sepak terjang Laksamana Cheng Ho contohnya atau isi Sure' Galigo yang menyebutkan bahwa Sawerigading sampai berlayar jauh sampai ke Tiongkok, demi bertemu dengan calon istrinya, I We Cudai.

Dari kenyataan itu semua, pelan-pelan saya belajar untuk mengenali suku-suku mereka yang mendiami Makassar, yakni Kanton (tukang emas), Hainan (warung kopi), Hokkian dan Hakka/Khe (pedagang) yang menguasai hampir semua jenis usaha.

Saya urai pula, bagaimana sebagian besar dari kita masih terlalu egois untuk membuka diri dan selalu memandang etnis tertentu adalah pembawa petaka. Etnis apapun itu itu, jika mayoritas, berpotensi arogan dengan minoritas.

Yang perlu kita pelajari memang cuma belajar menjadi minoritas dan terpinggirkan. Belajar mengukur kekuataan saat kita lemah. Pikir-pikirlah lebih banyak, bahwa apakah kita masih bisa petantang-petenteng jika minoritas?

Untung saja ada Phoenam di Jakarta. Tempat berkumpul para perantau dari Makassar. Tempat kita melenyapkan sedikit gundah dan memperbanyak rindu pada kampung halaman yang jauh di mata.