Etnis.id - Sesuai dasar kepercayaan, falsafah dan pedoman hidup secara turun-temurun, kedudukan burung perkutut begitu istimewa bagi orang Jawa. Satwa klangenan (kesukaan) yang unik nan eksklusif ini memuat kompeksitas tentang mitos, legenda dan aroma mistis yang menyelimutinya.

Perkutut menjadi simbol status sosial yang tinggi, karena dahulu hanya kalangan terpandang saja―seperti raja dan kaum priyayi―yang memilikinya, sehingga tak sembarang orang memeliharanya.

Sesuai konsep lima wasta, pangkat dan derajat laki-laki Jawa belumlah sukses kalau hanya memiliki istri, kekayaan,kedudukan, kendaraan, namun belum memelihara perkutut. Memelihara burung perkutut juga menuntun sikap seseorang menjadi lebih peka dalam kultur sosialnya dan mengikat tali silaturahmi antarpenggemarnya.

Mustofa W Hasyim dalam Jurnal Pradjnaparamita, 2017, menyebutkan bahwa pada tahun 1960, di Kotagede, Yogyakarta, terbelah menjadi tiga kelompok ideologi, yaitu Islam, Nasionalis, dan Komunis (Nasakom).

Dalam gerakan politik itu, burung perkutut berperan sebagai penyatu para politisi untuk srawung (silaturahmi). Alasannya, para tokoh sama-sama gemar memelihara perkutut. Lantas, sejauh mana pula eksistensi dan pertautan perkutut di dalam budaya masyarakat Jawa dari masa ke masa?

Mitos-mitos perkutut

Konon, kelindan mitos dalam budaya memelihara burung perkutut telah melekat kuat sejak zaman Kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya V. Tradisi itu lalu dicontoh oleh masyarakat Jawa karena terselip timbunan nilai-nilai budaya adiluhung.

Masyarakat Jawa percaya bahwa setiap burung perkutut lokal memiliki katuranggan (watak) masing-masing yang dapat mempengaruhi pemiliknya. Tentang mitos perkutut ini, Jenifer Lindsay, dkk, (1994), menyebutkan bukti dalam budaya dan keyakinan pada keraton Jawa yang termuat pada koleksi literatur Keraton Yogyakarta melalui bait-bait Serat Ngalamating Kutut.

Di dalamnya terejawantah beberapa keunikan ciri fisik burung perkutut. Kerumitan pada setiap ragam ciri fisiknya dipercaya sangat menentukan perbedaan kadar keberuntungan dan kesialan bagi pemiliknya. Jenis perkutut yang dipercaya dapat membawa keberuntungan di antaranya adalah sri pangepel, wisnu citra, wisnu mangenu, kusuma wicitra, pandhita mijil, purnama sidi, sinusuh siti, marcu jiwo, mustikaning paksi, marcu jio, inep gedhong dan gedhong mengo. Sementara pada jenis perkutut yang harus dihindari untuk dipelihara adalah brama sulur, brama lebu, brama kala, brama kakop, durna ngerik dan durna nguwuh.

Ciri mathi (ciri baku) si burung perkutut sangat menentukan tingginya harga jual ketika dipinang oleh pembeli. Di lain sisi, ciri mathi tersebut dipercaya dapat mempengaruhi jalan hidup seseorang dalam berbinis usaha, menjadi tolak bala terhadap gangguan gaib, mampu menangkal penyakit, mempengaruhi keharmonisan rumah tangga, meningkatkan kharismatik pemiliknya hingga memudahkan urusan perjodohan.

Bagi pecinta burung yang betul-betul memahami sisik melik perkutut, mereka bahkan tak segan menggelontorkan ratusan juta dari dalam sakunya demi perkutut idaman. Biasanya, mereka akan menamai perkututnya dengan nama yang khas berdasarkan ciri mathi atau pengalaman mistis yang dialami saat meminang perkutut. Dari pemberian nama terbaik itulah, tecermin seberapa jauh kesungguhan pemilik perkutut dalam mengarungi pengetahuan kearifan luhur ilmu kejawen.

Contohnya begini, seorang menyematkan nama Kyai Kala Cakra, karena ciri mathi pada fisik bulu di lehernya terbalik, sehingga diyakini dapat menangkal bala. Ada pula yang menamai Ki Ageng Bledhek, karena suara kicauannya keras dan panjang.

Bahkan perlakuan istimewa terhadap burung perkutut juga termanifestasikan melalui bentuk corak gambar lukisan pada sangkarnya. Dalam arti ornamen, diidentikkan jejak pengalaman pemilik dengan hal-hal yang tak kasat mata. Seperti mimpi bertemu Bethara Ismaya, lalu pada sangkar perkutut digambari tokoh pewayangan Ismaya atau Semar.

Harmoni alam

Suara burung perkutut juga menjadi cerminan sikap, tatanan, perilaku, dan tuntunan manusia yang beradab Jawa. Seperti filosofi suara kicauan perkutut yang bersuara manggung. Di balik keindahan suaranya, tersirat maksud agar manusia dapat menjalankan kehidupan sosialnya secara bijaksana.

Dari sudut pandang esoterik, dalam dialektika tasawuf budaya Jawa, keindahan suara perkutut mengandung makna ajaran ilahiyah. Ibarat manusia yang sedang berzikir dengan khidmat dan fokus menghadap Sang Pencipta.

Makna konsentratif suara perkutut secara tak langsung mengajarkan bahwa laki-laki Jawa dituntut harus waspada dan bijaksana dalam menjaga tindak tuturnya agar tak menyakiti sesamanya.

Sejalan dengan itu, Hazrat Inayat Khan (2002), seorang tokoh sufi asal India, dalam bukunya berjudul Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, mengungkapkan arti sebuah harmoni, bahwa bila satu makhluk atau benda, betapa pun tak berguna sekalipun, hilang dari semesta keragamannya, ia seolah adalah nada yang hilang dari susunan lagu.

Ditinjau pada ranah estetis, suara burung perkutut menjadi sumber inspirasi yang tertuang melalui manifestasi bentuk susunan gending musikal Jawa berjudul Kutut Manggung. Kepopuleran gending Kutut Manggung menjadi salah satu poros membentuk cengkok atau gaya bernyanyi bagi para pesinden di Jawa untuk mengukir kariernya melalui dunia tarik suara.

Bagi dunia karawitan, gending Kutut Manggung adalah sebuah tolok ukur untuk menilai baik-buruknya kualitas suara pesinden dalam bernyanyi. Gaung keindahan gending itu dapat kita jumpai dalam iringan upacara temanten agung di Keraton Yogyakarta, penyajian uyon-uyon dalam konser karawitan dan pergelaran wayang pakeliran di Surakarta.

Berkaca dari penting dan sakralnya perkutut. Ironisnya, pada zaman sekarang, manusia Jawa banyak yang mulai melupakan falsafah hidupnya. Keluar dari poros sikap arif Jawa sesungguhnya. Kearifan lokal manusia Jawa terhadap katuranggan perkutut perlahan-lahan luntur seiring tergusurnya habitat perkutut.

Kenyataanya, banyak aktivitas ilegal yang dilakukan secara tak beradab. Nasib perkutut kini berada di ujung senapan pemburu. Burung perkutut liar sengaja ditembaki, sehingga populasinya semakin sedikit. Hutan, sawah, gunung dan lahan hijau tempat burung perkutut berkembang biak dialihfungsikan menjadi lahan perindustrian dan perumahan.

Perkembangan zaman dan kebutuhan manusia terhadap teknologi pada akhirnya juga mengubah pola pikir umum masyarakat tentang status ‘kesuksesan’. Pada era serba modern, parameter dan citra kesuksesan laki-laki bukan lagi diukur dengan hadirnya perkutut di rumah lagi.

Bukti orang Jawa mencapai kesuksesan saat ini adalah, jika mereka telah mampu membeli mobil, kendaraan bermotor, ponsel, punya banyak petak tanah dan bisnis properti. Akhirnya orang Jawa semakin seperti kehilangan falsafah leluhurnya.

Olehnya, hendaklah manusia menyadari bahwa burung perkutut adalah bagian dari indikator harmoni kehidupan. Keberadaannya patut kita jaga, bahwasanya ia tak hanya simbol semata, namun menjadi tanda penyeimbang ekosistem alam semesta.

Editor: Almaliki