Etnis.id - Coto Makassar sudah telanjur menghegemoni dan susah dikalahkan eksistensinya dalam jagat kuliner di Indonesia bahkan di dunia. Orang-orang di luar Sulawesi Selatan lebih mengenal coto Makassar dan pallu basa, dibandingkan makanan khas Sulawesi Selatan lainnya.

Saking terkenalnya, Coto Makassar sudah dimodifikasi rasanya dalam kemasan mi instan. Padahal, kuliner Sulawesi Selatan, khususnya yang berasal dari Bugis-Makassar, sangat beragam.

Seperti lawa, yang menurut saya tidak hanya enak, tapi sangat sehat saat dikonsumsi. Lawa berbeda dari coto Makassar ataupun pallu basa. Menurut saya, lawa sangat cocok dengan keadaan geografis Sulawesi Selatan yang dikelilingi laut. Beda jauh dengan coto Makassar yang bahan utamanya adalah daging-dagingan yang kaya akan campuran rempah.

Bahan-bahan pelengkap Lawa juga sangat sederhana dan tidak menggunakan rempah-rempah. Selain itu, ciri khas lawa adalah tidak dimasak dengan menggunakan api. Proses pematangannya dari jeruk (atau bisa diganti dengan cuka) dan kelapa serta bisa ditambahkan dengan sayur-sayuran sesuai selera.

Coto Makassar dan lawa bagaikan kutub utara dan selatan. Jika Coto Makassar memiliki kandungan minyak yang banyak, berlemak dan sangat beraroma rempah, maka lawa hadir sebagai penetralisirnya. Mereka ibaratnya dua hal yang sangat berbeda namun saling melengkapi.

Lawa yang meliliki protein tinggi, sama sekali tidak memiliki kandungan lemak, meski dibuat dengan kelapa, namun fungsi dari kelapa dalam lawa bukan sebagai penambah rasa, melainkan membantu mematangkan ikan dan menetralisir rasa asamnya.

Sebagai orang yang tinggal di pinggir laut, saya dan nenek cukup sering membuat lawa bale (ikan), karena kami bisa dengan mudah mendapatkan ikan segar yang nanti dagingnya akan dimakan mentah-mentah.

Jenis ikan yang bisa dijadikan lawa bervariasi, namun ikan yang paling sering digunakan adalah ikan teri (mairo). Jika menggunakan ikan mentah yang besar, maka harus dipotong kecil-kecil. Setelah itu dibuang tulang-tulangnya, lalu dicampur dengan asam cuka atau perasan jeruk nipis atau kombinasi keduanya.

Setelah itu, diberikan parutan kelapa yang sudah ditumis bersama cabai atau bisa juga parutan kelapa yang disangrai (tanpa minyak). Sesudah ikannya matang, ditambahkan sayur-sayuran.

Beberapa wilayah di Sulawesi Selatan memiliki variasinya masing-masing dalam membuat lawa sekalipun bahan utamanya tentu saja sama. Namun dalam hal penambahan sayuran, bisa sangat berbeda.

Di Palopo terkenal dengan lawa yang sayurnya hanya dari jantung pisang (mentah atau kadang-kadang disiram air panas), dicampur dengan ikan mairo (teri basah) yang juga mentah. Ikan mairo dari laut ini sama sekali tidak menimbulkan aroma amis.

Di kampung saya, di Sinjai, saya terbiasa mengonsumsi lawa tanpa sayuran, hanya ikan dan kelapa. Bagi kami, hidangan lawa yang justru paling disorot adalah ikannya. Sehingga tanpa sayuran, kami bisa merasakan segarnya ikan.

Sementara itu, sayurannya bisa didapatkan dari sayur bening yang dibuat terpisah. Meski demikian, di Pangkep dan Luwu, lawa biasanya didampingi dengan dange yang berasal dari sagu (fungsi dange sebagai pengganti nasi).

Dange dibuat menggunakan cetakan asal tanah liat berbentuk kotak-kotak dan diletakkan di atas tungku panas yang bahan bakarnya berasal dari kayu bakar. Setelah dipanggang, maka akan tampak keabu-abuaan dan butiran-butiran sagunya saling melekat. Itu tandanya dange sudah matang dan siap disantap.

Di Indonesia, lawa banyak miripnya. Seperti di Jawa, lawa laiknya urap atau anyang di Sumatera, yaitu sayur-mayur yang diurapi.  Di Jawa, urap dapat dicampur dengan suwiran ayam–tetapi yang paling sering dimakan dan terkenal, urap selalu murni berasal dari olahan sayur-mayur.

Selain di Jawa, lawa juga memiliki kemiripan dengan makanan lawar di Bali. Lawar di Bali biasanya mencampur pelbagai jenis daging (ayam atau babi dan kulit babi) maupun berbagai jenis protein laut (seperti cumi-cumi lengkap dengan tintanya).

Hidangan lawa ini sebenarnya tidak sulit ditemukan ketika berkunjung ke Makassar,
meskipun tidak semudah menemukan Coto Makassar. Ada beberapa rumah makan yang terkenal memiliki hidangan yang nikmat (bagian ini silakan googling sendiri).

Meski demikian, dengan olahan yang cukup sederhana, harga lawa cenderung lebih mahal dibandingkan coto Makassar yang bahan-bahannya lebih banyak dan proses pembuatannya cukup kompleks.

Siapa saja yang datang ke Makassar, bisa mencoba mencari lawa sekalipun tidak semua orang, dapat menikmati ikan. Itu karena kesan yang didapatkan ketika menyantap lawa berarti memakan ikan mentah. Namun, percayalah, hidangan ini sangat matang dan lezat.

Editor: Almaliki