Etnis.id - Apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar makanan bernama gethuk? rasa asin, asam, pahit, berstektur kasar, berbahan dasar daging atau semacam roti? Bila itu jawabannya, maka Anda salah.

Gethuk berbahan dasar ketela atau dalam bahasa Jawa disebut telo. Meski terbuat dari ketela, gethuk bisa membuat orang rindu ketika sudah lama tidak menyantapnya. Seperti pengakuan dari teman-temanku yang tinggal di Yogyakarta, Solo, Boyolali maupun Semarang. Mereka kerap memintaku membawakannya gethuk sebagai cangkingan atau oleole ketika hendak berkunjung ke kediamannya.

Di Magelang, kemasyhuran gethuk tidak hanya sebatas makanan altenatif penunda lapar, tetapi juga sebuah lagu yang enak untuk didendangkan seperti di bawah ini:

Gethuk asale seko telo
Moto ngantuk, iku tambane opo
Ach, ach.. halah gethuk asalae seko telo
Yen rak pethuk atine rodo gelo

Gethuk asalanya dari ketela
Mata ngantuk itu obatnya apa
Ach, ach.. halah gethuk asalnya dari ketela
Kalo tidak ketemu hatinya agak kecewa

Lagu di atas merupakan plesetan, yang memiliki makna kerinduan kepada orang terkasih dan menjadi sangat familiar di telinga masyarakat Magelang. Semua lapisan umur sering menyanyikannya.

Gethuk dianggap sebagai salah satu makanan khas Magelang. Tak heran jika pemerintah Kota Magelang mengisi acara hari ulang tahun Kota Magelang  dengan nama “Grebeg Gethuk”. Kata "gethuk" dipilih sebagai bungkus perayaan, karena mewakili kekayaan hasil bumi Magelang.

Label gethuk juga dipilih sebagai penegas akan identitas daerah. Grebeg Gethuk diselenggarakan di alun-alun dengan menghadirkan gunungan gethuk berwarna warni yang disusun satu kesatuan menyerupai wujud gunung. Di akhir acara, biasanya gunungan gethuk di-grebeg atau diserbu oleh orang-orang yang datang.

Semuanya untuk mempromosikan gethuk kepada khalayak luas, supaya olahan ketela ini lebih terkenal dan digemari oleh banyak orang Magelang pun yang datang ke Magelang. Dari kepopulerannya, saya penasaran dengan sejarah gethuk. Omong-omong, apa sajakah jenis gethuk yang ada di Magelang?

Asal mula gethuk

Sebelum menjadi makanan kemasan siap jual seperti sekarang, gethuk dulu adalah makanan pengganti nasi, sewaktu masa panen padi hanya dua kali dalam setahun, ditambah ketika terjadi masa sulit tanam dan gagal panen.

Saat itu, beras sulit didapat. Permintaan pasar yang meningkat, membuat harganya melambung. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah mengambil jalan pintas yakni mengganti beras dengan ketela.

Menurut ilmu gizi, posisi nasi bisa diganti ketela yang kaya akan vitamin, protein, lemak, sodium, zat besi, kalsium dan karobohidrat. Dalam perjalanannya, ketela juga dijadikan asupan diet, sebab lebih rendah gula dibanding nasi. Ketela juga banyak dianjurkan untuk dikonsumsi bagi penderita bronkitis dan diabetes.

Masyarakat Magelang yang tinggal di pedesaan tampak akrab dengan ketela jika dilihat di lahan mereka, banyak tumbuh tanaman ketela. Apa pasal? Tanah dan temperatur udara di Magelang mampu menyuburkan ketela.

Produksi ketela berlimpah di sana menyusul gethuk. Untuk mendapatkannya, pembeli tidak usah bingung mencari, karena banyak yang jual di Magelang, seperti di pasar, terminal, tempat wisata atau toko oleole.

Di Magelang, gethuk dihargai Rp5 ribu sampai dengan Rp30 ribu. Yang dalam toko, dihargai Rp25 ribu sampai dengan Rp30 ribu per kardus. Gethuk seharga Rp5 ribu, bisa dibeli di pasar. Konsumen bahkan bisa mendapatkan harga di bawah itu jika memang hanya ingin mengunyah sedikit irisan gethuk. Tinggal ngomong ke pedagangnya, “Buk tumbas gethuke tiga ngewu nggih (Buk, beli gethuknya tiga ribu ya).”

Gethuk masa kini

Seiring bergulirnya waktu, masyarakat semakin kreatif dalam mengolah bentuk gethuk menjadi laiknya bunga atau hewan. Tekstur gethuk yang lunak setelah direbus, mudah untuk dibentuk sesuai selera. Warnanya juga dapat dikombinasi sesuai keinginan.

Membuat gethuk bisa dibilang gampang dan prosesnya tidak makan waktu lama. Pertama, ketelah direbus, kemudian ditumbuk atau dihaluskan, lalu diberi bumbu pemanis dan pewarna, terakhir adalah mencetak gethuk.

Kemudahan inilah yang membuat gethuk cepat berkembang menjadi primadona di Magelang. Sampai muncul beberapa jenis, yakni gethuk godog, gethuk lindri dan gethuk singkong. Semuanya jadi legenda.

Kini, yang populer adalah gethuk eco, gethuk trio dan gethuk marem. Ketiga gethuk tersebut memiliki komposisi warna dasar yang sama yakni putih, cokelat dan merah muda. Pembedanya ada di kemasan.

Para pengusaha gethuk berlomba-lomba mengemas produknya secara baik dengan mempertimbangkan ukuran gethuk serta keaslian rasa. Saking berhati-hati dengan rasa, pedagang biasanya menjual gethuk tanpa bahan pengawet, yang bertahan dua sampai tiga hari.

Dari fakta di atas, julukan makanan merakyat kiranya tepat disematkan pada gethuk. Selain ekonomis, gethuk bisa dikunyah oleh masyarakat segala usia. Ia juga mudah ditenteng dan sangat pas untuk dijadikan suguhan bagi teman ngobrol, apalagi saat musim hujan seperti sekarang. Bayangkan saja, Anda menikmatinya dengan secangkir teh atau kopi pahit yang hangat.

Editor: Almaliki