Etnis.id - Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan kota dengan usia harapan hidup tertinggi di Indonesia yakni rentang usia 76 tahun untuk perempuan dan usia 74 tahun bagi laki-laki. Itu berdasarkan data kependudukan.

Data statistik penduduk usia lansia ini akan terus bertambah sampai tahun 2025. Untuk menyambutnya, pemerintah sedang berupaya mempersiapkan program-program yang ramah bagi para lansia. Hal ini penting, mengingat persebaran orang-orang berusia lansia tidak hanya ada di wilayah pedesaan, melainkan juga di perkotaan.

Dalam kultur Jawa, sapaan yang awam untuk para lansia adalah si mbah lanang (sebutan bagi laki-laki) atau si mbok (sebutan bagi perempuan). Kalau Anda pernah ke Yogyakarta, kamu tentu pernah melihat si mbah-si mbah yang masih kuat berjualan, menyediakan jasa berbayar untuk mengangkut barang belanjaan para pengunjung, hingga ada si mbah lanang masih bergiat sebagai tukang becak/pengemudi delman.

Di pasar-pasar tradisional, ada juga si mbah yang ikut ambil bagian berdagang sesuatu, bila generasi milenial menjual sesuatu yang bersifat praktis. Contohnya seperti apa? Yang paling umum terlihat seperti si mbah wedok yang jualan jamu atau makanan dengan cara menggendong barang dagangan dan menjualnya dengan cara berkeliling.

Pemandangan yang paling menyentuh adalah ketika saya melihat ada si mbok wedok yang usianya sudah di atas 70 tahun, menjual kelapa parut yang diparutkan langsung dengan tangannya.

Perhitungan mengenai sesuatu hal dalam kultur Jawa, seringkali berbeda dengan pandangan masayarakat luar. Secara global, praktik jual-beli melibatkan kehadiran nominal uang, sehingga terbentuk sikap dagang yang merujuk pada untung dan rugi.

Tapi di Yogyakarta, pandangan global ini terkadang melebur dalam praktik keseharian yang lebih bermakna. Segala tindakan tidak dinilai sebagai sebuah kalkulasi materi saja.

Semisal kamu membeli jamu dengan harga enam ribu rupia pada si mbok atau mbah lanang. Kamu tentunya akan mendapatkan pelayanan yang ramah, cerita unik, gaya berpakaian yang khas dan lengkung senyum ketulusan yang megasah perasaan kita.

Dengan mekanisme pemaknaan mata uang khas Yogyakarta ini, semua orang yang berkunjung secara automatis merasakan atmosfer kehidupan yang “memanusiakan manusia”. Hal ini terkadang yang membuat orang sangat merindukan “suasana” khas Yogyakarta.

Ada praktik sosial-organik yang bergerak mengitari hal-hal yang berwujud fisik. Bila kita belanja di pusat perbelanjaan yang ada di kota-kota besar, kita belum tentu mendapatkan hal seperti ini.

Penulis pernah mewawancarai tiga si mbah-mbah yang berjualan irisan buah dengan harga murah di salah satu area kampus. Sebetulnya ada peraturan di kampus yang melarang aktivitas penjualan dari eksternal, tapi entah mengapa mereka diizinkan duduk ngiyup (berteduh) sembari menawarkan dagangannya kepada mahasiswa yang lewat.

Dalam obrolan singkat kami, si mbah wedok menuturkan bahwa ia tinggal di Gunung Kidul, salah satu kabupaten yang berjarak kurang lebih 27 KM dari pusat kota Yogyakarta. Si mbah wedok bisa sampai ke kota dengan estafet naik beberapa angkutan umum. Modal utamanya adalah nekat biar bisa keluar dari Gunung Kidul untuk berdagang dengan keyakinan bahwa buah dagangannya akan habis terjual.

Uniknya, si mbah-mbah tidak menjual dengan cara memaksa. Mereka menawarkan seperti pada umumnya. Bila ada yang merasa bahwa banyak orang membeli hanya karena iba, saya akan meragukannya. Sebab selain etos beramah-tamah dalam berdagang, kualitas panganan yang dijual berkualitas baik.

Ketika ditanya si mbah-mbah tinggal di mana, dengan polosnya mereka mengatakan, menumpang di bilik-bilik pasar. Nanti ada saja masyarakat yang mempersilakan, membantu makanan dan minuman, ataupun memberi tambahan sangu (bekal) untuk melanjutkan perjalanan. Ketika di perkotaan (Yogya), si mbah memilih berkeliling mengitari kota dengan berjalan kaki.

Berdagang seringkali dinilai sebagai usaha untuk mendapatkan uang secara lebih cepat. Kemampuan dasar yang dimiliki adalah sikap optimisme menawarkan dagangan kepada calon pembeli. Bagi si mbah, yang dikejar bukan keuntungan setinggi-tingginya.

Ada satu si mbok wedok yang menuturkan bahwa semangat besarnya dalam berdagang adalah untuk tetap bergerak, bertatap muka dan berinteraksi dengan pembeli, saling menyapa kepada sesama penjual.

Aktivitas ini yang mendorong mereka untuk tetap bertahan hidup dan saling menguatkan secara spiritual. Meski kadang tidak peduli seberapa pun hasil yang didapatkan dari berdagang, prinsip utamanya adalah tetap bersyukur kepada Gusti.

Wajar bila mengingat ada banyak orang yang masih menganggap para lansia sebagai “makhluk yang tidak berdaya” sehingga selaiknya menikmati masa pensiun dengan duduk manis di beranda rumah. Sayangnya, anggapan itu bukan menjadi pilihan yang tepat bagi si mbah-mbah di Yogyakarta.

Berbeda dengan kultur perkotaan yang sangat interaktif dan memberikan ruang bagi si mbah-mbah untuk berekspresi tanpa memandang para lansia sebagai pesaingnya. Laku praktik ini menunjukkan kondisi masayarakat yang terbuka dalam memandang para lansia sebagai “subyek yang berdaya” dengan segenap perjuangan yang dilakukan untuk tetap bertahan hidup.

Sementara, para lansia di perdesaan tetap giat berjalan kaki dan menggarap areal kebun atau sawah. Ajaibnya, dengan kondisi tubuh yang kendur, kekuatan mereka masih mampu untuk menggendong rumput, bersepeda dengan membawa hasil kebun, membawa bambu di atas kepala dan membawa sekumpulan ranting kayu yang digunakan untuk kayu bakar.

Pemandangan ini awam terlihat di Gunung Kidul, Bantul dan sekitarnya. Pekerjaan tersebut berbeda dengan yang dilakukan para lansia di perkotaan, sehingga kabar baiknya adalah tubuh lansia di pedesaan menjadi semakin sehat dan kuat.

Secara sosial, gap generasi membuat lansia dengan generasi kiwari seringkali tidak nyambung. Akibatnya, para lansia tidak mengalami proses interaksi yang aktif lagi. Pengalaman mereka cenderung jarang didengar, sebab berisi kisah lawas dan terkesan diulang-ulang, tidak ada unsur kebaruan, sehingga menyebabkan si pendengar bosan.

Hal itu diperparah dengan kehadiran gawai yang juga mempengaruhi kemampuan mendengarkan orang lain yang semakin minimalis. Sehingga, lahirlah konsekuensi berupa rasa kesepiannya para lansia dan kerinduan terhadap “suasana” yang seperti pada masanya. Mungkin ini menjadi tantangan bersama untuk menemukan mekanisme yang baik supaya kebutuhan berkomunikasi tetap terpenuhi dengan tetua atawa lansia.

Omong-omong, sudahkan kita memperhatikan para lansia di sekitar kita? Semoga mereka senantiasa sehat dan bahagia selalu.

Editor: Almaliki