Etnis.id - Pageblug korona diprediksi belum rampung hingga Lebaran usai. Tahun ini, perayaan Lebaran yang lekat dengan tradisi mudik dan halalbihalal di kampung halaman, bakal terganggu.
Guna mencegah penyebaran “musuh” tak kasat mata itu kian meluas, pemerintah pusat mengimbau perantau agar mengurungkan niat mudik. Bagi pemerintah lokal yang daerahnya menjadi tujuan rombongan pemudik, juga mengantisipasi.
Di Kota Solo, misalnya, lembaga plat merah menyiapkan tiga tempat luas untuk karantina pemudik. Daerah sekitar Yogyakarta dan Surakarta, sedari pasca kemerdekaan, merupakan tujuan utama perantau yang bekerja di ibukota Jakarta.
Namun sebelum Indonesia merdeka, kedua tempat ini diserbu kalangan wong cilik dari pedesaan. Kota Gudeg dan Kota Bengawan kala itu sebagai pusat pemerintahan tradisional, memberi harapan bagi wong ndesa untuk berkeliaran.
Saban Lebaran tiba, mereka juga pulang kampung, kumpul keluarga. Dilihat dari optik sejarah, tradisi mudik di vorstenlanden (daerah kekuasaan kerajaan) pernah terganggu oleh peristiwa pageblug yang berkepanjangan.
Petaka bermula tatkala petinggi Hindia Belanda menjalankan politik impor beras dari Birma pada dasawarsa pertama abad XX, akibat musim paceklik dan menysutnya persawahan dikarenakan ditanami komoditas perkebunan.
Beras ditumpangkan kapal, diturunkan ke pelabuhan menuju stasiun kereta api. Celakanya, berkarung-karung beras dikuntit tikus, binatang pengusung penyakit pes. Periode itu, diketahui jenis pes bubo dan pes paru-paru. Korbannya biasanya ditandai demam tinggi, muntah-muntah, kesadaran menurun, serta kondisi badan melemah.
Laiknya virus corona yang diam-diam menyusup ke banyak negara, penyakit pes menyebar secara bertahap di Hindia Belanda. Dimulai tahun 1910, menyasar mulut pelabuhan Surabaya, lantas menjalar ke Malang, Kediri, Madiun, Surakarta, serta Yogyakarta.
Tikus betah berdiam di rumah penduduk miskin. Gerombolan hewan menyebalkan itu nangkring di sekitar genting rumah dan sembunyi di sela bambu atau gedhek. Bahkan, mereka membuat sarang di kolong tempat tidur serta lemari. Lokasi lainnya bak surga bagi tikus adalah lumbung padi. Di sini, cukup banyak makanan dan kelembapan udara dibutuhkan untuk berkembang biak (Restu Gunawan, 2005).
Hari bersalin pekan, bulan berganti tahun. Jumlah korban bertumbangan gara-gara pes. Tahun 1924, di Soloraya angka kematian akibat penyakit ini mencapai 4.482 jiwa. Setahun kemudian, korban bertambah menjadi 5.145 jiwa.
Bisa dibayangkan betapa kondisi vorstenlanden mencekam detik itu. Pekerja informal yang rata-rata kaum perantau, juga kelimpungan dan dilematis. Hidup di kota tiada harapan, sedangkan jika nekad mudik, pes telah mengamuk di desa.
Lebih dilematis. Interaksi sosial lintas pedesaan terhambat. Pasalnya, mulut kampung dijaga ketat agar tidak dimasuki korban pes dari desa lain. Penduduk diminta mengisolasi diri oleh petinggi istana yang berkolaburasi dengan pembesar kolonial Belanda. Para korban pes dikarantina.
Dalam arsip memory van overgave Residen Harllof, tercatat terdapat sekitar 1.200 rumah penduduk dikosongkan dan penghuninya diminta mencari perlindungan ke barak yang telah disediakan pemerintah atau menumpang di rumah yang kiranya tidak terjamah pes.
Di samping itu, di kota didirikan laboratorium pemeriksaan tikus. Jalan lain yang ditempuh, ialah perbaikan rumah berdinding anyaman bambu diganti papan kayu. Mereka yang tetap mudik bisa bergabung dengan tetangga untuk gotong royong merenovasi tempat tinggal supaya tidak didiami tikus.
Detik ini, bertahan di kota tanpa kepastian dan perut lapar, akhirnya mereka memutuskan lebih baik angkat kaki dari rantau. Selain nasib pahit, dimensi spiritual Jawa juga menggerakkan hati untuk mudik seraya nyadran bertepatan dengan bulan Ruwah.
Sedari lahir, keluar daera diasuh dalam kebudayaan Jawa pinggiran, naluri orang desa ajeg dirawatnya kendati bertahun-tahun mengembara di kota. Di titik inilah, memori kolektif kehidupan desa disegarkan.
Teringat masyarakat Jawa di masa silam secara serentak pernah ditikam pageblug dan paceklik. Suasana mencekam itu terlukis dalam ungkapan getir: “esok lara, sore mati”. Saya merekam tuturan lisan simbah saya tentang fenomena pageblug dan larang pangan tahun 1960an yang menimpa penduduk Gambirmanis, Wonogiri, sisi timur Gunung Kidul.
Bukan hanya menderita sakit, bahan makanan juga ludes lantaran tanaman di pategalan disapu bersih oleh tikus berwarna putih. Hidup tambah nelangsa, sebab orang sekitar disertai isak tangis “menjual” bayinya ke warga yang bercokol di kecamatan yang bebas pageblug. Harapannya, supaya perut anak itu terganjal makanan dan terselamatkan nyawanya.
Pageblug mencuatkan nama “penunggu” laut dan lampor yang dianggapnya sebagai sumber malapetaka. Selain ditangani dengan upaya medis dari pemerintah, penduduk lokal bersama paranporo (tetua kampung) yang melestarikan alam pemikiran Jawa, tak lupa menyambangi pepunden.
Maklum, kepercayaan klasik belum sepenuhnya lenyap di alam pedesaan, walau telah terjadi islamisasi berabad silam. Berbekal ubarampe, mereka berkumpul dan memohon kepada Sang Penulis Skenario Kehidupan untuk menjaga keseimbangan jagad cilik dan jagad gedhe. Intinya, menyingkirkan pageblug dan penderitaan masyarakat agar dunia tidak guncang.
Bulan Ruwah tahun ini mereka mudik seraya mendoakan pepunden di kuburan, astana, atau pasarean ini tentunya dipandang istimewa. Hal ini tidak bisa dianggap klenik atau musyrik. Ketika hati dililit kecemasan dan kebingungan akibat hantaman virus korona dan masa depan kian tak pasti, unsur spiritual Jawa menguatkan sisi rohani manusia.
Kita sadar, dalam situasi ini jiwa-jiwa gampang letih atau mental mengalami keguncangan hebat. Demi kebaikan bersama, perantau setelah mudik mestinya menjalankan karantina atau isolasi mandiri di rumah masing-masing.
Memastikan bahwa dirinya sepulang dari perantauan tidak membawa “oleh-oleh” virus yang tak kelihatan itu. Dilambari rasa kemanusiaan, tetangga di kampung dengan tangan terbuka juga menerima pemudik, bukan malah menolak kedatangannya.
Memang ini dilematis. Gotong royong dan solidaritas yang dilambari rasa kemanusiaan merupakan resep jitu untuk bertahan dari pageblug. Semoga corona lekas menyingkir.
Editor: Almaliki