Etnis.id - Bila umumnya perayaan ulang tahun diperingati setiap setahun sekali, masyarakat Bali yang beragama Hindu merayakan ultah setiap enam bulan sekali yang dinamai Otonan. Upacara ini digelar mengikuti perhitungan dalam kalender Bali.
Otonan diperingati seseorang yang beragama Hindu setiap 210 hari atau 6 bulan sekali. Perhitungan ini mengikuti dasar perhitungan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku dalam kalender Saka atau kalender Bali. Mirip dengan perhitungan weton di Jawa.
Setiap orang memiliki hari kelahiran yang berbeda-beda, makanya pada perhitungan penetapan hari Otonan, tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Jika begitu, individu yang merayakan Otonan diyakini akan mengalami hal buruk.
Menurut Kitab Suci Bhagavata Purana, Bhagavadgita serta Sarasamuscaya, kelahiran dan kehadiran manusia di dunia merupakan sebuah keuntungan dan kebahagiaan. Saat seseorang lahir, dipercaya bahwa manusia telah diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri hingga menyucikan diri.
Perwujudannya dipercaya sebagai karma baik dan karma buruk dari kehidupan yang sebelumnya. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaan mengenai reinkarnasi. Dengan menjelma sebagai manusia, seseorang dapat menolong dirinya sendiri dari kesulitan melalu perbuatan baik dan bijaksana agar terhindar dari sengsara.
Jika dalam ulang tahun biasanya dirayakan dengan tiup lilin, Otonan dirayakan dengan berbagai rangkaian ritual dan persembahan yang memiliki makna dan filosofi. Ini yang membuat masyarakat Bali lebih memilih Otonan, dibandingkan ultah pada umumnya.
Meski begitu, orang Bali boleh-boleh saja tetap merayakan ulang tahun sesuai dengan kalender Masehi. Sebab kembali lagi pada kemampuan dan keinginan masing-masing individu.
Dalam Hindu, terdapat lima upacara yang disebut Panca Yadnya. Dalam Panca Yadnya, umat memberi persembahan dengan tulus kepada Tuhan, leluhur, guru dan sosok-sosok lainnya.
Bila diurutkan, seseorang akan melewati berbagai runtutan upacara dimulai dari Megedong-dedongan yang dilaksanakan saat seseorang masih berada di dalam kandungan ibunya.
Kemudian setelah lahir ada upacara Kepus Puser, pada umur 42 hari menjalankan tradisi Tutug Kambuhan, lalu pada usia 105 hari atau 3 bulan menjalankan upacara Nyambutin.
Saat bayi berusia 105 hari, seluruh panca indra bayi dinilai sudah aktif dan organ tubuh sudah berkembang sempurna. Hal ini diyakini dapat membawa dampak positif atau dampak negatif pada bayi, maka dari itulah perlu diadakan upacara.
Nah, kemudian pada hari yang ke 210, ia akan merayakan Otonan. Setelah memasuki masa remaja, seseorang akan menjalani upacara Ngraja Singa, kemudian menjalani upacara potong gigi atau Metatah dan menjalankan Wiwaha atau pernikahan.
Perayaan Otonan yang pertama biasanya dirayakan secara besar-besaran sebagai bentuk perayaan hadirnya anggota baru dalam keluarga. Saat itu juga dilaksanakan prosesi pemotongan rambut.
Pemotongan rambut hanya dilakukan satu kali sepanjang hidup, yaitu pada Otonan yang pertama. Selain itu, kemeriahan perayaan Otonan dilaksanakan besar-besaran bila hari Otonan bertepatan dengan bulan purnama.
Otonan merupakan salah satu bentuk upacara untuk membersihkan individu atau penyucian dari segala mala yang dibawa sejak berada dalam kandungan sang ibu, yang dipengaruhi oleh Sang Catur Sanak. Melalui Otonan, manusia juga mengucap syukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan dan kehidupan yang diberikan.
Dalam pelaksanaannya, besaran upacara mengikuti pada kemampuan masing-masing keluarga atau individu. Yang penting, nilai-nilai sakral dalam Otonan tetap dilaksanakan saat prosesi.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan turut menghadiri perayaan dan jalannya upacara Otonan Ni Made Yuni, 19, yang berasal dari Klungkung, Bali. Saat mempersiapkan berbagai persembahan atau banten, ia dibantu oleh ibunya, kemudian saat menjalani prosesi dilaksanakan oleh sang nenek.
Upacara Otonan berlangsung di rumah Yuni, begitu namanya kerap disapa. Bersama nenek buyutnya, Yuni dan keluarganya menjalankan Otonan. Saat menjalankan upacara, Yuni pakai baju adat Bali berupa kebaya, kamen dan selendang yang diikatkan di pinggang. Telinga kanan kirinya dihiasi bunga dan terdapat bije atau beras yang ditempelkan pada dahi.
Proses melakukan Otonan dimulai dari mebanten atau memberikan sesaji, kemudian dilanjutkan dengan mebanten biakala dengan memecahkan telur dan melakukan natab pras pengambean yang dilanjutkan bersembahyang.
Setelah serangkaian prosesi itu dilewati, barulah inti dari Otonan dilaksanakan dengan cara menekan banten persembahan tiga kali, kemudian merobek banten, lalu memakan nasi yang disebut “tulungurip”. Banten-banten yang sudah dipersembahkan kemudian dilebur atau diletakkan di atas tempat terkuburnya ari-ari individu yang merayakan Otonan.
Selama Otonan berlangsung, individu yang merayakan juga diingatkan untuk selalu hormat kepada orang tua, kakek nenek, buyut, keluarga hingga pada leluhurnya. Mereka percaya, bahwa besar kecilnya perayaan Otonan tidaklah penting, namun yang paling penting adalah penanaman nilai-nilai kebaikan dalam hidup.
Pada usia remaja, Otonan penting untuk dijalankan karena mereka merasa, bahwa saat remaja pengaruh buruk lebih mudah masuk ke dalam hidup seseorang. Melalui Otonan, seseorang diingatkan kembali pada nilai-nilai kebaikan dan kembali disucikan melalui serangkaian upacara.
Selain memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan karena bisa menjelma menjadi manusia, individu yang merayakan akan memohon keselamatan dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan di dunia dengan serangkaian banten yang memiliki makna dan simbol kesucian.
Melalui Otonan, diharapkan seseorang dapat berubah menjadi lebih baik dengan menanggalkan sikap-sikap buruk dan menjalankan hidup dengan penuh kesantunan serta bijaksana kepada keluarga, saudara hingga masyarakat sekitar.
Dalam menjalankan upacara Otonan yang sederhana, terdapat beberapa sarana perlengkapan upacara yang harus disiapkan yaitu mulai dari banten pejati, dapetan sebagai wujud syukur, sesayut pawetuan, segehan yang dapat diisi kue dan canang sari lengkap dengan dupa yang harum.
Tidak lupa, saat Otonan terdapat pemasangan gelang berwarna putih yang didoakan dan diikatkan di tangan. Secara simbolis benang ini memuat makna agar individu yang merayakan otonan senantiasa berada di jalan yang lurus seperti benang yang lurus. Benang dinilai lentur dan tidak mudah putus, sehingga individu diharapkan dapat memiliki hati yang lentur dan semangat yang kuat.
Pelaksanaan Otonan dilakukan seumur hidup. Tak heran, orang dewasa dan para lansia di Bali juga masih melaksanakan Otonan. Mungkin bagi orang awam hal tersebut akan memberatkan, karena berbagai sarana upacara yang harus disediakan setiap enam bulan sekali, tetapi nyatanya tidak.
Orang Bali merasa bahwa Otonan merupakan ungkapan rasa syukur dari segala hal yang boleh mereka terima di dunia. Hal inilah yang membuat Otonan menjadi prioritas dibandingkan ulang tahun biasa.
Editor: Almaliki