Etnis.id - Bagi masyarakat Tulungagung dan sekitarnya, lodho merupakan salah satu makanan yang cukup mahsyur. Selain rasanya yang lezat, lodho juga merupakan makanan yang sarat akan makna. Makanan ini terbuat dari ayam yang bercita rasa pedas gurih.

Sekilas, ayam lodho mirip dengan opor. Namun, perbedaan yang mencolok adalah kuah santannya yang kental, dengan aksen pedas cabai serta aroma bakar yang wangi.  Bahan utama dari ayam lodho ini adalah ayam kampung. Meski sekarang tidak jarang ditemukan lodho dari ayam boiler, namun ayam kampung masih menjadi pilihan utama untuk memasak lodho.

Ayam kampung dipilih karena selain teksturnya yang lebih padat dan rasanya yang lebih gurih, juga mempunyai kandungan gizi yang lebih tinggi. Selain itu, kadar lemak yang terdapat di ayam kampung juga lebih sedikit dibanding dengan ayam boiler. Terakhir dan yang paling penting, ayam kampung relatif terbebas dari zat kimia, sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi.

Sebelum dimasak, ayam kampung dibelah di bagian dada ke bawah dan dibentangkan hingga terbuka lebar. Biasanya digunakan gapit yang terbuat dari bambu untuk menjaga agar ayam tetap terbuka. Setelah itu, ayam dipanggang hingga berubah warna.

Untuk menambah cita rasa gurih, sebelum dibakar, ayam dilumuri dengan garam. Setelah setengah matang, ayam lodho kemudian dimasak dengan bumbu khas Nusantara, seperti ketumbar, merica, cabai, daun salam, daun jeruk, kunyit, santan dan sebagainya.

Dengan cara memasak yang khas, ayam kampung tersebut berubah menjadi makanan yang sangat lezat. Ayam lodho tidak dimakan sendiri, sego gurih (nasi uduk) dan kulupan (urap) wajib hadir sebagai pelengkap sajian ayam lodho. Kelengkapan sajian makanan ini biasa disebut dengan lodho sego gurih.

Lodho sego gurih secara spesifik

Lodho sego gurih nyatanya bukan semata-mata kuliner pengganjal perut. Makanan ini adalah makanan yang sarat makna dan merupakan salah satu instrumen yang harus ada dalam pelbagai ritual adat Jawa, termasuk slametan (selamatan).

Dalam slametan, makanan ini menjadi umborampe (kelengkapan) primer.
Keberadaan olahan ayam dalam berbagai ritual adat Jawa mengisyaratkan kedekatan kultural manusia Jawa dengan ayam. Bila dilihat secara umum, ayam adalah hewan yang paling dekat dengan manusia. Ayam cukup mudah dipelihara dan bisa menjadi sumber pendapatan dan sarana pemenuhan gizi.

Penggunaan ayam dalam ritual juga menegaskan harapan bagi manusia Jawa, agar dapat meniru sikap ayam. Baginya, ayam memiliki sifat-sifat baik seperti memilih makanan yang terbaik, tidak rakus dengan melahap apapun yang ada di depannya.

Itu adalah doa agar manusia mampu memilih apa saja yang terbaik dalam kehidupannya. Ayam kampung bisa mencari makan sendiri tanpa harus disuguhi. Ini merupakan simbol dan harapan agar masyarakat Jawa bisa mandiri dalam kehidupan. Ayam juga merupakan wujud rasa syukur atas kenikmatan yang didapat manusia dari Tuhan Yang Maha Esa.

Telah dijelasi bahwa salah satu instrumen dalam lodho sego gurih adalah urap. Urap terdiri dari bermacam sayuran yang dibumbui parutan kelapa dan campuran bumbu lainnya. Hanya sayur tertentu saja yang dapat dijadikan sebagai bahan membuat urap.

Beberapa sayuran tersebut antara lain kangkung, bayam, kacang panjang dan tauge. Sayuran ini punya maknanya masing-masing. Kangkung berarti jinangkung yang bermakna melindungi, bayam berarti ayem tentrem, tauge berarti tumbuh dan kacang panjang bermakna pikiran yang jauh ke depan.

Selain dari segi makna, bila ditinjau dari kacamata gizi, urap juga sangat kaya akan nutrisi. Menurut riset dari Kementerian Kesehatan RI, dalam 100 gram urap, terdapat kandungan energi sebesar 84 kkl, protein sebesar 2,76 gr, lemak sebesar 3,42 gr, karbohidrat sebesar 12,06 gr, kalsium sebesar 102 mg, fosfor 140 mg, zat besi 1,79, vitamin A 1923 UI, vitamin B1 0,06 mg, dan kandungan vitamin C 31
mg. Sehingga bisa disimpulkan bahwa urap, selain padat akan makna, juga sehat untuk dinikmati.

Sementara elemen lain dalam lodho sego gurih adalah sego gurih itu sendiri. Sego gurih adalah nasi yang dimasak dengan campuran santan dan garam, sehingga nasi ini terasa gurih. Nama lain dari nasi ini adalah nasi wuduk.

Dalam slametan, lodho sego gurih juga disebut sekul suci ulam sar yang berarti nasi suci dan lauk inti. Dulunya, hanya wanita yang suci, yang sudah tidak mengalami menstruasi (menopouse) yang diizinkan untuk memasak sekul suci ulam sari untuk kepentingan ritual. Namun saat ini, sudah terjadi pergeseran-pergeseran yang memungkinkan bagi siapa saja untuk memasaknya.

Makna yang terkandung dalam makanan ini dapat kita lihat dalam ujub yang dilantunkan dalam prosesi slametan. Ujub adalah doa berbahasa Jawa yang dituturkan untuk menyampaikan maksud dan tujuan sebuah upacara adat, serta mengungkapkan kepada siapa persembahan makanan dalam slametan itu ditujukan.

Bahasa yang dipakai dalam ujub merupakan bahasa vernakular atau bahasa khusus yang dimiliki oleh komunitas tertentu dan berkontras dengan bahasa resmi. Bahasa ujub menggunakan bahasa Jawa tinggi dan karena sifatnya yang sangat sakral, maka bahasa ujub cenderung statis dan tidak boleh diubah-ubah. Sebab statisnya, bahasa ujub masuk dalam ragam frozen language.

Dalam prosesi slametan, potongan ujub untuk lodho sego gurih atau sekul suci ulam sari berbunyi “Kajatipun engkang werni sekul suci ulam sari hormat dumateng junjungan kito Nabi Muhammad SAW, sak garwa lan putranipun sedaya.” Kalimat tersebut bila diartikan dalam bahasa Indonesia, berarti “Hajatnya yang berupa nasi suci dan lauk inti hormat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta istri dan putranya semua.”

Jika ingin dimaknai sederhana. makanan ini jika dalam slametan menjadi sesaji yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah sebuah harapan untuk mendapatkan petunjuk dari nabi dan agar acara yang sedang dilaksanakan diiijabah oleh Allah.

Hal ini menjadi menarik, karena apabila merujuk pendapat Geertz yang mengatakan bahwa slametan adalah inti dari Agama Jawa dan agama Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya “agama-agama impor”, maka seharusnya makna dari sekul suci ulam sari harus jauh lebih tua dari pada Islam yang menurut Ansoiry (2013) mulai menyebar secara luas di Indonesia pada abad ke-12.

Penyebaran Islam ini berperan besar dalam proses pergeseran makna dalam pelbagai lini kehidupan, utamanya dalam ranah spiritualitas. Hal ini diamini oleh Sutiyono (2013) yang mengatakan bahwa slametan yang awalnya adalah sarana berkomunikasi dengan arwah leluhur, telah berubah fungsinya sejalan dengan masuknya agama Islam.

Penyesuaian dan perubahan ini tentu saja erat kaitannya dengan cerita Wali Songo yang menyebarkan Islam melalui sendi-sendi budaya. Perpaduan antara budaya dan agama inilah yang menjadi pemicu sinkretisme yakni paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian dan keseimbangan.

Sebenarnya, melalui proses sinkretisme, kita juga bisa mendapatkan gambaran tentang salah satu sifat manusia Jawa yaitu akomodatif. Sifat ini sesuai dengan ungkapan yang berbunyi, “Wong Jowo ki gampang ditekuk-tekuk”.

Menurut Sumodiningrat dan Wulandari (2014), ungkapan ini menegaskan sifat akomodatif dan adaptatif manusia Jawa dalam menerima hal-hal baru. Tidak terkecuali dengan agama dan kepercayaan yang diterima serta kemudian di-jawa-kan.

Sifat adaptatif ini, khususnya dalam ranah spritualistas, bagi Endraswara (2003) berakar jauh dalam kebudayaan Nusantara. Dia menyebut konsep ini sebagai Tantularisme. Konsep kuno ini merujuk pada ide Mpu Tantular pada zaman Majapahit yang mencoba mengetengahkan perbedaan dalam soal agama untuk mencapai kondisi rukun.

Toleransi dan kelenturan dalam menerima kebudayaan baru, bisa menjadi musabab dari hilangnya kekhasan kebudayaan tertentu. Namun sebaliknya, mengutip dari Suseno (1984), bermacam kebudayaan yang masuk ke dalam kebudayaan Jawa, bukannya menghilangkan kekhasannya, namun malah menguatkan ciri khas dari budaya Jawa itu sendiri.

Hindu, Buddha, hingga Islam diterima dan dirangkul untuk kemudian di-jawa-kan. Sehingga bisa dikatakan bahwa kebudayaan Jawa, termasuk sekul suci ulam sari dan maknanya, tumbuh dan berkembang bukan dalam isolasi budaya, namun dari percampuran budaya-budaya lain yang merasuk secara harmonis dalam budaya Jawa.

**

Bila ditelisik lebih dalam, ternyata dalam seporsi makanan di atas, terdapat makna dan cerita yang cukup panjang. Mulai dari kacamata gizi, makna, hingga pergeseran sejarah kepercayaan bisa dicari tahu dari makanan khas Tulungagung ini.

Saat ini, Lodho sego gurih bisa ditemukan di bermacam rumah makan yang tersebar di wilayah Kota Marmer itu dengan cukup mudah. Namun selain menikmati cita rasanya yang lezat, alangkah baikya bila kita juga mengerti cerita panjang dari olahan bercita rasa pedas gurih tersebut.

Editor: Almaliki