Etnis.id - Di Jawa, terdapat beberapa tradisi perihal upacara kematian dari ajaran leluhur terdahulu. Keadaan ini erat kaitannya dengan keyakinan serta pengalaman batin masyarakat Jawa itu sendiri.

Jika dilihat dengan seksama, kehadiran praktik serta keyakinan tersebut, tidak lain untuk mengungkapkan makna ritual secara lebih dalam. Seperti ketika saya mendatangi takziah di rumah saudara yang berada di Tempursari. Sebuah desa yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Semua keluarga berkumpul untuk mengantarkan jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir. Kesedihan menjadi pelengkap keadaan saat itu. Namun, di balik kesedihan yang mendalam, masyarakat Jawa masih memiliki perhatian khusus perihal kematian.

Dengan dibantu para kerabat serta tetangga, mereka menyiapkan berbagai ubo rampe sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada jenazah. Ada yang berbelanja di pasar, ada yang masak untuk kenduren, ada juga yang menyiapkan pelbagai perlengkapan untuk dibawa ke pemakaman.

Saya amati setiap proses yang berlangsung tersebut. Setelah jenazah dimandikan, kemudian jenazah dimasukkan ke dalam peti. Banyak hal yang
dipersiapakan sebelum pada akhirnya peti ditutup dan jenazah diberangkatkan menuju pemakaman.

Salah satunya tanah yang diambil langsung dari pemakaman dan juga daun kemuning. Jika daun kemuning sulit ditemukan, biasanya masyarakat menggantinya dengan daun beringin.

Tanah tersebut dibentuk bulat-bulat. Gelu, orang Jawa menyebutnya. Setelah perlengkapan dirasa cukup, gelu tersebut dimasukkan ke dalam peti sebagai alas pipi atau bantal janzah.

Konon jenazah harus tetap menempel dengan tanah meski berada di dalam peti sekalipun. Kemudian dimasukkan daun kemuning atau daun beringin yang digunakan sebagai alas atau kasur jenazah.

Jika sudah, maka jenazah dimasukkan dengan posisi miring dengan pipi menempel pada gelu, kemudian ditutup. Momen ini menjadi momen perpisahan serta merupakan langkah menuju alam lain.

Masyarakat percaya jika alam kubur merupakan tempat pertanggungjawaban atas semua perbuatan di dunia. Makanya, kepergian menuju alam kubur harus diantarkan sebagai salah satu bentuk penghormatan.

Selain itu, masyarakat di Tempursari juga memiliki keyakinan jika mendiang memiliki anak yang belum menikah, maka akan disediakan juga anakan pohon pisang dengan jumlah sama seperti anak yang belum menikah itu.

Anakan pohon pisang tersebut lalu dibawa ke pemakaman dan diletakkan di dekat makam. Konon hal ini merupakan simbol kedekatan anak dengan orang tuanya. Sebaliknya, orang tua yang telah meninggal juga tidak perlu mengkhawatirkan
anak-anak yang ditinggalkan.

Kemudian juga ada perlengkapan lain jika ternyata ada anggota keluarga yang masih sedang hamil, maka perlu disiapkan pula telur ayam. Telur akan dipecahkan di halaman pintu sesaat ketika jenazah diberangkatkan.

Hal ini merupakan simbol supaya anggota yang hamil tersebut tidak terganggu oleh apapun, serta supaya kelak bisa melahirkan dengan mudah. Semudah ketika memecahkan telur tersebut.

Jika semua ubo rampe telah selesai dilakukan, maka sebelum jenazah diantar ke pemakanan, akan ada modin atau kayim yang merupakan perwakilan pihak keluarga untuk melakukan berpidato.

Intinya, menyampaikan maaf dari almarhum jika selama hidupnya memiliki salah kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat. Pidato diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh modin itu sendiri. Setelah itu, semua pihak keluarga akan melakukan brobosan.

Ritual ini sangat menarik perhatian saya. Terdapat dua tujuan kenapa orang melakukan brobosan. Pertama, tentu untuk menghormati orang yang sudah meninggal. Kedua, untuk mendapatkan tuah dari jenazah tersebut. Terlebih jika seseorang yang meninggal tersebut merupakan orang yang berumur panjang.

Konon, usia yang panjang tersebut juga mempengaruhi umur saudaranya kelak. Lalu, jika seseorang yang meninggal tersebut memiliki ilmu tinggi, maka dipercaya ilmunya akan menurun kepada orang me-nrobos.

Hingga saat ini masyarakat daerah Tempursari masih banyak yang percaya akan mitos tersebut. Ritual ini juga memiliki peraturan tersendiri. Jika yang meninggal ternyata perempuan, maka yang boleh berjalan hanyalah orang terdekatnya.

Di sisi lain, jika yang meninggal adalah anak-anak, maka ritual ini sama sekali tidak dilakukan. Hal ini dilakukan agar kelak saudara terdekat tidak tertular nasib yang sama. Mengingat tradisi ini dilakukan agar keluarga mendapatkan tuah panjang umur.

Ritual ini akan dilakukan di depan rumah. Orang yang membawa keranda akan mengangkat peti tinggi-tinggi. Untuk pelaksanaannya, dipimpin oleh anggota yang paling tua. Brobosan dilakukan dengan cara masuk ke bawah peti yang diangkat tersebut.

Mereka melewati peti dengan cara berjalan bergantian satu sama lain. Masing-masing gerakannya diulang sebanyak tiga kali. Bermula dari sebelah kanan, kemudian ke sebelah kiri, ke depan hingga ke sebelah kanan.

Anak, cucu dan keluarga dekat yang biasanya melakukan brobosan. Hal ini dilakukan berdasarkan pepatah Jawa “mikul dhuwue mendhem jero” yang berarti menjunjung tinggi serta senantiasa mengingat jasa dari orang yang sudah tiada.

Bisa dikatakan, ritual ini merupakan perpisahan terakhir sebelum jenazah dimakamkan dengan harapan semua keluarga bisa benar-benar ikhlas melepaskan kepergian.

Editor: Almaliki