Etnis.id - Ini adalah pengalaman pribadi yang membuat saya malas mencoba coto yang aneh-aneh di Jakarta. Saya lebih memilih menyantap coto di pusatnya, daripada di tanah rantau.

Ceritanya begini, teman saya adalah orang yang suka makan. Sudah tiga tahun ia di Jakarta. Ia karyawan media, sama seperti saya. Kami berbeda perusahaan. Sebagai anak asli Sinjai, ia begitu senang jika melihat saya memasak pallumara di kontrakan. Katanya, itu adalah momen terbaik untuk mengingat kampung halaman.

"Ya, mantap. Saya lebih percaya kau yang bikin, daripada orang lain. Ada yang enak, di Jakarta, tapi mahal. Lima iris ikan, Rp 100 ribu. Kau bisa bikin yang murah dengan rasa Makassar," ujarnya padaku dalam satu kesempatan.

Dari kalimat itulah, ide tulisan ini saya timbang untuk diterbitkan kemudian dijadikan satu masalah yang bisa diperbincangkan atau mungkin diperdebatkan. Solusi? Entahlah. Anda ingin mencarinya? Jika iya, bacalah sampai selesai.

Coto Makassar/FIickr/Irayani Queency Putri

**

Saya baru saja pulang ke Makassar. Saya sampai sepekan di sana. Saya tak sendiri, saya mengajak pacar saya, yang notabene orang Jawa Barat agar ikut bersamaku. Sekadar mengajaknya liburan juga tentunya.

Tak butuh waktu lama saat sampai di Makassar. Saya langsung tancap gas ke warung coto. Salah satu coto kesukaan saya adalah Coto Maros yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo.

Tempatnya kecil. Hanya bisa parkir beberapa motor saja. Saat masuk, ada meja kayu untuk menyimpan satu alat hitung elektronik untuk kasir. Di sebelah kirinya, langsung dapur mini.

Bau aroma kuah coto itu otomatis terhirup. Momen itu menambah nafsu makan saya tiba-tiba. Alasannya sederhana, hampir setahun saya tidak pernah makan coto sembarangan selama di Jakarta.

Si koki pakai periuk dari aluminium. Di bawahnya, ada kayu yang terbakar. Di dalam periuk, kuah coto menggelembung. Kuahnya tak berdiri sendiri. Ada isi dalam, entah itu usus kerbau atawa sapi yang ikut dimasak.

Saya berpikir, mungkin lemaknya akan terlepas dari jeroan. Lemak itulah yang nantinya bercampur dan menambah kekentalan kuah coto. Istilah Makassarnya, janna. Jeroan itulah juga yang mungkin mendukung air beras atau santan dalam kuah. Entahlah.

"Saya pesan limpa to' (limpa saja), satu. Satunya lagi campur. Tambahi bawang goreng, Daeng."

Saya mencari tempat duduk. Di Coto Maros, meja makan kita tidak terpisah satu-satu seperti di restoran yakni satu meja empat kursi. Ia berbentuk panjang. Jadi tamu yang lain, bisa duduk di samping kita. Kesannya, sensasi sosial saat makan lebih terasa.

Dua mangkuk coto yang kami pesan akhirnya datang. Masih panas. Di Makassar, pedaganya selalu yakin, semangkuk kecil coto, bisa mengenyangkan mayoritas satu perut keroncongan.

Saya mencium semangkuk coto itu. Harum. Bau rempahnya sungguh kuat. Saya tidak bisa mendeteksi rempah utama apa saja yang digunakan. Paling banter, jintan dan ketumbar untuk menambah tajamnya rasa kuah saat baru menyentuh lidah.

Puji Tuhan, itu benar-benar lezat saat saya menghirup sesendok kuahnya sebelum saya beri apa-apa. Tak cukup semenit, tiga kali saya menyendok sambel untuk dicampur dalam coto.

Sambelnya pun bukan sambel kemasan. Bisa jadi apa coto sewaktu diberi sambel kemasan? Saya tak bisa membayangkannya. Jadi, sambelnya itu telah ditumis. Kelihatan kok, sudah berminyak.

Coto bisa lebih nikmat jika ditambah sambel tumis lalu kecap. Sesuai selera sih mau bagaimana. Tapi saya menyarankan, pakailah sambel. Tidak pedas amat kok. Jika tak suka pedas, kasih sambel sesendok saja.

Ada ketupat kecil yang tersedia di hadapan kami. Ketupat disimpan dalam satu wadah. Kira-kira wadah itu telah terisi belasan sampai puluhan ketupat. Saya membuka yang sudah diiris dan terpotong dua.

Saya menciumnya. Aroma pandan masih tertinggal. Ketupatnya baru. Belum berlendir isinya. Saya menyendok seiris dan kusimpan dalam kuah.

"Alhamdulillah. Enaknya ya Allah," saya membatin sewaktu ketupat, seiris limpa dan sedikit kuah membasahi kerongkongan saya. Manis, pedas, asin, terutama gurih, mendominasi mulut saya saat itu. Nikmat. Pacar saya juga suka.

"Ini enak. Oh, ini yang namanya coto Makassar? Saya baru coba sekali sih. Ini yang pertama. Ini enak banget."

Coto Makassar/FIickr/Marina Fang

**

"Di sini, tidak boleh coba coto sembarangan. Bisa-bisa nanti bukan coto yang kalian coba. Makanan yang sok-sokan pengen dibilang coto."

Saya mengejar penyataan kawan saya itu. Maksudnya bagaimana. Dalam sebuah momen, bersama kawan yang lain, kami duduk melingkar di kontrakan pascamakan pallumara. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam dulu, sebelum melanjutkan ceritanya.

Dulu, kawan saya sempat bertandang ke satu tempat di Jakarta. Ia melihat ada pedagang Coto Makassar. Sebab perutnya lapar, ia masuk ke warung itu. Ia yakin, cotonya pasti enak. Atau paling tidak, standarlah di lidahnya.

Maka pesanlah ia semangkuk. "Saya ajak pegawainya Bahasa Makassar, dia tidak mengerti. Dalam hatiku, mungkin memang pegawainya bukan orang Makassar. Jadi saya pesan."

Makanan yang kawan saya inginkan pun tiba. Mangkuk besar. Ia sudah mulai curiga, kok mangkuknya besar? "Setahu saya, coto itu mangkuknya kecil. Ada keidentikan sendiri. Ini, seperti mangkuk soto yang disuguhkan ke saya."

Ia hirau. Pikirannya tetap positif. Mungkin saja, coto ala Jakarta memang begitu. Lalu ia melihat kuahnya, itu sudah beda. Kuning dan tampak tak banyak rempah yang tercampur. Laiknya kuah soto.

"Pas saya aduk, beh, kenapa tidak kental ini barang? Cotokah ini? Saya lalu coba, rasanya bukan coto. Jauh dari coto. Ini soto. Saya tidak lanjutkan makan. Ini baru pertama kali saya ditipu dengan embel-embel makanan Makassar."

Teman saya cerita, waktu itu ia naik pitam. Ingin bertanya baik-baik kepada pemiliknya, apakah benar ini coto? Kok tekstur dan rasanya beda dengan yang ada di Makassar.

"Tidak saya makan itu coto, bos. Saya tinggalkan itu warung. Saya bayar dulu, baru pergi. Beh, siapa yang tidak emosi, masa coto kayak begitu."

Lalu muncullah perdebatan, sebaiknya warung coto di tanah rantau itu seperti apa. Apakah sebaiknya orang Makassar yang harus mengelola masakannya ataukah orang luar Makassar?

Saya menjawab, seharusnya memang orang Makassar yang membuat coto jika ingin dikomersilkan. Alasannya sederhana, pemilik punya beban moral. Dia tak mau rasa makanan leluhurnya jauh dari lidah mayoritas orang Makassar.

Contohnya begini, selain di Makassar, saya bisa berdagang coto. Otomatis, sebelum memulai, saya harus belajar lebih dalam soal cara membuat coto. Baik cara masaknya, pilihan dagingnya, rempah-rempahnya.

Sebagai orang Makassar, saya tidak mau keliru untuk hal itu. Saya tak mau, lidah kawan saya dari Makassar, memaki rasa atau menegur makanan yang saya buat atawa perdagangkan. Saya bisa malu. Itu yang namanya beban moral.

Tapi bagaimana makanan seperti coto bisa terkenal, kalau orang di luar Makassar, tak diizinkan mengelola? "Tidak bisa begitu juga," ujar teman saya membantah argumen saya.

Semakin banyak coto di tanah rantau, itu menaikkan nilai dari coto Makassar itu sendiri. Orang-orang di luar Makassar, jika datang ke Makassar, jadi merasa harus wajib makan coto.

"Tapi bagaimana jika cotonya jauh dari lidah orang Makassar? Haruskah lidah mayoritas memaksa rasa coto berubah sesuai kemauan mereka?"

"Jika beda, itu namanya mempermalukan coto yang autentik di Makassar. Nanti orang berpikir, 'oh, jadi begini rasanya coto? Biasa aja. Gak perlu coba di Makassar kalau gitu' itu yang saya takutkan."

Pertanyaan itu kemudian membuat suasana hening. Tidak ada jalan keluar. Tetapi, saya membuat satu kesimpulan soal cara mencoba coto di tanah rantau jika tak bisa menjawab dan keluar dari masalah di atas.

Intinya, berupayalah mereguk informasi dari kawan-kawan Makassar. Tanyalah mereka, rekomendasi coto yang mereka sarankan. Jangan tergiur dari pemberitaan saja dan berita-berita di laman pencari atau media sosial. Kedua, lihatlah suasananya. Jika banyak diskusi berbahasa Makassar dalam kedai, itu bisa menjadi pertimbangan.

"Iya. Di Coto Senen, kalau di Jakarta. Saya ajak Bahasa Makassar pemiliknya, ia mengerti dan menjawab. Di sekeliling saya, banyak diskusi yang kaumaksud," tutup teman saya. Jadi, anda lebih memilih orang Makassar yang membuat coto atau membiarkan rasa coto mengikuti selera pasar yang jauh dari lidah orang Makassar?