Etnis.id - Presiden Jokowi akan memindahkan Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur. Pohon-pohon tua terancam digunduli dan dicabut dari akarnya. Burung enggang kemungkinan berpindah tempat atau makin berkurang jumlahnya bahkan bisa punah.
Saya belum sepenuhnya percaya kalau Ibukota akan dipindah ke Kalimantan. Toh, Ibukota masih di Jakarta. Saya baru percaya, jika semua kesiapan dari hubungan vertikal dan horizontal disepakati. Atau saya harus dipaksa percaya, sebab aparatus negara bisa merongrong masyarakat adat dari rumah-rumahnya di dalam hutan. Petani saja bisa dihajar dan dibunuhi demi pembangunan.
Ada banyak hal dan keresahan yang ingin kusampaikan. Tapi yang kupikirkan cuma burung enggang dan masyarakat adat. Ini hasil cerita saya dengan Damianus Higang Bayau, seorang warga adat Dayak, yang beberapa waktu lalu, 2019, datang ke acara ulang tahun Aliansi Masyarakat Adat di Taman Ismail Marzuki.
Ia mengaku, burung enggang menjadi simbol orang Kalimantan. Saat ritus tarian Hudoq, para penarinya, memakai kostum yang dipenuhi dengan bulu burung. Pun, hiasan kepala Damianus, dari bulu burung enggang pula. "Ini bulu burung enggang," ujarnya singkat pada 10 Agustus lalu.
Secara umum, burung enggang belum punah. Menurutnya, mereka (masyarakat Dayak) akan menjaga ekosistem burung enggang. "Enggang itu tinggalnya di hutan, di pohon-pohon yang tinggi."
Saya tersenyum mendengarnya. Lalu dia bicara lagi tentang tato. Di tubuh orang-orang Dayak, tato sudah menjadi simbol yang unik. Dari kecil, saya selalu bertanya kenapa orang Dayak itu banyak yang bertato?
"Itu semua ada artinya."
Ternyata, tato itu bukanlah seperti trendi yang kerap dicontohkan orang-orang di kota dan artis-artis di televisi. Dulunya, tato, bagi orang Dayak tertentu adalah pangkat dalam kelompok adat. Selain itu, adalah tanda bahwa mereka pernah berperang dan memenggal kepala musuhnya.
"Sekarang karena sudah modern, ya tidak. Jika kami sukses dalam dunia pendidikan, maka kami tato. Itu sebuah penghargaan. Itu juga sebagai cara kami membawa budaya kami ke daerah lain."
Tato para leluhur Damianus, dibuat dari hasil alam tanpa campur tangan mesin dan lain-lain seperti sekarang. Tintanya dari asap pohon damar dan getah. Alat tatonya tentu saja masih dari kayu-kayu hasil hutan.
Pembicaraan kami hanya sebatas itu. Musik dari Fery Sape', kawan Damianus, di panggung AMAN, sudah mengalun. Orang-orang Dayak maju ke depan. Damianus meninggalkan saya, sebab ia punya urusan lain. Saya menyilakannya pergi. Lagipula, pelantang sudah mengalahkan nyaring percakapan kami.
Lalu setelah Ibukota pindah nantinya, apakah burung enggang ada jaminan untuk tidak dikurangi jumlahnya secara besar-besaran demi mega pembangunan yang mengancam jantung Kalimantan? Soal itu saya belum tahu. Jika dilindungi, kita boleh percaya tugas pemerintah. Ihwal perlindungan habitatnya?
Pengalaman dan data-data yang dibuka mengajarkan, pemangkukepentingan sangat abai dengan hal-hal yang berbau preservasi hutan. Di mata sensor dan gergaji pohon, hutan melindungi manusia adalah kepercayan yang mesti ditinggalkan. Pemerintah beserta lingkarannya, sejauh ini mengeksploitasi hutan tanpa mau menanam lebih banyak dari yang mereka habisi.
Dalam beberapa kasus, pengurangan hutan di Indonesia, tiap tahun bertambah angkanya. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar di antaranya sudah habis ditebang. Ukuran segitu bisa dibuat berapa stadion megah?
Jika sudah begitu kenyataannya, mengikut data, apakah ada wajah adem dari pembesar-pembesar negara ini yang akan menjaga keseimbangan alam di Kalimantan berikut kehidupan burung-burung enggang atau ritus-ritus masyarakat adat untuk menjaga nilai preservasi?
Itu baru penghabisan hutan. Bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan tambang? Ya, saya tahu, pertambangan perlu untuk kelangsungan hidup warga kota seperti kita. Kita terlalu banyak mengambil untung dari hasil tambang.
Tapi, bagaimana jika kotoran-kotoran tambang membuat hewan-hewan endemik muntah lalu mati, misal burung enggang liar minum air dari sungai dan laut yang sudah tercemar kotoran tambang? Atau masyarakat pesisir yang tersingkir dari lautnya disebabkan pembangunan Ibukota dan kepentingan industri batubara?
Dari informasi JATAM, diperkirakan, pemindahan calon ibu kota negara hanya menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batubara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur.
Menurut data JATAM Kaltim, terdapat 1.190 izin usaha pertambangan [IUP] serta terbit 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sementara, di Kecamatan Samboja terdapat 90 izin pertambangan dan di Bukit Soeharto terdapat 44 izin tambang.
Adakah izin dan perusahaan tambang di Kalimantan akan bertambah? Penambahan berpotensi ada mengikut pertumbuhan penduduk dan transmigrasi besar-besaran ke Kalimantan. Pembukaan lahan baru dengan angka-angka yang mengagetkan, masih bisa hadir di depan wajah kita. Lalu yang berkorban adalah masyarakat adat dan alam yang dijaganya lagi.
Perihal enggang, dikutip dari DW Indonesia, satu spesies seperti enggang gading, sudah jadi "produk mahal" bagi pemburu-pedagang gelap-kolektor burung. Orang-orang di Cina banyak menjadikan paruhnya sebagai hiasan asesori. Harga gading itu lebih mahal dari gading gajah.
Pada 2016 silam, Yokyok Hadiprakarsa, peneliti terkemuka di Indonesia untuk Enggang Gading memperkirakan, di Kalimantan Barat saja sekira 500 burung tewas setiap bulan pada tahun 2013 saja, artinya 6000 burung per tahun.
Enggang Gading dulunya memang secara tradisional sudah diburu oleh suku-suku asli Kalimantan, tetapi tidak pernah pada tingkat yang menimbulkan risiko kepunahan.
Jika semua orang kerja sama untuk mengeksploitasi alam secara besar-besaran berikut isinya, bukan tidak mungkin, burung enggang cuma bisa dilihat gambarnya di mesin pencari elektronik dan youtube saja.
Apalagi, saat pejabat di Kalimantan sudah tersenyum semringah dengan pernyataan Jokowi. Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor meyakini provinsi yang "dijaganya" akan dipilih. “Pasti Kaltim. Terserah di mana lokasi nanti, yang penting Kaltim terpilih,” katanya.
Isran menyebut, Kaltim strategis untuk pusat pemerintahan. Soal kekhawatiran masalah lingkungan, ia dan timnya akan mengatasinya, sebab pemindahan ibu kota, tentunya ada kajian kelayakan.
“Sudah pasti Kaltim akan menjadi ibu kota yang baik. Kajiannya sudah banyak, kebutuhan infastruktur juga terpenuhi. Jadi memang layak ibu kota pindah ke sini,” ujarnya.
Sementara Bupati Penajam paser Utara [PPU], Abdul Gafur Mas’ud juga bersyukur. “Kami sangat bersyukur sekali dengan keputusan ini. Alhamdulillah Kaltim terpilih sebagai lokasi Ibukota, dan PPU masuk didalam wilayah Ibukota. saya sangat terharu dan tentunya warga PPU siap membangun ibu kota,”kata AGM.
Menurutnya, sebelum diputuskan sebagai ibu kota negara, PPU telah mempersiapkan lahan seluas 300.000 hektar. Gafur menjadikan keputusan Jokowi sebagai berkah untuk Bangsa Indonesia, terlebih warga PPU.
Kabag Pembangunan PPU, Nicko Herlambang berujar senada. “Untuk pengembangan ibu kota, PPU punya konsep kota mandiri terpadu yang berada di pesisir areal water front city. Kajiannya sudah disusun, dan telah diajukan ke pemerintah pusat,” sebutnya.
Ia meyakini, pengembangan ibu kota Forest City dan Water Front City dengan mendahulukan sisi ekologi lingkungan, menjadi prioritas konsep kota mandiri tersebut.
Nicko menjelaskan, untuk tahap awal pembangunan, difokuskan pada proses pembangunan rumah jabatan di pesisir PPU. Kemudian gedung-gedung perkantoran. Terkait Tol Teluk Balikpapan, pihaknya sudah menyiapkan desain agar pembangunannya terencana dan rapi.
Akhirnya, kita hanya bisa memilih, ucapan pesimis atau optimis atas dampak pembangunan dari Kalimantan setelah ditunjuk jadi calon Ibukota. Jika optimis, kita yakin dengan ucapan positif para pejabat dan perbuatan mereka yang diserahi tanggung jawab. Jika pesimis, kita boleh dan tidak masalah dengan ketidakyakinan kita pada ucapan dan janji mereka. Semuanya tergantung.
Saya memilih pesimis dan sudah berpikir, bagaimana ketika burung enggang jumlahnya semakin menurun setelah pembukaan lahan, bertambahnya tambang, dihancurkannya hutan, maraknya pemburuan liar dan faktor-faktor yang mendukung akan kepunahan satu komunal berikut tradisi yang mereka pegang.
Bisa saja, anak-cucu orang Dayak takkan mengenal burung enggang lagi. Mereka lebih bangga dengan sematan "anak Ibukota". Sebab, di media sosial dan masyarakat urban, predikat itu selalu punya nilai lebih daripada orang-orang terpinggirkan seperti masyarakat adat.