Etnis.id - Selama hidup, cuma dua kali saya menyantap bubur Cina yang lezatnya bukan main di Makassar. Pertama bubur RM Niagara dan bubur Raja Boga. Semua kubeli untuk asupan Ibu yang sakit, sebelum ia meninggal.

Cina memang luar biasa dalam hal kuliner. Mereka begitu banyak memainkan rempah dan teknik masak. Buktinya, mereka punya banyak kecap untuk memanjakan lidah para konsumennya.

Dalam satu kesempatan, saya pernah berbincang dengan dua orang koki yang penah bekerja di hotel berbintang dan luar negeri. Pertama adalah bos saya, waktu itu, saya masih menemaninya berjualan nasi goreng dan mi kering di belakang Mal Panakukang. Saya menjadi tukang cuci piring. Warungnya di pinggir jalan. Gerobakan.

Di samping gerobak kami, ada pedagang bakso dengan gerobak mini yang kupikir jajanannya juga luar biasa. Saat kukunyah, terasa betul dagingnya dan kulihat, potongan daging bakso itu berwarna merah daging saat kugigit sedikit. Tapi sudahlah, saya tak ingin membahas bakso. Mungkin lain kali.

"Kenapa ya kalau di rumah makan Cina, mi keringnya nya itu enak?"

"Oh, karena mereka itu pakai banyak rempah dan arak cina."

Begitu kata bos saya. Saya paham sedikit, ingin bertanya lagi, tapi piring kotor sudah menumpuk. Jika tak segera kubereskan, pengunjung nanti mencibir warung kami. Saya menyelesaikan pekerjaanku di dapur kafe yang kami tempati pekarangannya berjualan. Kita memang bekerja sama. Bos membayar kafe itu setiap bulan.

Dengan perasaan senang karena memang saya suka bekerja di dapur sebagai apa saja, akhirnya piring-piring itu bersih kucuci. Lemak-lemak di westafel juga bersih. Sebelum kering, sendok-sendok serta gelas kubawa keluar semuanya, untuk mengantisipasi pembeli yang makin banyak dari waktu ke waktu.

"Mereka itu memang pandai dalam dunia masak. Coba kau bayangkan, membuat makanan Eropa itu mudah. Tak ada yang ribet. Alasannya, ya persoalan rempah. Cina tidak, banyak juga rempahnya dan bumbunya. Makanannya jadi lebih kaya akan rasa."

"Satu kunci orang Cina kalau buat mi kering. Ya, mereka pakai ang ciu. Ang ciu itu arak makanan dari Cina. Kedua adalah, mereka masak pakai arang. Jadi bau asap arang ditambah rempah, masuk ke makanan. Itu yang membuat mereka khas."

Saya mengangguk setuju dengan jawaban bosku. Soal haram dan tidak, itu urusan MUI. Toh, MUI menyilakan masyarakat makan di warung Cina. Saya manut dan ikut. Sebab, soal sebelum ditentukan haram atau tidak, tim MUI memeriksa dapur warung itu terlebih dulu.

Saya pernah melihat Chef Haryo menjelaskan tentang ang ciu. Persoalan arak dalam makanan memang dilarang dalam Islam. "Barang haram kalau dicampur ke yang halal, jadi apa?" tanyanya.

Tapi, lanjut lelaki yang di wajahnya sudah tumbuh cambang itu, menyimpulkan satu keputusan, butuh orang-orang yang paham tentang agama. "Selama MUI tidak melarang, ya makan aja."

Pada orang kedua yang kutanyai, kami berbicara tentang bubur. Ia hampir membuat liurku tumpah. Pada sebuah pagi, dia bercerita tentang bubur yang kedengarannya renyah betul jika dicampur dengan sepotong paha ayam.

Ia menyebut bubur Laota. Saya tidak pernah mendengarnya. Makanan itu lebih enak dari bubur ala Jawa yang ada di Makassar, katanya. Tenpatnya ada di sekitar Gang Jampea. Setiap pagi, banyak pegawai Pemerintah Kota Makassar sarapan di sana.

"Dia menjual pagi, bro. Tekstur berasnya itu tidak hancur. Berbentuk berasnya. Tidak lembek sekali seperti bubur Jawa. Dia pakai banyak rempah dan dikuatkan dengan garam dan lada."

"Cara masaknya saya tahu, tapi tidak mauka kasih tahuko. Nantilah, kalau ada rezeki, kita bikin warung seperti itu. Pooknya gampangji bro," beber kawan saya itu. Sialan, saya menggerutu dalam hati sambil berdoa, semoga rezeki saya tidak mampat agar bisa memujudkan mimpiku dan mimpinya untuk membuat warung makan.

Nah, soal bubur yang disukai Ibu, saya pernah sekilas melihat pembuatannya. Saya rekam dalam kepala saya. Pertama di RM Niagara, di Jalan Arief Rate. Taukenya ramah dan menyebut bilangan puluhan ribu untuk semangkuk bubur yang porsinya bisa dimakan untuk dua orang.

Bunyi wajan dengan sudip besi yang menggeseknya sungguh merdu. Kuali telah dituangi minyak. Api telah membakar pantat bajan. Beberapa bubuk-bubuk dalam wadah dari plastik diambilnya, begitu juga air.

Sang tukang masak mencampur semua bumbu bubuk lalu menurunkan dua sampai tiga genggam beras yang bentuknya asing di mataku. Beras dibiarkan terjerang. Sambil menunggu matang, koki menyiapkan telur.

Merasa beras sudah mengembang, air ditambahkan lagi. Kali ini, sebutir telur dipecahkan dan kuningnya dibiarkan utuh, tak diganggu. Sampai semuanya beres, bubur itu masuk ke dalam plastik belanja untuk telur kiloan yang digunakan swalayan, bersama cakwe.

Saya mengambilnya, mengantarnya ke rumah, menyiapkannya dalam mangkuk kaca dan diberi untuk Ibu. Sayangnya, Ibu tidak menghabiskan buburnya. Ia kenyang. Kepalanya sakit. Saya diminta untuk menghabiskan semuanya.

Yang kurasa, saat memakan bubur Niagara, adalah rasa lada dan garam serta minyak khas, barangkali ang ciu dan bau asap. Tak ada tampilan yang aneh-aneh di buburnya. Murni bubur dan satu kuning telur yang matang. Saya menghidunya. Aromanya benar-benar menambah selera.

Yang kedua, Ibu, dalam keadaan sakit, minta dibelikan bubur di Raja Boga, di Jalan Pengayoman. Berganti lagi. Rumahku dan Raja Boga sangat dekat. Makan waktu lima sampai tujuh menit untuk ke sana menggunakan motor.

Bubur Raja Boga juga dihargai puluhan ribu. Saya melihat menunya. Tak ada tauke di sana. Hanya orang-orang yang berdialek Toraja yang menjadi kasir serta menjadi tukang masak.

Cara memasak buburnya, hampir sama dengan RM Niagara. Yang saya coba ingat kembali, apakah dalam kuah bubur itu, ia menumpahkan sebutir telur dan mengaduknya hingga kuning dan putih telur bercampur bersama kuah, lalu sebutir lagi dipecah dan kuningnya dimasak utuh sampai matang? Saya agak lupa momen itu.

Yang kuingat, ia menggoreng minyak, yang barangkali ang ciu, menambahkan air, garam, lada, msg. Selebihnya, saya kurang tahu bumbu apa yang ditumpahkan. Ia menggunakan api besar di atas kompor besi. Bunyi api yang menyembur beserta gas; juga wajan yang dikeruk sudip, menambah hasrat makanku.

Tak lama, bubur sudah jadi. Saya bergegas membawanya pulang. Ibu menyuruhku untuk membagi bubur itu menjadi dua. Untuk saya dan beliau. Ibu makan dengan lahap, saya juga. Nyaris tak ada beda, antara bubur Niagara dan Raja Boga. Keduanya sama-sama gurih di lidah.

Ya, namanya juga makanan Cina. Pasti identik dengan satu bumbu andalan. Barangkali ang ciu. Saya tidak tahu persis, tapi yang jelas, di kancah kuliner Makassar, orang-orang Cina selalu membuat saya jatuh cinta dengan masakannya.

Dari penyajian makanan, rasa, aroma serta sayur mayur yang mereka bikin seperti cap cai, saya menjura. Pada mereka, orang-orang Hokkian yang membawa budaya kuliner di Nusantara sampai menjadi Indonesia, saya patut pula berterima kasih. Kamsia, Cece dan Koko!