Etnis.id - Kalian semua yang tinggal di Jawa dan lahir sebelum tahun 2000-an, tentu ingat dengan permainan jamuran. Permainan yang dijalankan dengan anggota minimal tiga orang ini, memang melekat kuat di ingatan.
Cara bermainnya yang unik menjadikan permainan ini digemari bocah pada waktu itu. Termasuk saya. Hampir setiap sore, sepulang dari mengaji di langgar, saya selalu ikut bermain jamuran. Bahkan, rasanya menyesal kalau sampai melewatkannya.
Saya anak kampung yang jauh dari gegap gempita keramaian kota. Rumah saya jauh dari mal. Minimarket saja hanya bisa dijumpai di kecamatan. Kendati demikian, saya merasa beruntung karena masih bisa merasakan sensasi dolanan bersama teman-teman.
Saya masih bisa mandi di sungai, bermain lumpur, berburu belalang dan pernah juga mencuri tebu di ladang. Dari sekian banyak aktivitas yang saya lewatkan bersama teman-teman, jamuran ini memiliki tempat tersendiri di hati saya. Rasanya, sangat
menyenangkan kala bisa berkumpul bersama teman-teman.
Tanpa ada perjanjian dan jadwal khusus, saya dan teman-teman rutin dolanan jamuran. Halaman rumah tetangga, bernama Pak Saikuna, menjadi saksi bisu keseruan saya dan teman-teman kala bermain jamuran. Terlebih saat ada orang yang sedang memiliki hajat, kami bisa bermain sampai larut malam.
Tanpa pikir panjang, pokoknya kami asik seru-seruan. Setelah dewasa, kini timbullah kerinduan. Membahas jamuran, tentu sangat tidak lengkap manakala tidak menuliskan asal muasalnya.
Dahulu, jamuran kuanggap hanya sebuah permainan yang ditujukan untuk seru-seruan saja. Ternyata, jamuran penuh makna dan juga pembelajaran hidup. Istilah jamuran memang berasal dari bahasa Jawa. Asalnya dari kata jamur dengan akhiran –an.
Di Jawa, jamuran dikenal sebagai tanaman dengan bentuk bulat dan biasanya hidup menempel pada tanaman lain yang sudah mati. Ternyata, permainan jamuran ini memang terinspirasi dari bentuk jamur.
Mengenai pelaksanaannya, dolanan jamuran dimulai dengan nyanyian serta diakhiri dengan bentuk gerakan yang disuruh oleh pemain. Permainan jamuran melibatkan gerak serta lagu. Lagunya pun memang khusus. Seingat saya begini bunyinya.
jamuran, jamura, ya ge ge
jamur apa ya ge ge thok
Jamur gajih mbejijih sa ara-ara
‘sirabadhe jamur apa?
Semua peserta melingkar dan bergandengan tangan satu sama lain. Akan ada satu pemain yang ditempatkan di tengah pemain. Yang di tengah ini, dinamakan dadi. Semua bernyanyi bersama-sama, hingga sampai pada lirik jamur apa, maka dadi tadi menyuruh kami untuk berubah sesuai dengan keinginannya, misalnya menjadi jamur patung.
Tanpa jeda yang panjang, setelah instruksi terlontar, semua peserta memperagakan diri seolah-olah menjadi patung. Apa yang menarik? Saat instruksi menjadi jamur patung dan ada peserta yang bergerak atau menunjukkan karakter bukan patung, misalnya tersenyum, maka peserta tersebut akan berganti posisi menjadi pemain yang berada di tengah-tengah. Setelah itu, permainan dimulai dari awal lagi.
Jamuran tidak membutuhkan peralatan khusus. Semua anak bisa mengikuti tanpa syarat khusus. Selain jamur patung, ternyata masih banyak istilah lain untuk jamur. Ada jamur kendi borot yang menyimbolkan kendhi yang bocor. Wujud dari simbol kendhi bocor, ini yaitu gerakan kencing. Toh, kendhi yang tidak bocor, tidak berguna artinya. Siapa yang tidak pipis, dianggap tidak bocor.
Jika begitu, orang itu harus jadi dadi. Gerakan kendhi bocor sulit dilakukan. Saking sulitnya, kala itu ada teman saya yang berbuat curang. Untuk mengelabui, dirinya membawa air dalam plastik. Dengan demikian, maka saat perintah jamur kendil bocor terdengar, maka dirinya tidak beneran buang air kecil, melainkan membuang air yang sudah disimpan dalam plastik.
Ada juga nama jamur gagak. Simbol dari gerakan jamur gagak ini diwujudkan dengan gerakan anak yang berlari dengan menirukan suara burung gagak. Gaok, gaok, begitu terdengar. Anak yang berada di tengah tadi, harus bisa menangkap si ‘burung gagak’.
Dengan demikian, maka semua anggota harus menghindar dari tangkapan supaya tidak mendapatkan hukuman. Jongkok merupakan cara yang digunakan untuk menghindar dari tangkapan. Jangan sampai tertangkap. Kalau berhasil ditangkap, maka harus berbalik menjadi dadi.
Gerakan unik lain adalah jamur parut. Manakala anak-anak mendengarkan nama gerakan tersebut, maka mereka harus membentuk lingkaran dan bubar menjauhi anak yang berada di tengah-tengah. Semua peserta harus mencari tempat yang bisa digunakan untuk bersandar.
Bukan hanya bersandar saja. Lebih dari itu, telapak kakinya juga harus tampak, ini supaya mudah digelitik. Anak yang berdiri di tengah tersebut kemudian datang mendekat pada salah satu anak yang menggantungkan kakinya sebelah, kemudian menggelitik bagian telapak kakinya yang digantung. Anak yang digelitik harus kuat menahan diri. Jangan sampai tertawa. Pasalnya kalau sampai tertawa, dirinya akan mendapatkan hukuman.
Selain itu, ada juga jamur kethek monyet atau monyet memanjat. Semua anak harus melakukan gerakan seperti kera yang sedang memanjat pohon. Sama halnya ketika melakukan gerakan jamur kendhi borot. Gerakan jamur kethek monyet ini juga menjadi kelemahan saya. Tidak cukup berhenti di kethek monyet. Masih ada puluhan nama jamur yang wajib dihapal.
Seperti jamur let uwong. Saat mendengar nama tersebut, maka anak yang membentuk lingkaran harus bubar kemudian mencari pasangan yang mau diajak bergendengan. Yang tidak mendapatkan pasangan, harus dihukum jadi dadi. Sebenarnya, nama simbol yang digunakan memang tidak jauh dari benda-benda yang ada di sekitar. Meski demikian, tetap dibutuhkan daya hapal yang tinggi.
Jamuran bukan hanya menjadi ajang untuk bersenang-senang saja. Lebih dari itu, jamuran juga menjadi media untuk bisa mengenal satu sama lain. Tidak mengherankan, jika pada zaman saya dulu, saya hampir hapal nama teman satu dusun. Meskipun saat itu belum ada gawai yang memudahkan untuk bisa mengenal satu sama lain, jamuran hadir sebagai wadah perkenalan tidak sengaja antara anak kampung satu dengan anak kampung lainnya.
Hampir teman yang saya kenal, semuanya berasal dari permainan jamuran. Sungguh menyenangkan. Di balik keseruannya, ternyata jamuran juga kaya akan petuah-petuah hidup seperti kebersamaan satu sama lain. Saat semua anak bernyanyi bersama, secara tidak langsung akan melahirkan rasa kebersamaan serta rasa sosialisasi yang erat antara teman sebayanya.
Tidak berhenti pada nilai kebersamaan saja. Dengan bermain jamuran, secara tidak langsung anak-anak mendapatkan nilai kreativitas. Dengan bernyanyi, anak-anak akan mengenal nada serta lirik lagu. Anak-anak akan dipaksa untuk melakukan gerakan lengkap dengan nyanyian. Untuk bisa menghapal, tentu dibutuhkan daya pikir yang kuat.
Di sinilah kreativitas akan diasah. Selain melatih kebersamaan serta kreativitas, jamuran juga menyimpan nilai tanggung jawab. Nilai tanggung jawab ini tampak saat semua anggota patuh melakukan apa yang diperintahkan. Siapa yang tidak patuh, maka harus mendapatkan hukuman, yaitu menjadi anggota yang di tengah.
Untuk itu, dibutuhkan tanggung jawab supaya kelak tidak mendapatkan hukuman. Tanpa kurikulum khusus, pendidikan karakter sudah melekat kuat melalui peermainan jamuran. Sangat disayangkan jika eksistensi jamuran kini seakan-akan sudah tidak mendapatkan panggung di kehidupan anak-anak.
Di tengah zaman modern seperti sekarang ini, hampir tidak dijumpai lagi anak yang dolanan jamuran. Sekarang, kalau saya pulang ke kampung, sudah jarang saya jumpai anak-anak yang meluangkan diri untuk dolanan bersama. Tiap-tiap dari mereka sudah asyik dengan gawainya masing-masing.
Memang tidak ada yang salah dengan itu semua. Akan tetapi, bukankah lebih menyenangkan jika anak-anak tetap memainkan permainan tradisional namun tetap tidak ketinggalan zaman? Terlebih jika keduanya saling berkolaborasi. Permainan jamuran ini bisa menjadi bahan konten YouTube mereka, misalnya. Kolaborasi yang sungguh mengasyikkan bukan? Sederhana, murah, menyenangkan serta kaya akan nilai kehidupan.
Melalui jamuran ini, anak-anak memiliki kemungkinan untuk bisa berfantasi dan melahirkan nuansa humor alami melalui nama jamur yang disebutkan, yang kadang namanya ajaib nan unik. Anak-anak juga didorong untuk senantiasa mengembangkan kecerdasan, kepekaaan dan juga pengendalian diri.
Editor: Almaliki